DOAKAN SAJA
Kalimat “doakan saja” adalah sebuah kalimat pamungkas dalam berbagai percakapan. Ya, terutama percakapan yang mengandung pertanyaan basa basi untuk mencairkan suasana. Sebagai orang timur kita tentu terbiasa memberikan pertanyaan basa basi, entah memang ingin tahu atau sekadar agar ada bahan obrolan.
Ada berbagai pertanyaan basa-basi yang sering kita dapatkan. Sebut saja pertanyaan kapan ini kapan itu, kapan begini kapan begitu, kapan kesana kapan kesini. Duuh, duuh. Selanjutnya pertanyaan ini akan memnuculkan jawaban basa-basi. Ya, jawaban yang sekadar basa basi doang agar kondisi percakapan masih berada di koridor yang aman dan grafiknya stabil. Eh. Jawaban basa-basi misalnya “hehehe”, “masa sih?”, “memangnya iya?”, “Ahh ada-ada saja”. Sampai ada satu jawaban basa-basi pamungkas yaitu “doakan saja”.
Dan ini juga menjadi jawaban favoritku ketika ada yang memunculkan pertanyaan aneh-aneh. Jawaban ini biasakan aku gunakan untuk sesuatu yang aku tidak tahu kapan pastinya. Ya, daripada aku menyebutkan waktu, terus tahu-tahunya nggak tepat waktu, eeh kan jadi malu. Selain itu pertanyaan netizen yang aneh-aneh itu terkadang memang aku tidak tahu kapan waktu pastinya. Maka mending aku jawab saja dengan jawaban pamungkas “doakan saja ya”.
Seiring berjalan waktu, ternyata “doakan saja” bukan hanya menjadi “jawaban basa-basi. Ia berubah menjadi sebuah sugesti bagiku. Begini, jika ada yang bertanya “kapan” terus aku menjawab dengan “doakan saja”, lalu ternyata seseorang itu benar-benar mendoakan. Nah lho. Hingga Allah mendengar setiap orang yang diam-diam mendoakan kita. Dan ternyata Allah benar-benar kabulkan. Kan Allah Maha mengabulkan doa.
Makanya, sekarang jika masih ada netizen yang suka nanya kapan ini, kapan itu, kapan anu, kapan blablabla. Aku akan sering menjawab dengan jawaban “doakan saja”. Lalu dalam hati kecilku berharap mereka diam-diam mendoakan dan ternyata Allah lebih mengijabah doa mereka.
Jadi kalau ada nanya hal serupa dengan kalian. Coba deh lakukan cara yang sama. Dijamin berhasil dan lebih menenangkan.
Kapan nikah? Doakan saja
Kapan lanjut S3? Doakan saja
Kapan bukunya terbit? Doakan saja
Kapan waras? Doakan saja (eeh..eh.)
Medan, 16 April 2020, 21 : 12
Hari ini telah berhasil dilalui dengan waras dan bahagia. Yeaaay !!!
***
PINTAR TAK TERLIHAT
 |
Dewi Kwan Inn, Siantar, Sumatera Utara |
Ada seseorang ketika di kelas hanya tidur, bermain atau sekadar bermalas-malasan. Akan tetapi, saat ujian atau presentasi ia mampu memberikan hasil yang maksimal. Seolah ilmu yang dipelajari selama ini tersimpan rapi di dalam batok kepalanya. Sehingga ketika ujian, semua jawaban soal mengalir dengan lancarnya.
Lalu, kita dengan naifnya mengambil kesimpulan bahwa ia memang pintar karena memang dasarnya pintar. Kita menyimpulkan bahwa seseorang itu memang pintar secara genetis. Melihat anak professor yang dapat prediket cum laude di kampus, lalu kita beranggapan :
“Wajar dia pintar, keturunan sih. Bapaknya saja professor”
Melihat teman nyatri yang hafalannya sudah berjuz juz, otak kita pun berpikir :
“ya iya lah, dia anak Hafizh quran”
Perasaan ini terus menjadi-jadi, hingga dengan tanpa rasa bersalah, kita mendeklarasikan diri bahwa kita tidak akan mampu seperti dia. Kita merasa bahwa dia menjadi hebat, pintar adalah karena anugerah Illahi. Kita tak akan mampu menjadi seperti dia karena Tuhan tidak memberikan anugerah itu kepada kita.
Hingga akhirnya kita tetap bertahan menjadi kita. Tidak ada upaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Merasa bahwa diri ini memang sudah seperti ini takdirnya. Kita enggan untuk bercermin kepada kesuksesan orang lain. Kita terus men-judge bahwa kesuksesan orang lain semata hanya karena faktor keberuntungan. Astaghfirullah
Hal ini seperti ini sudah jelas harus segera diluruskan. Bisa saja bukan keberuntungan orang lain yang menjadi persoalannya, melainkan cara berpikir kita saja yang kurang jeli. Orang-orang yang kelihatan santai dan cuek, namun memiliki nilai ujian yang cemerlang, bisa saja bukan mereka yang pintar dari lahir. Sangat besar kemungkinan bahwa ia tidak pintar dari lahir, melainkan ia berusaha pintar tapi tidak merasa terlihat.
Tanpa kita ketahui, bisa saja ia telah minum kopi agar bisa terus terjaga sepanjang malam untuk belajar. Bisa saja mulutnya telah berbusa melafalkan semua rumus-rumus yang akan keluar ketika ujian. Ia begitu berusaha maksimal untuk mendapatkan hasil yang bagus dalam ujiannya. Hanya saja ia tak melakukan itu di depan kita. Karena ia memang ingin pintar tapi tidak terlihat oleh orang lain.
Atau juga bisa saja ia mati-matian membaca buku tentang materi yang akan diajarkan oleh bu Guru. Sehingga ketika belajar ia tetap mampu menjawab pertanyaan bu Guru walau ia sedang membaca komik. Apakah ia pintar dari lahir? Belum tentu.
Terkadang ada yang kerjaannya tidur di kelas atau sibuk bermalas-malasan selama pembelajaran. Kita lupa kenapa ia bisa tidur di kelas atau bermalas-malasan? Aah, barangkali ia telah paham dengan apa yang guru atau dosen ajarkan. Namun kita tidak begitu, selalu mengambil kesimpulan dari sudut yang salah.
Begitulah, kita tidak akan pernah benar-benar tahu bagaimana seeorang itu bekerja keras untuk meningkatkan kualitas dirinya. Yang sering kita lakukan adalah mengambil kesimpulan dari sekelumit kisah hidup mereka yang terlihat. Itu sungguh aneh bukan?
Hingga akhirnya kita sendiri yang memilih untuk kalah sejak awal. Kita takut memulai peperangan karena salah dalam melihat lawan. Teman yang kritis kita anggap skeptis. Teman yang hebat, kita beranggapan itu sebuah bakat.
Kita terbiasa mencari-cari alasan untuk memaklumi kemalasan diri sendiri. Menganggap diri ini tak mampu, tak berdaya. Kesuksesan orang lain adalah hasil genetis yang ia peroleh atau anugerah Illahi yang tengah berpihak padanya.
Nah, kalau sudah begitu bagaimana bisa kita meningkatkan kualitas diri?
Medan, 12 April 2020, 21 : 53
Ditulis untuk mencambuk keras jiwa yang tengah dilanda kemalasan.
***
PERTOLONGAN ALLAH
 |
Universitas Sumatera Utara |
Apakah kamu pernah merasakan peliknya hidup?
Atau pernah bertemu dengan masalah yang serasa tak ada
jalan keluar? Semuanya seakan rumit dan tak terselesaikan. Apa yang kamu
lakukan? Tentu saja kamu akan begitu sibuk mendayagunakan segala upaya untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Kamu akan wara-wiri meminta bantuan kepada
manusia. Kamu berharap mereka akan dapat membantumu menyelesaikan persoalan
yang teramat rumit ini.
Apakah cara itu berhasil? Ya. Terkadang cara ini
begitu ampuh menyelesaikan kesusahan hidup. Namun jika tidak berhasil, gimana
dong? Seolah dunia ini berantakan, seolah diri ini tengah bertransformasi
menjadi manusia paling bodoh sedunia. Lalu kemudian hidup pun dirasa semakin
tak berguna. Seolah semuanya benar-benar buntu, tiada penyelamat, tiada
pertolongan.
Ahh, benarkah seperti itu? Sepertinya kamu lupa. Ada satu pertolongan luar biasa
ketika sedang merasakan peliknya kehidupan yang tengah dijalani. Pertolongan
itu bukan sekadar pertolongan. Ia hadir layaknya sebuah keajaiban, datang
dengan sebuah skenario yang tidak di duga-duga. Lalu dari siapakah pertolongan
luar biasa itu? Apakah dari orang tua ? pasangan hidup? Keluarga besar? Sahabat
terdekat? BUKAN. Pertolongan itu sama sekali tidak berasal dari mereka.
“Jika Allah sudha menolong kamu, maka tidak ada yang
dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi
pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Karena itu,
hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal”
(Ali Imrah : 160)
Nah, sudah jelas kan sekarang? Siapa dzat yang
memiliki pertolongan luar biasa itu? Siapa dzat yang mampu menghadirkan sebuah
keajaiban di tengah riuhnya cobaan yang datang? Siapa dzat yang dengan begitu
sempurna menyusun sebuah skenario penyelamatan untuk kita? ALLAH.
Pertolongan dari Allah adalah segalanya. Bukankah
firman Allah di atas sudah sangat jelas? Jika Allah sudah menurunkan
pertolongannya kepada kita, maka tiada sesiapapun yang mampu menghalanginya.
Dan hebatnya lagi ketika Allah benar-benar memutuskan untuk menolong hamba Nya,
maka ia akan dengan begitu sempurna menyelesaikan setiap persoalan yang sedang
mendera hamba Nya itu. Artinya, jika kita memiliki ribuan bahkan jutaan masalah
dan Allah benar-benar telah membantu kita, maka ribuan dan jutaan masalah itu
akan hangus dan terbang seketika.
Hebat bukan?
Oh tentu saja. Bukan kita yang hebat, tapi pertolongan
Allah yang luar biasa hebat. Mungkin kita telah menghabiskan waktu, tenaga, pikiran,
materi bahkan segala yang kita punya untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi bagi
Allah, cukup berkata “Kun Fa Yakun”,
maka seketika masalah yang terasa berat itu hilang dan musnah. Allahu Akbar !!
sekali lagi, ini semua karena pertolongan yang Allah berikan.
Lalu masalahnya dimana? Kenapa kita masih sering
berjibaku, stress, kecewa dengan hadirnya berbagai masalah dalam hidup kita?.
Apakah kita sudah benar-benar meminta Allah agar memberikan pertolongan Nya
kepada kita? Jangan-jangan selama ini kita lupa meminta pertolongan Allah, atau
bahkan cenderung tidak percaya dengan pertolongan Allah. Sehingga dengan
angkuhnya kita terus berharap kepada pertolongan manusia. Ahh.
Jika memang kita percaya dengan pertolongan Allah,
apakah kita sudah benar-benar menjadi hamba yang layak ditolong oleh Allah?
Jangan-jangan selama ini kita masih menjadi hamba Nya yang penuh dosa dan
maksiat, lalu kenapa ketika ada masalah tanpa rasa bersalah kita
mengemis-ngemis pertolongan Allah. Gak malu kah sama Allah? Ahh, mungkin ini
salah satu alasannya kenapa Allah tidak juga menurunkan pertolongannya untuk
kita.
Lalu, tunggu apalagi!
Bersegeralah mencari dan mendapatkan pertolongan
Allah. Sudahlah, tidakkah capek bersandar kepada pertolongan manusia yang
jelas-jelas makhluk lemah? Bangun keyakinan dalam diri bahwa Allah mampu
menolong hamba Nya, bahwa pertolongan Allah adalah jalan keluar dari sepelik
apapun masalah. Lalu jadikan diri ini sebagai hamba yang layak mendapatkan
pertolongan Allah tersebut. Dekatkan diri kepada Allah, ikuti semua perintah
Nya dan jauhi segala larangan Nya. Insya allah pertolongan Allah itu akan
semakin dekat. Percaya aja deh!!
Medan, 26 Mei 2019, 08 : 45
Ungkapan dari hati yang tengah rapuh dalam menunggu
pertolongan Allah. Bersabarlah wahai hati, pertolongan Allah itu semakin dekat,
semakin dekat. Tidakkah kau merasakannya?
***
LEMAH YANG MENGUATKAN
Banyak orang yang mengeluhkan berbagai hal dalam
hidupnya. Dari hal yang wajar dan pantas untuk dikeluhkan, sampai dengan hal
yang remeh banget. Seolah hidup itu harusnya berjalan sesuai dengan yang ia
mau, jika ada kendala sedikit saja maka ribuan keluhan akan keluar dari
mulutnya. Aiih.
Mungkin orang-orang seperti ini lupa bahwa ada orang
lain yang hidupnya jauh lebih tidak sempurna dari kehidupan yang ia miliki. Ada
orang yang bahkan hidup dalam kekurangan, kepayahan dan kezholiman
lingkungannya. Ada orang yang akhirnya mencoba berdamai dengan takdir yang
Tuhan gariskan. Akan tetapi orang-orang ini berbeda. Mereka tidak sibuk
mengeluh, tidak sibuk mengutuki ini itu, tidak sibuk menyalahkan dia dan dia.
Mereka malah disibukkan untuk terus menjalani kehidupannya, yang menurut
sebagian orang sangat tidak sempurna.
Sungguh sebuah kesenjangan bukan? Orang yang hidup
penuh kekurangan, kelemahan, hal yang memayahkan malah menjadi pribadi yang
bahagia, penuh syukur, kuat dan hebat. Lalu, mereka yang hidupnya bergelimang
kesuksesan, finansial, malah menjadi pribadi yang suka mengeluh manakala ia
mendapat cobaan kecil saja. Memang aneh. Tapi begitulah hidup, ada banyak
hal-hal aneh yang akan terus kita jumpai.
Otak kita seringkali berpikir bahwa setiap cobaan yang
Tuhan berikan adalah bentuk kezholiman Nya? Atau setiap kelemahan yang Ia
takdirkan adalah nasib na’as yang harus kita terima? Tentu saja tidak. Bukankah
Tuhan itu Maha Penyangang? Tentu saja Ia tidak akan tega memperlakukan makhluk
terbaik Nya dengan cara-cara yang tidak pantas. Lalu apa cerita Tuhan
memberikan hal-hal yang menurut kita buruk?
Tujuan Tuhan adalah untuk menguatkan. Pernah gak sih
menyadari bahwa setiap kelemahan yang Tuhan gariskan itu sebenarnya sedang
menguatkan kita? Pernah gak tahu bahwa setiap cobaan itu membuat kita tahan
banting dengan setiap cobaan lainnya? Ternyata begitu. Tuhan itu tidak akan
pernah sia-sia memberikan apapun kepada hamba Nya, termasuklah itu cobaan atau
kesenangan. Selalu ada hikmah dari semua hal yang Tuhan berikan.
Sebuah kondisi di foto ini pernah aku temukan di dunia
nyata. Dari mereka aku menemukan bahwa ternyata untuk menjadi kuat tidak harus
memiliki hal-hal yang luar biasa atau fantastis. Bahkan kelemahan, kepayahan,
kesusahan sesungguhnya bisa menjadi sesuatu hal yang bisa menguatkan. Mereka
saja contohnya. Para generasi muda ini sama sekali tidak memerlukan AC atau
pendingin ruangan ketika belajar. Padahal di tempat lain sana ada siswa yang
mengeluh ketika mati lampu di kelas sehingga AC mereka menjadi tidak berfungsi.
Mereka juga tidak memerlukan ruangan belajar yang
bagus dan instagramable. Cukup meja
belajar dan papan tulis, mereka menyerap berbagai ilmu dari sang guru.
Sayangnya, ada siswa di luar sana yang menjadikan fasilitas, kualitas gedung
dan ruangan belajar sebagai salah satu bagian paling penting ketika memilih
sebuah sekolah.
Generasi muda nan bersahaja ini juga tidak memerlukan
pakaian seragam warna warni ala film Korea. Bagi mereka cukuplah pakaian yang
sopan, menutup aurat dan nyaman dikenakan. Toh apapun seragamnya, ilmu itu akan
diperoleh kok. Karena ilmu itu tidak dipengaruhi oleh warna seragam, begitu
seloroh mereka. Sangat berbeda dengan sebagian generasi muda lainnya yang malah
saling melombakan seragam sekolahnya. Mereka bikin baju seragam event ini itu dengan biaya yang cukup
fantastis.
Dan satu lagi, generasi muda ini tidak peduli dengan
sesulit apapun pelajaran matematika, mereka akan tetap belajar. Ahhh, paling
suka deh dengan testimony mereka yang ini. Aku percaya, bahwa kalimat ini bukan
hanya tertuju kepada matematika saja (yang katanya terkenal sulit), akan tetapi
juga untuk mata pelajaran yang lain. Mereka yang hidup dalam kekurangan ini
sama sekali tidak mengeluhkan sulitnya mata pelajaran atau panasnya ruangan
belajar. Mereka terus belajar dan menikmati kondisi yang tengah mereka jalani.
Luar biasa, batinku. Ternyata bukan fasilitas lengkap
yang membuat kita hebat. Bukan kemudahan-kemudahan yang menjadikan kita sosok
luar biasa dan bermental pemberani. Dari mereka aku belajar bahwa kekurangan,
hambatan, ancaman dan tantangan ternyata menyimpan sesuatu yang istimewa.
Mereka mampu membuat jiwa yang rapuh menjadi lebih kuat, mampu menyulap jiwa
yang kerdil menjadi lebih bijaksana. Dan aku teringat dengan sebuah quotes; bahwa angin dan gelombang itu
hanya berada di dekat navigator yang handal.
Jadi, jika sekarang kamu tengah berada di sebuah angin
badai, nikmati saja prosesnya. Semua kekurangan yang melekat, hambatan yang
terus bermain-main di depan mata atau ancaman yang tiada kunjung berakhir,
nikmati saja. Toh juga mengeluh tidak akan membuat semuanya menjadi baik-baikk
saja. Jangan-jangan kamu adalah navigator atau pelaut yang handal, makanya
Allah berikan gelombang dan angin badai di kapal yang tengah kamu kemudikan.
Coba deh tarik napas pelan-pelan, lalu katakan kepada
dirimu sendiri;
“Aku baik-baik saja kok”
Medan, 6 November 2018 14 : 50 WIB
Ditulis ketika sedang merasa di dalam sebuah badai dan
gelombang yang dahsyat. Sabarlah wahai diri, Tuhan hanya sedang mengetes
kemampuan navigasimu.
***
TUKANG DRAMA
Memiliki saudara kandung yang semuanya perempuan itu
adalah sesuatu hal yang menakjubkan. Kebayang dong ya beberapa perempuan yang
rentang usianya tidak begitu jauh kalau udah ngumpul? Semuanya deh jadi bahan
omongan. Semuanya juga jadi hal-hal yang dipermasalahakan. Waktu satu jam, dua
jam bahkan berjam-jam sekalipun tidak akan cukup menampung semua cerita mereka.
Aah, dasar perempuan.
Di keluarga besar kami, hanya keluargaku yang paling
banyak cantiknya. Gimana enggak coba, aku adalah anak pertama dengan dua adik.
Dan kedua adikku itu adalah perempuan. Itu artinya kami adalah tiga bersaudara
yang isinya perempuan semua. Halaah. Alhasil papa adalah the one and only the most
handsome one in my family. Hahaha. Sebenarnya aku punya abang. Tetapi
beliau meninggal dunia ketika masih kecil. Dan Allah ganti abang dengan dua
adik perempuanku yang lucu dan menyebalkan. Hahaha.
Banyak yang bilang memiliki saudara perempuan itu
menyenangkan. Katanya semuanya akan baik-baik saja, terkondisi dan teratur.
Aah, kalian yakin? Terus juga katanya saudara perempuan itu jarang berantem,
saling sabar dan memahami satu sama lain. Eeh, siapa yang bilang nih? Katanya
lagi kalau saudara perempuan itu gak pernah diem-dieman. Mereka akan dengan
legowo memaafkan kesalahan saudaranya. Aduuh, please deh. Kok pada hoax semua sih yang bilang itu?
Semua hal yang mereka bilang itu sama sekali tidak aku
temukan dalam persaudaraan ala perempuan ini. Bahkan bagiku mereka adalah
tukang drama terbaik. Persaudaraan yang timbul antara kami layaknya sebuah
drama yang drama banget, sesuatu deh pokoknya. Yaaa terkadang drama itu menjengkelkan banget tapi geli
kalau diingat-ingat. Di waktu lain drama itu bisa banget bikin kesal maksimal
namun di saat yang sama malah membuat rindu yang teramat sangat.
Nah, drama persaudaraan kami juga gak kalah hebat dari
sinetron atau film India lho ya. Sebuah drama yang natural banget, gak
dibuat-buat, tapi bikin keseel dan rindu. Lihat saja, kami selalu berebutan mau
pakai jilbab warna ini lah, warna itulah. Entahlah, jilbab yang dipakai saudara
itu kok kelihatannya selalu lebih cantik, sehingga hasrat untuk merebut itu
kuat banget. Hahaha. Belum lagi kalau kami pakai baju senada, huaaa, bakal
rebutan jilbab selama beberapa menit tuh. Akhirnya yang berbesar hati akan
mengalah dengan mengganti baju agar memakai jilbab dengan warna lain. Drama
banget kan ya? Hahaha.
Bukan hanya jilbab, kami juga suka berebut setiap mau
pakai motor. Secara, motor di rumah itu cuma satu. Alhasil ya harus berebut
setiap mau pakai motor. Masing-masing kamipun berdalih bahwa urusan kami lebih
penting dari yang lain sehingga lebih layak dan pantas menggunakan motor kala
itu. Halaah. Hingga akhirnya papa dengan bijaksana membuat jadwal kami
menggunakan sepeda motor. Lebay kan? Ya iyalah, wong kami drama banget kok.
Hahaha.
Belum lagi kalau si adek ngerusak benda kesayangan
kakak atau sebaliknya. Waah, bakal perang dingin beberapa hari itu. Gak
sapa-sapaan lah, bahkan hijrah kamar tidur juga. Hahaha. Lalu akhirnya mencari
sekutu dengan saudara yang lain, bunda atau papa. Tapi percaya deh, perang
dingin ini gak akan berlangsung lama.
Soalnya kalau gak ngobrol sehari sama mereka itu kok ya rasanya beda.
Parahnya kalau ada the
last one chocolate di atas meja. Semua dari kami merasa bahwa kamilah
pemilik cokelat itu. Kebayang dong kan sesengit apa persaingan yang akan
terjadi. Hingga bunda dengan kasih sayangnya membagi tiga cokelat itu kepada
masing-masing kami. Nyebelin banget sih, karena harusnya bisa dapat porsi yang
lebih besar. Hahaha. Bahkan remote tivi pun bukan masalah yang dianggap sepele.
Kami harus benar-benar berkuasa dengan remote itu agar bisa menonton televisi
dengan damai dan sejahtera.
Ya, penuh drama banget kan? Begitulah kami. Saudara
yang isinya perempuan semua. Aku gak tahu dengan orang lain yang saudaranya
juga perempuan semua. Mungkin mereka lebih bijaksana ketimbang kami yang
benar-benar tukang drama ini. Bahkan, walau sekarang kami udah jauhan satu sama
lain. Sekarang sudah sibuk dengan kuliah dan rutinitas masing-masing. Sekarang
cuma bisa ketemu pas lebaran Idhul Fitri doang. Namun yaa, tetap aja drama itu
terjadi.
Kalau dulu drmanya live,
sekarang via media sosial atau alat komunikasi. Halaah. Jadi jangan heran deh
kalau ada diantara kami yang tiba-tiba nelepon sambil nangis-nangis, katanya
rindu. Aiih. Terus ada yang nge ping banyak-banyak, minta diisiin pulsa. Urgent banget katanya. Ada juga yang
sibuk chat di line karena habis kena marah
pak bos. Aah. Drama banget kan ya?
Lebay? Oh tentu saja. Kami adalah tiga saudara yang
penuh dengan ke-lebay-an. Kami adalah anak Papa dan Bunda yang paling hobi
berdrama setiap harinya. Ya, kata papa, kami bertiga itu tukang drama terbaik.
Oh ya?? Jadi kapan kita ikutan casting
sinetron bawang merah dan bawang Bombay?
Hahaha.
Payakumbuh,
31 Agustus 2018 09:40 WIB
Ini adalah hasil selfie
terbaik kami hari itu ketika Idhul Fitri 2016. Foto dengan formasi ini ya
cuma bisa dijumpai ketika Idhul Fitri
doang. Hahaha.
***
BUKA HATI DAN PIKIRAN
Ada sebuah jendela di sudut kamar. Jendela yang
dihiasi oleh gorden berwarna putih. Gorden itu bisa ditarik menutup dan
membuka. Ia bisa menghalangi atau membiarkan cahaya masuk ke dalam kamar. Kapan
gorden itu ditutup? Tentunya ketika semburat cahaya itu ingin dihalangi
memasuki kamar. Kapan gorden itu dibuka? ketika penghuninya menginginkan
hangatnya sinar mentari menyapa setiap sudut ruangan.
Hati dan pikiran juga sama layaknya kamar yang dihiasi
gorden. Selalu ada ‘gorden’ yang membatasi hati dan pikiran manusia terhadap
dunia luar. Dan manusia sepenuhhnya punya hak veto untuk membuka ataupun
menutup gorden tersebut. Melakukan kedua hal itu sesuka hatinya sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan.
Walau mengatur gorden adalah hak veto manusia, tetap
seharusnya manusia tetap bijak menggunakan hak veto tersebut. Jangan asal
membuka dan menutup gorden. Diperlukan kebijaksanaan dalam melakukannya. Agar
cahaya itu benar-benar masuk ke dalam
hati dan pikiran ketika memang dibutuhkan. Jangan sampai cahaya itu malah
merusak hati dan pikiran yang telah tertata rapi.
Manusia memang perlu membuka hati dan pikirannya.
Tetapi disatu sisi, juga perlu menutup keduanya. Masalahnya adalah kapan? Kapan
harusnya manusia membuka hati dan pikirannya serta kapan pula harus menutup
hati dan pikirannya?
Dikala sinar kebaikan menerangi kehidupanmu, bahkan
menyilaukan matamu. Maka inilah saatnya membuka hati dan pikiranmu. Ambil
seberkas sinar kebaikan itu sebanyak-banyaknya. Serap kebaikan itu sekuat yang
kau mampu. Nikmati hangatnya cahaya kebaikan itu. Lalu tempah hati dan latih
pikiranmu untuk ikut menjadi bagian dari semburat cahaya kebaikan. Hingga
akhirnya kau pun ikut memancarkan sinar kebaikan kepada setiap orang ditemui.
Saat inilah seharusnya gorden itu kau buka. Lalu membiarkan cahaya itu masuk
dan menghiasi relung hati dan pikiranmu. Inilah saatnya kau buka hati dan
pikiranmu seluas-luasnya.
Tetapi ketika keburukan sedang menghampiri. Petir dan
guruh saling bersahut-sahutan menyambar. Sungguh, ada baiknya kau perlu menutup
gorden itu dengan sempurna. Agar tetesan air tidak masuk ke dalam kamarmu. Agar
matamu tidak silau menghadapi kilat yang tengah menghiasi langit. Begitu juga
dengan hati dan pikiranmu. Ketika keburukan sedang menghampiri, kemaksiatan
meraja lela di sekitarmu, ada kezholiman yang tengah menghampiri duniamu.
Mungkin ada baiknya kau menutup hatimu.
Menutup hati bukan berarti tidak peduli, acuh atau
malah tidak memikirkan sama sekali. Menutup hati dan pikiran adalah bentuk
menjaga keduanya agar tak ternoda dengan keburukan dan kezholiman. Menjaga agar
hati dan pikiran selalu tertata rapi dalam ruangan yang bernunsa positif.
Menjaga agar keduanya selalu putih, bersih dan damai serta terlepas dari
hal-hal yang membuat kelam dan nista.
Menutup hati dan pikiran akan menjadi penting ketika
kita ingin membentengi keduanya dari segala bentuk kezholiman. Menghalangi
sinar keburukan yang bisa berakibat buruk bagi keduanya. Membentengi sesuatu
yang nantinya akan merusak hati dan pikiran.
Sudah seyogyanya kita mampu dan bijaksana (tentunya)
untuk membuka dan menutup hati dan pikiran kita. Jangan sampai keliru dalam
melakukanya. Karena ketika hati dan pikiran dibuka pada saat yang tidak tepat,
percayalah nilai keburukan akan sangat gampang mempengaruhinya. Begitu juga
sebaliknya, ketika seberkas sinar kebaikan datang namun kita masih terus
menutup hati dan pikiran, maka cahaya itu tiada berguna. Sekuat apapun ia
mengajak diri untuk mengikuti kebaikan tersebut, ya tetap tidak akan mempan.
Nah, mulai sekarang belajarlah untuk membuka dan
menutup hati serta pikiranmu dengan benar-benar tepat. Percayalah, kamu akan
merasakan efek yang luar biasa. Dan tunggu saja, akan datang keajaiban dalam
hidupmu.
Payakumbuh,
20 Agustus 2018, 17 : 25 WIB
Foto itu adalah kiriman Kak Afifah ketika menginap di
sebuah hotel di Kota Bandung. Kata beliau sih hotelnya lumayan recommended.
***
PERHATIKAN LANGKAHMU!
Pada tulisan ini, aku ingin mengajak kalian
bernosltagia dengan perjuangan kalian, dan aku juga tentunya. Apakah kalian
sedang berjuang? Oh tentu saja, karena akupun disini akan terus berjuang,
berjuang untuk mendapatkanmu, eeaak. Sesekali kita perlu melihat dan menapak
tilasi semua perjuangan dan perjalanan yang telah kita lalui. Bukan untuk
berbangga diri atas pencapaian yang telah diperoleh. Bukan juga unntuk
membandingkan diri dengan orang lain. Akan tetapi hal ini untuk mengambil
ibroh, manfaat serta nasehat dari sekelumit perjuangan yang telah dilakukan.
Sekarang coba ingat-ingat kembali perjalanan panjang
yang telah di lewati. Setapak demi setapak jalan yang telah ditempuh. Selangkah
demi selangkah yang kini telah berubah menjadi sebuah perjalanan panjang. Aah,
ternyata kita sudah begitu jauh melangkah. Ternyata ada banyak perjuangan yang
telah ditaklukkan. Perjuangan dan perjalanan itu akhirnya menyulap kita menjadi
seseorang seperti saat sekarang ini.
Perjalanan itu benar-benar telah mengantarkan diri
berada di puncak kesuksesan. Lihat saja dirimu saat ini. Bisa saja saat ini
sudah terkenal dan dikenal banyak orang. Bisa saja saat ini sudah sangat
dihargai oleh banyak orang. Dan bisa saja mereka yang amat mengenal dan menghargai
mu terlihat begitu “kecil” dalam pandanganmu. Tak pelak lagi, pujian, sanjungan
dari mereka datang bak air sungai ketika hujan, begitu deras tanpa henti.
Sanjungan itu akhirnya menjadi hembusan angin yang semakin menggairahkan aura
kesuksesanmu.
Bahagia? Oh tentu saja. Bahkan sangat bahagia. Semua
orang akan bahagia ketika ia berada di posisi ini. Ketika harta berlimpah,
ketika pujian dan sanjungan datang menghujani. Ketika banyak orang mengetahui
hal ihwal diri ini. Ketika semua orang menghargai, menghormati bahkan
mengagumi. Ya, ketika itu kesuksesan memang sedang menghampiri badan diri.
Tuhan terasa begitu baik dengan setiap takdirnya. Hidup juga begitu sempurna
dengan setiap lika liku nya.
Kebahagiaan yang hakiki ini sering membuat sebagian
orang, aah mungkin lebih tepatnya kebanyak orang terlena, terlupa dan
terperdaya. Mereka hanyut dalam setiap kesuksesan yang diperoleh. Mereka lupa
bahwa kesuksesan itu tidak bertahan selamanya, Karen Tuhan akan mempergilirkan
kebahagiaan itu. Mereka juga lupa bahwa dalam hidup tidak ada kata abadi,
semuanya akan berubah, bisa saja besok, lusa atau bahkan sebentar lagi.
Keterlenaan ini membuat kebanyakan orang sering lalai
dalam bahagianya. Mereka juga ceroboh dalam menikmati kesuksesannya. Mereka
sering lupa bahwa tindakan kecil, remeh mereka akan membuat kesuksesan dan
kebahagiaan mereka terusik. Mereka lupa bahwa rasa sombong, angkuh dan congkak
sejatinya akan meluruhkan nilai-nilai kesuksesan dan kebahagiaan itu. Mereka
juga sering lupa bahwa ada orang-orang asing di sekitar mereka yang begitu
terusik melihat kesuksesan itu. Mereka lupa bahwa ada orang-orang yang siap
menghilangkan kebahagiaan itu secepat mungkin. Sekali lagi, mereka hanya lupa,
lebih tepatnya benar-benar lupa.
Maka dari itu, jangan terlena dengan kesuksesan dan
kebahagiaan itu. Walau diri ini memang sangat bahagia paripurna, tetap
perhatikan langkah perjalananmu. Lihat saja, batu-batu runcing itu takkan
menghilang dari perjalananmu. Ia akan setia menemani perjalananmu, sekalipun
kau sedang berbahagia atau berduka. Ia akan siap menghantam langkah kakimu
ketika kau sedikit saja terlena dan akhirnya lupa memperhatikan langkahmu.
Jangan kau lupakan pula perbukitan penuh jurang yang
menghiasi kiri kanan pemandanganmu. Sesunggunya mereka sangat siap menghantamu.
Jangan sesekali terlena dengan hembusan angin sanjungan yang sering berhembus
di telingamu. Terlena sedikit saja, hembusan angin sanjungan itu akan
menghantam kehidupanmu ke dalam jurang atau membuatnya terjatuh hingga bertemu
bebatuan yang runcing, bahkan mereka bisa membuatmu terjepit di antara bukit
yang penuh dengan jurang.
Jangan terlena dengan setiap apapun yang kau dapati
saat ini. Apakah itu kebahagiaan atau juga kesedihan. Selalu bersiap siagalah.
Selalu waspadalah. Karena tanpa kau sadari ada batu runcing yang siap
menjatuhkan, ada bukit yang siap menghimpit dan ada jurang yang siap memelukmu.
Sudah siapkah bertemu hal-hal mengerikan seperti itu? Ahh, makanya selalulah
perhatikan langkahmu.
Payakumbuh,
06 Agustus 2018, 10:36
Tulisan in ditulis di bawah sinar matahari kota
Payakumbuh. Kalau sedang di kota ini, matahari pagi adalah sesuatu yang selalu
ditunggu-tunggu, menghangatkan siih. Hehehe.
***
TEMPAT KEMBALI
 |
Payakumbuh |
Sejatinya
seorang manusia menjalani hidup di dunia ini seorang diri. Tidak ada orang yang
benar-benar selalu ada saat dibutuhkan. Tidak ada orang yang benar-benar bisa
membersamai sampai akhirnya Allah mengatakan ‘waktunya pulang’. Bahkan di dalam
rahim saja, manusia pun berjuang sendiri. Lahir dalam keadaan sendiri,
menjalani hidup dalam kesendirian, hingga akhirnya menghadap Illahi sendiri,
berada di dalam kubur sendiri. Hingga akhirnya sampai kepada hari pembalasan,
manusia tetap akan sendiri mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
Akan
tetapi Allah itu Maha Baik, amat Baik malahan. Sehingga dengan kasih sayang Nya,
Dia tidak akan membiarkan hamba Nya terlunta-lunta dalam kesendirian di dunia
ini. Dia menginginkan hal terbaik untuk setiap hamba Nya, tanpa ada niat
menzholimi atau mengecewakan hamba tersebut. Begitulah, sehingga Allah menjaga
hamba Nya melalui orang-orang yang Ia
pilhkan dari makhluk Nya untuk selalu membersamai hamba tersebut.
Sekelompok
orang yang menjadi tempat kembali yang tidak pernah menolak kehadiran seseorang
yang akan datang. Walau orang yang datang itu dalam kondisi teramat mulia atau
hina, pintu mereka akan selalu terbuka. Walau orang yang datang itu sangat kaya
sekali atau miskin sekalipun, pelukan dan rangkulan mereka akan sama eratnya.
Sekelompok orang itu selalu siap menerima kondisi, apapun bentuknya, apapun
kejadiannya. Sekelompok orang inilah yang diamanahi Allah untuk menjadi
pendukung bagi hamba Nya, untuk menjadi teman berbagi suka duka, menjadi
peluruh nestapa, menjadi penyemangat jiwa. Dan kalian tahu, manusia memberi
istilah tertentu untuk sekelompok orang ini, yaitu dengan sebutan KELUARGA.
Setiap
manusia di dunia ini memiliki keluarga. Apakah besar atau kecil, harmonis atau
dipenuhi cekcok, semua manusia itu memiliki keluarga. Keluarga merupakan
sekelompok orang yang memiliki hubungan emosional yang paling dengan kita. Dari
merekalah kita pertama kali belajar nilai-nilai kehidupan. Dari merekalah kita
bertahan hidup sampai seperti saat ini. Dari merekalah bocah kecil yang dulu
tak berdaya berubah menjadi sosok yang luar biasa.
Keluarga
adalah malaikat yang Allah kirimkan untuk menjaga kita di dunia. Mereka adalah
bentuk kasih sayang Allah yang Dia hadirkan dalam wujud manusia. Keluarga
adalah orang paling jujur di dunia ini. Mereka akan tanpa segan mengoreksi
setiap kekurangan yang kita miliki, mereka siap mendengar mulut kita menyebut
sederetan aib diri ini, mereka kemudian merangkul kita dengan erat saat kita
kehilangan arah. Dan mereka adalah satu-satunya orang yang tidak akan
meninggalkan kita saat diri ini sedang berada dalam kondisi terpuruk. Ya,
itulah keluarga.
Entah
kenapa ikatan emosional keluarga itu betul-betul dekat, erat dan intim. Mungkin
karena darah dan genetik yang sama. Seolah benar-benar merekatkan hubungan
sebuah keluarga. Garis keturunan yang selaur itu juga membuat sakit dan bahagia
itu bisa dirasakan bersama-sama. Bukankah keluarga itu akan selalu tertawa
bersama bahkan mengurai air matapun juga bersama? Jika ada sebuah keluarga yang
tertawa dalam tangisan pilu keluarganya, aah, mungkin mereka adalah keluarga
yang tertukar.
Memiliki
keluarga adalah sebuah nikmat Allah yang tiada duanya. Kita boleh-boleh saja
tidak memiliki teman dekat, relasi ternama, atau jumlah followers yang mencapai angka jutaan itu. Namun kita tidak akan
bisa melanjutkan hidup tanpa kehadiran sebuah keluarga. Mereka itu teramat
penting.
Lihat
saja, ketika para sahabat, relasi bahkan followers
meninggalkan kita karena kesalahan yang kita perbuat, tangan keluarga selalu
terbuka untuk menerima kedatangan kita. Ketika kita sedang berada dalam kondisi
terburuk, hanya keluarga yang siap mengayomi kita bahkan bersikukuh membela
kesalahan-kesalahan kita. Ketika kita membutuhkan jalan keluar dari segala
persoalan kehidupan, keluarga lah yang paling ikhlas menolong kita, tanggap dan
serius menemukan solusi dari persoalan kita.
Jadi,
jika kalian memiliki keluarga besar dan harmonis. Syukurilah. Jaga keakaraban dan
keharmonisan itu. kalian adalah orang yang beruntung di dunia ini, karena tidak
semua orang memiliki keluarga seperti yang kalian miliki. Well, memang terkadang keluarga kelihatan nyeselin banget. Tapi
percayalah, itu hanya ungkapan lain dari rasa sayang yang dimilikinya. Jangan
menjadikan kesalahan kecil keluarga memutuskan ikatan emosional yang begitu
erat. Jangan biarkan omongan yang tidak pada tempatnya meleburkan ikatan kasih
sayang itu.
Percayalah,
kita tidak akan bisa apa-apa tanpa dukungan sebuah keluarga. Jadi teringat
sebuah pesan Dominic Toretto di dalam serial Fast and Furious 6. Dia menyatakan bahwa Karena keluarga tidak akan pernah membalikkan badan kepada sesama
keluarganya. Tidak akan ada keluarga yang meninggalkan keluarganya. Tidak
akan ada keluarga yang tidak peduli dengan keluarganya. Dan tidak ada keluarga
yang berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya.
Maka,
berkeluargalah!, eeh. Kok pesannya jadi ngawur gini ya?
Medan,
25 Juli 2018, 08 : 43
Ini
adalah sebagain kecil dari keluarga besarku. Foto ini diambil ketika momen
Idhul Fitri 2015. Ya, hari raya adalah hari kumpul keluarga terbaik sepanjang
masa.
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
***
FOKUSKAN ARAHMU
Salah
satu hal yang menjadi perhatian seseorang ketika hendak melaksanakan sholat
adalah menetapkan arah sajadahnya. Atau sama artinya menetapkan arah sholat
kemana hendak dilakukan. Sudah seharusnya sholat dilakukan menghadap ke arah tertentu
yaitu kiblat. Menghadap kiblat sendiri merupakan salah satu dari enam syarat
sah sholat. Itu artinya jika seseorang tidak melakukan sholat menghadap ke arah
kiblat, sholatnya tidak akan sah.
“Jika
engkau hendak sholat, maka berwudhu lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah
ke kiblat” (HR. Bukhori dan Muslim).
Beberapa
aplikasi pun dirancang untuk menemukan arah sholat paling sempurna. Di beberapa
langit-langit kamar hotelpun sering dipasang tanda seperti panah yang
menyatakan arah sajadah ketika seorang muslim ingin sholat. Sebegitu pentingnya
arah sholat ini. Bahkan keabsahan sholat seseorang juga akan diragukan ketika
ia menetapkan sajadahnya ke arah yang kurang tepat.
Arah
di dalam sholat menunjukkan tujuan kemana sholat itu. Bukan bermaksud menyembah
ka’bah, melainkan menyembah penciptanya ka’bah. Ketika sholat dilakukan
menghadap kiblat, itu sejatinya mengingatkan kita bahwa ada Dzat yang menguasai
ka’bah. Ada Dzat yang sangat berhak kita agungkan dan kita sembah. Ka’bah hanya
menjadi simbol yang mengingatkan kita terhadap tujuan dari ibadah sholat yang
dikerjakan, yaitu ibadah kepada Allah swt.
Berbicara
perihal tujuan dan sebuah kefokusan, juga berarti tentang perjalanan. Sebuah
kapal yang berlayar di tengah lautan, bus yang melaju kencang di jalanan atau
pesawat yang sedang mengudara juga memiliki tujuan masing-masing. Semua
perjalanan itu memang berkelana entah kemana, menikmati setiap kota yang
dikunjungi, melewati badainya perjalanan. Tetapi semua perjalanan itu mengarah
pada satu titik yaitu tujuan. Kapal, bus dan pesawat itu memiliki tujuan
masing-masing. Tujuan itu yang mengarahkan arah perjalanan mereka. Apapun
bahaya, kendala yang dihadapi akan ditangani segera. Demi mencapai tujuan yang
mereka inginkan. Semua perjalanan akan sangat fokus terhadap tujuan
perjalanannya.
Hidup
juga seperti sholat, juga seperti sebuah perjalanan. Kita perlu mengarahkannya
kepada sesuatu titik atau tujuan yang jelas. Apa yang ingin dicapai dalam
hidup? kehidupan seperti apa yang diinginkan? Akhir kehidupan seperti apa yang
akan dituju? Semua itu harus jelas, fokus dan terarah. Bahkan sejatinya kita
perlu merumuskan dengan tepat apa tujuan dari kehidupan ini. Bukan sekadar
ingin have fun, enjoy atau sekadar
menikmati hidup saja. Seseorang yang cerdas harus benar-benar merumuskan tujuan
dan fokus hidupnya dengan tepat, ingat ya! dengan tepat.
Karena
tujuan yang tepatlah yang akan mengantarkan kehidupan menjadi lebih baik. Fokus
dan arah yang benarlah yang kemudian membuat seseorang merasa puas dan sempurna
dengan segala kehidupannya. Tujuan yang tepat dan terarah akan membuat
seseorang akan terus bergerak pada langkah-langkah yang tepat dan terarah juga.
Sebaliknya, sebuah tujuan hidup yang salah akan membuat hidup berada pada
koridor yang salah lagi keliru. Apalagi kehidupan yang tidak memiliki arah yang
tepat, aah ibaratkan kapal yang terombang-ambing di tengah lautan tanpa tahu
harus kemana mengarahkan kemudi kapalnya. Nauudzubillah.
Sekarang
begini. Coba deh bayangkan ketika arah kehidupanmu kacau, berantakan dan tidak
menentu. Lalu warna kehidupan itu berubah-ubah sesuai dengan keinginan dan mood yang punya kehidupan. Beberapa
badai, masalah dan cobaan menghantam kapal kehidupan tersebut. Akibatnya kapal
kehidupan itu berhenti di tengah deburan ombak samudera yang ganas. Tidak tahu
lagi ingin membelokkan arah kemana lagi. Sang nakhoda mulai kebingungan
menemukan arah yang tepat. Kapal kehidupan seperti inikah yang didam-idamkan
banyak orang? Ahh, tentu saja tidak. Atau mungkin lebih tepatnya, pantaskah
kehidupan seperti ini masih bisa dikategorikan sebagai kehidupan?
Astaghfirullah.
Tentunya
kita tidak menginginkan kehidupan yang berakhir naas layaknya kapal yang
terombang-ambing di tengah lautan. Makanya kita perlu merumuskan tujuan
kehidupan. Kita perlu membuat arah tujuan hidup itu lebih fokus dan terarah. Arah
yang memang dari awal telah benar-benar kita tetapkan. Dan apapun yang terjadi
selama kehidupan berlangsung, bagaimanapun peliknya masalah atau cobaan yang
dihadapi, jangan biarkan arah itu berubah walau hanya satu derajat. Pertahankan
arah itu. Kenapa? Karena ketika arah itu berubah, maka tujuan pun akan berubah.
Terus
bertahan dengan arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Still focus!!. Percaya deh, ketika kita menjadikan sesuatu itu
sebagai fokus dalam hidup, maka kita akan mendapatkannya. Dan bukankah sebuah
kaca pembesar mampu membakar kertas di bawah sinar matahari hanya karena ia
fokus? Mungkin butuh waktu yang lama sebuah lup itu membakar kertas, tapi
percayalah ketika ia benar-benar fokus dan sedikit kesabaran, maka kertas itu
akan terbakar kok.
Begitu
juga dengan hidup. Yang amat kita perlukan adalah fokus. Mau nikah? Ya fokus
dan serius dong belajar ilmu-ilmu munakahat. Mau lanjut kuliah di luar negeri?
Fokus dong belajar bahasa, cari informasi dan beasiswa. Mau masuk syurga? Fokus
dong maksimalkan ibadah wajib dan sunnah kemudian berakhlak mulia. See? Fokus adalah inti dari semua
permasalahannya. Tenang saja, bentuk ke-fokus-an itu akan dinilai sama Allah. Perihal
waktu saja kapan Allah akan memberikannya kepada kita. Ya, terkadang Allah juga
memberikan dalam bentuk yang berbeda. Tunggu saja, insya allah akan diberi oleh
Allah kok.
Medan,
23 Juli 2018, 15 : 37
Tulisan
ini adalah gubahan tulisan ketika pertama kali mengikuti training jadi penulis dengan mentor andalan, kak Afifah.
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
***
MENJADI CANTIK
 |
Medan, Sumatera Utara |
12
Mei 2015
Akhirnya
hari ini menjadi saksi bahwa ternyata aku cantik, eeh lebih tepatnya merasa
cantik. Ini bukan lebay ala-ala kids jaman
now, tapi beneran deh, penampilan aku
hari ini benar-benar sangat berbeda dari aku yang biasanya. Ini semua karena
hari ini adalah salah satu dari sekian hari istimewa dalam hidupku. Aah, seharusnya
aku merasa setiap hari itu selalu istimewa.
Hari
ini aku mengikuti sebuah perayaan wisuda magister ku. Tentunya kalian bisa
membayangkan betapa istimewanya hari ini. Aku yang gak ngerti perihal eye shadow, blass on, dan lain
sebagainya, tiba-tiba hari ini menjadi paham bagaimana bentuk bahkan cara
menggunakannya. Wajahku yang biasanya terlihat bak orang ndeso, kampungan,
tiba-tiba berubah bak seorang putri kerjaan yang cantik (menurutku) tanpa
jerawat dan komedo menghiasi wajahku. Kurang cantik apa coba aku hari ini,
hehehe.
Bukan
hanya perihal cantik yang ku pelajari hari ini. Ada hal lain yang aku rasakan.
Ternyata untuk menjadi cantik itu memang sakit. Untuk menjadi cantik itu penuh
pengorbanan dan rasa penyiksaan yang luar biasa, hahah. Lebay sih memang, tapi
memang begitu yang aku rasakan. Gimana gak menyiksa coba, demi menjadi cantik
di hari spesial ini aku rela bangun-bangun pagi banget. Bayangin deh jam 3 aku
udah bangun, mandi lalu bersiap-siap. Ya, biasanya aku juga bangun jam segitu
sih, tapi tentu tidak untuk hal yang seremeh ini, hehehe.
Bukan
hanya bangun dan mandi se dini hari itu, aku juga harus melintasi jalanan
ibukota yang jelas-jelas berwarna hitam pekat itu. Tiada kendaraan yang
menyaingi perjalananku hari itu. Hanya lampu jalan yang kadang berkedap-kedip
ditambah lagi dinginnya angin malam yang menusuk ke tulangku. Ada perasaan gak
enak aja sendirian melintasi jalanan ibukota. Serem-serem gimana gituu.
Aku
juga harus rela duduk berjam-jam di depan seseorang yang bersiap mengubah
wajahku. Aku harus merelakan wajahku dipoles di sana-sini. Eh, jangan kalian
bayangkan sentuhannya lembut dan menyenangkan. Terkadang seseorang itu
memberiku sedikit efek sakit, ngeri, perih dan banyak hal deh. Gini nih, kalau
jarang dandan, sesekalinya dandan langsung wajahnya sakit semua, hihi. Belum
lagi kalau seseorang itu menyuruh gak
boleh gini, gak boleh gitu, gak boleh gerak, gak boleh kedip, aah, pokoknya
semuanya gak boleh deh. Aku harus menahan rasa kesemutan karena harus duduk
cantik gak boleh gerak-gerak bak seorang sinden. Aah, betapa ini sangat tidak
menyenangkan bagiku.
Begitulah.
Aku baru didandan sehari ini aja benar-benar merasakan bahwa menjadi cantik
memang sakit, menyiksa dan perlu pengorbanan.
Tetapi
apakah aku benar-benar telah menjadi cantik? Aah, secara fisik mungkin iya, *ya
ampun, ini geer banget*. Tetapi menjadi cantik secara fisik itu tidak abadi.
Lain halnya ketika kita menjadi cantik karena inner shalihah yang dimiliki. Izinkan aku mengganti inner beauty dengan inner shalihah ya. Heheh. Menjadi cantik karena jiwa dan karakter
yang positif itu jauh lebih cantik ketimbang mereka yang hanya cantik karena
faktor fisik belaka. Dan yang lebih parahnya, menjadi cantik jiwa itu perlu
perjuangan yang lebih ekstra ketimbang menjadi cantik fisik. Perlu pengorbanan
yang gak sembarangan.
Sebut
saja berkorban karena kepanasan mengenakan hijab panjang sesuai syariat di
antara mereka yang masih menghiasi rambut panjangnya dengan pita. Berkorban
karena tidak ada lagi kongkow-kongkow gak jelas dengan mereka yang bukan
mahrom. Berkorban untuk selalu terjaga setiap malam agar bisa terus bermunajat
kepada Sang Illahi. Berkorban menahan godaan makan dan minum karena sedang
puasa sunnah. Berkorban menahan keinginan nonton bioskop karena jadwalnya yang
bentrok dengan kajian wajib. Termasuklah berkorban untuk tidak pacaran demi
menanti pasangan halal yang diridhoi Allah.
Nah,
kalian lihat? Itu butuh pengorbanan yang luar biasa. Butuh perjuangan yang
ekstra. Tentunya sedikit lebih menyiksa ketimbang menahan kesemutan karena di
dandani atau perihnya mata karena memakai eye
liner. Memang menyiksa, karena inilah hakikat cantik sesungguhnya. Inilah
cantik yang harusnya menjadi tujuan akhir seorang perempuan. Sebuah cantik yang
takkan luntur karena air. Cantik yang takkan berkurang karena bertambahnya
usia.
Makanya,
menjadi cantik yang sesungguhnya bukan tentang wajahmu yang terlihat menawan di
depan orang lain. Bukan tentang riasan yang dikenakan atau baju yang dipakai.
Karena kecantikan seperti itu akan luntur oleh air, pupus oleh waktu dan habis
termakan usia. Yang diperlukan cantik itu adalah jiwa, bukan fisik aja. Memang
berat dan penuh perjuangan. Tetapi bukannya tidak bisa kan?
Teruslah
melatih diri untuk memiliki kecantikan fisik yang hakiki. Tempah terus jiwa dan
karaktermu agar menjadi pribadi yang lebih baik. Percayalah, jika kamu telah
berusaha dan konsisten untuk terus melakukannya, kecantikanmu akan mengalahkan
bidadari. Dan pada akhirnya bidadari pun akan cemburu padamu.
Yuk,
menjadi cantik!! Tentunya cantik jiwa dong.
Medan,
19 Juli 2018, 11:36
Foto
ini adalah momen betapa aku merasakan sakitnya menjadi cantik (secara fisik).
Terima kasih telah membuatku merasa cantik ketika itu ya Salon Valo Mode. But, im not beautifull anyomore lah.
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
***
PERPISAHAN
 |
Kompleks MMTC, Medan |
Mereka
bukanlah teman yang membersamaiku begitu lama. Mereka juga bahkan tidak
mengenal aku seutuhnya. Mereka juga bukan tempat dimana aku berbagi keluh
kesah. Ya, mereka hanya sebatas rekan kerja. Rekan kerja yang hanya aku temui
di beberapa hari saja setiap minggu. Rekan kerja yang hanya say hello, lalu masing-masing akan
berkutat dengan pekerjaanya. Mereka adalah rekan kerja yang kemudian menjadi
sesuatu istimewa di kemudian hari.
Sebuah
bimbel terkemuka di kota Medan yang menjadi saksi pertemuan kami. Ya, kami
adalah tenaga pengajar di bimbel tersebut. Entah kenapa persahabatan dadakan
ini bisa muncul, aku lupa asal muasal nya, hihi. Ya, awalnya kami memang hanya
sebatas rekan kerja, saling bertegur sapa di kantor, saling membantu urusan
pekerjaan, ya sebatas itu saja lah. Tetapi beberapa bulan setelah saling
mengenal, akhirnya rekan kerja menjadi sahabat.
Aku
membersamai mereka hanya berbilang bulan saja. Well, mungkin hanya sekitar sembilan bulan saja. Dan ikatan
persahabatan dadakan ini malahan muncul di bulan-bulan akhir kebersamaan kami.
Ahh, betapa memilukannya bukan? Harusnya kami nongkrong, belanja bareng atau
nonton bareng itu sejak awal ketemu, bukan di akhir-akhir seperti ini. Kan,
jadinya gak menikmati waktu bersama mereka. Hiks.
Foto
yang aku posting itu adalah sebuah
dokumentasi perpisahan kami. Ya, ketika aku kembali membuat sebuah keputusan
besar dalam hidupku. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota Medan dan kembali
ke kampung halaman. Setelah menamatkan studi pasca sarjanaku, aku memutuskan
untuk mengabdikan seluruh ilmu itu di kampung halaman, hitung-hitung ini caraku
membangun kampung halamanku. Pencitraan banget kan ya, hihihi.
Dan
selalu begitu. Aku pasti akan mengorbankan sesuatu atau seseorang ketika
mengambil sebuah keputusan besar. Dan kali ini, aku terpaksa mengorbankan
ikatan persahabatan dengan mereka. Sebenarnya berat hati, bahkan sangat berat
hati ketika harus mengorbankan persahabatan nan mulia. Aah, entah sudah berapa
kali ikatan persahabatan aku rusakkan hanya karena kepergianku dalam melakukan
sebuah keputusan yang besar. Hey para sahabat yang aku cintai, semoga kalian
semua memaafkan keegoisanku ya.
Keputusan
besarku ini mengantarkan kami untuk saling bertemu dan bercerita di hari itu.
Ya, foto di atas adalah sebuah dokumentasi perpisahan antara aku dan mereka. Baiklah,
aku menyebut ini dengan istilah perpisahan. Berpisah karena kami memang
benar-benar berpisah. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota ini, bukankah itu
artinya kami akan berpisah? Aku memutuskan untuk kembali merusak ikatan
persahabatan yang nyata-nyata nya masih seumur jagung, melepaskan semua
kebersamaan yang telah susah payah dibangun. Bukankah itu artinya sebuah
perpisahan?
Kenapa sih harus meninggalkan kota ini?
Setidaknya
begitu pertanyaan mereka ketika aku memberitahukan keputusan besar ini. Aku
terdiam, tidak tahu harus menjawab apa, bingung harus menjelaskan apa. Entah
apa yang menguatkan hatiku untuk benar-benar harus meninggalkan kota ini dan
segera berpindah ke kotaku. Ahh, maafkan aku sahabat yang tidak memberikan
jawaban memuaskan perihal pertanyaan itu. Aku hanya berharap menjadi pribadi
yang lebih baik lagi di kotaku, bukan di kota ini.
Hingga
pelukan hangat dengan sedikit deraian air mata mengantarkanku meninggalkan kota
ini. Melihat mereka dari kejauhan sambil melambaikan tangan seolah menahan
langkahku untuk bertahan saja di kota ini. Apakah aku harus di sini saja? Well, mereka berhasil membuatku ragu
dengan keputusanku. Tetapi aku harus tetap mantap melangkah. Aku harus
benar-benar pergi meninggalkan kota ini, bukan karena kota ini tidak baik,
kejam, jahat atau apalah. Hanya saja aku harus meninggalkan kota ini,
sepertinya ia bukan tempat yang cocok untukku mewujudkan semua impian.
Sepanjang perjalanan antara kota ini ke kotaku, aku mulai menyusun
rencana-rencana terbaik perihal masa depan yang akan aku bangun di sana.
Dan
begitulah. Manusia hanya bisa berencana dengan sematang-matang perencanaan.
Manusia hanya hampu berusaha dengan semaksimal ikhtiar yang dia bisa. Akan
tetapi ia tak kuasa menentukan takdir dalam hidupnya. Ada Dzat yang jauh lebih
berkuasa daripada perencanaan dan persiapan yang matang itu. Ada Dzat yang
memiliki takdir terbaik yang telah Ia tetapkan untuk kita, hamba-Nya.
Sang
Maha Kuasa itu berkata lain dengan takdirku. Ia kembali menggerakkan raga ini
untuk kembali ke kota ini. Tepat tiga bulan setelah aku menginjakkan kaki ke
kampung halaman, takdir membawaku kembali ke kota ini. Ahh, rasanya belum
kering air mata perpisahan itu dari mata ini. Belum terhapuskan bagaimana wajah
mereka yang sedih melepaskan kepergianku. Dan aku? Akhirnya kembali menancapkan
kaki ku di kota ini.
Banyak
yang bertanya kenapa? Ada apa? aah, jangankan kalian, aku juga sering bertanya
akan hal ini kok. Kenapa takdir membawaku kembali ke sini? Ada apa dengan kota
ini? Apakah ia benar-benar bisa mewujudkan semua impianku?
Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di dalam benakku. Hanya saja tak sempat
aku pertanyakan. Kepada siapa aku harus memberikan pertanyaan ini? Siapa yang
bisa menjawab pertanyaan ini? Mungkin hanya Pemilik Takdir saja yang berhak
untuk ditanya dan memberikan jawaban. Bahkan sampai detik ini aku masih belum
bisa menemukan kenapa aku masih di sini? Mungkinkah ada urusanku di sini yang
belum selesai? Tetapi apa ya Robb?
Medan,
03 Juli 2018, 18:37
Tulisan
ini muncul karena aku sudah mulai lelah berada di sini. Adakah seseorang yang
bisa mengeluarkanku dari kota ini?
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
***
CELENGAN RINDU
 |
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, Riau |
Ini
adalah sebuah dokumentasi yang kita abadikan sekitar tahun 2015. Ya, bukankah
ini sudah sangat lama? Aku sangat suka mengamati lamat-lamat wajah kalian yang
ada di foto ini. Tiga tahun berselang dari pertemuan ini, semoga kalian tetap
cantik seperti di foto ini. Semoga kalian tetap tersenyum seperti di foto ini.
Dan semoga hari-hari kalian juga seindah sore yang kita lewati di kala itu.
Allah
mempertemukanku dengan tiga orang luar biasa ini sekitar tahun 2012. Ketika aku
berhasil menamatkan kuliah S1, Allah menakdirkan aku untuk mengabdi di sebuah
pondok pesantren di kota Pekanbaru. Nah, pondok itulah yang kemudian berhasil
mempertemukan kita berempat. Membersamai
kalian bukanlah berbilang tahun. Aku bersama kalian hanya sekitar sembilan
bulan saja. Karena Allah kembali memberikan takdir yang berbeda, yaitu aku
harus melanjutkan sekolah Pasca Sarjana ku di kota Medan. Kita akhirnya
berpisah di pertengahan 2013. Hingga kembali takdir Allah mempertemukan kita
pada pertengahan tahun 2015.
Boleh
aku perkenalkan kalian? Tiga orang sahabat terbaik yang menemani hari-hariku
selama mengajar di pesantren. Yang pakai baju biru itu namanya Ustadzah Rita,
beliau adalah guru bahasa Indonesia tingkat SMP. Yang pakai jilbab abu-abu
berkacamata itu adalah kak Yosi, beliau adalah musrifah (guru asrama). Yang
pakai jilbab hitam adalah Salwa, beliau juga musrifah seperti kak Yosi. Entah apa yang menguatkan hubungan yang bermula
dari rekan kerja ini, aku bahkan lupa kapan pertama kali kita mulai dekat dan
saling curhat. Begitulah, Allah menggerakkan hati kita kemudian
mempertautkannya satu sama lain, aah, peluuuk.
Kebersamaan
itu akhirnya harus aku akhiri karena sebuah keputusan besar yang aku ambil
yaitu melanjutkan sekolah Pasca Sarjana di kota Medan. Beraat sekali
meninggalkan kalian kala itu, tetapi bismillah, aku harus tetap berangkat demi
masa depanku. Aku kira persahabatan ini hanya sebatas pertemuan yang intens
belaka, tetapi tidak. Allah masih tautkan hati kita walau hampir terpisah enam
ratus kilometer. Kita tetap saling berkomunikasi lewat media sosial, telepon
atau sms. Alhasil kita tetap saling curhat, berbagi cerita, dan mengetahui
kabar masing-masing.
Sayangnya,
media sosial, telepon atau SMS tidak bisa menggantikan kehadiran kalian. Aku
terus memupuk rindu selama hampir dua tahun di kota Medan. Menahan rasa untuk
bertemu mereka, bercengkrama dan saling berbagi cerita. Setiap hari aku
tabungkan rindu itu di dalam celengan rindu yang aku bentuk sendiri. Dengan
harapan, aku bisa membeli sebuah pertemuan beermodalkan hasil celengan rindu
ku.
Hingga
akhirnya saatnya tiba. Ketika celengan rindu itu telah sangat penuh dan sesak
sekali. Aku rasa ini saat yang tepat aku menukar celengan ini dengan sebuah
pertemuan. Bismillah, aku berangkat menuju ke bumi Lancang Kuning untuk menebus
celengan rindu ini. Meluapkan semua rindu yang terus tertahan hampir dua tahun
lamanya. Menceritakan berbagai episode yang aku lewati di kota metropolitan.
Merasakan kembali pelukan hangat yang menenangkan dari kalian.
Dan
beginilah kita kalau udah ketemu. Tak peduli hari itu panas atau macet, kita
tetap bersemangat mengitari kota Pekanbaru yang sederhana itu. Kita
berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya hingga perut ini terasa lapar.
Lalu kembali menuai senyuman dan cerita sambil menikmati makanan yang enak dan
tentu saja enak banget. Sebuah tempat makan yang menjadi saksi betapa kita
sering menghabiskan waktu di sini, bercerita, mengurai luka dan berbagi
bahagia.
Sayangnya
kita akan selalu begini, tetap sama. Kita akan terus bercerita tentang dua
tahun yang kita lewati secara terpisah. Ada banyak hal yang tidak aku ketahui
dari perjalanan hidup kalian. Ada banyak hal yang kalian ingin dengar dari
kisahku selama dua tahun di kota Medan. Kita juga akan terus mengabadikan
setiap kegiatan dalam sebuah dokumentasi sederhana. Aah, mungkin lebih tepatnya
sebuah dokumentasi yang sangat banyak, karena ada banyak foto kalau udah ngumpul.
Apakah
foto-foto itu mengabadikan kisah kita? Aku rasa tidak. Lihat saja, satu orang
diantara kita telah menemukan sandaran hidupnya dan menemukan kota baru yang
lebih nyaman. Satu orang telah pulang ke kampung halaman ingin mengabdikan diri
di sana. Satu orang masih bertahan di kota Bertuah sambil terus mendidik dan
mencerdaskan anak bangsa. Lalu aku? Memilih kota metropolitan ini sebagai
dermaga sementaraku, ya, setidaknya sebelum Sang Kapten menjemputku untuk
berlayar lagi, hehe.
Walau
memang semunya terkesan tidak abadi, tetapi kita percaya bahwa persahabatan ini
akan abadi. Kita percaya bahwa keabadian
itu bukan dari kontak fisik, bukan dari seberapa sering kita bertemu.
Karena jika kita masih saling mendoakan satu sama lain, itu artinya kita sedang
menciptakan keabadian dari benteng persahabatan kita. Inilah yang membuatku
selalu menyebut nama kalian di dalam doa-doaku. Lets robithoh!
Medan,
01 Juli 2018, 18:31
Ketika
menuliskan ini, aku kembali merasakan sesuatu. Ya, sepertinya celengan rinduku
sudah mulai penuh. Kapan aku bisa menukarnya dengan sebuah pertemuan?
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
***
SEMOGA MASIH ADA WAKTU
Salah
satu kebiasaanku adalah menyilangi setiap tanggal yang terlewati di kalender
rumah. Entahlah, aku memulai kebiasaan ini sejak beberapa tahun yang lalu. Well, sebenarnya karena mataku yang
kurang autofocus melihat kalender
dengan jarak jauh, sehingga menyilangi tanggal yang telah dilewati membuatku
mengetahui tanggal hari ini dengan cepat.
Sebuah
kalender dengan pemandangan seperti ini selalu menjadi perhatianku, entah
kenapa. Melihat kalender menyisakan beberapa angka saja untuk disilang
membuatku berpikir “aah, satu bulan telah terlewati”. Apa yang telah aku
lakukan selama satu bulan? Bagaimana pencapaian targetku selama satu bulan ini?
Apa dosa yang telah aku lakukan terhadap Tuhanku? Apa kesalahan yang telah aku
perbuat pada orang-orang di sekitarku?
Biasanya
akhir bulan menjadi salah satu waktu kontemplasi terbaik. Menyadari bahwa satu
bulan telah terlewati dan bulan berikutnya akan datang menyapa, membuatku
tersadar bahwa aku masih banyak kurangnya. Well,
yang paling jelas itu aku masih kurang ‘kamu’ nya, hehehe.
Tentu
saja bukan ‘kamu’ saja yang masih kurang dalam hidupku, ada banyak hal yang
masih sangat kurang. Ini tentunya bukan perihal harta, kekuasaan, tapi lebih
kepada sikap, karakter dan penghambaan kepada Tuhan.
Lihat
saja, betapa diri ini masih bergumul dengan dosa setiap harinya. Diri ini masih
begitu jauh dari kata suci dan bersih. Disadari atau tidak, besar atau kecil,
tampak atau tidak tampak, dosa itu menggerayangi seluruh aktivitas kehidupan. Sayangnya,
kita malah ikut terjebak di dalam permainan dosa itu, bahkan cenderung menikmatinya.
Nauudzubillah. Begitulah, diri ini masih sangat jauh dari kata-kata suci dan
bersih dari dosa dan kesalahan. Astaghfirullah.
Kita
juga masih disibukkan dengan urusan dunia dan menomorduakan urusan akhirat.
Bahkan jika terjadi perdebatan urusan dunia dan akhirat, kita tanpa pikir
panjang langsung memilih urusan dunia. Katanya diri ini mengaku cinta kepada
Tuhan, tetapi ketika Dia meminta bukti keseriusan mencintai-Nya, kita malah
melakukan hal yang sebaliknya. Tidakkah itu artinya kita benar-benar tidak adil
kepada Sang Maha Kuasa?. Dan begitulah kita, masih terus sibuk dan disibukkan
dengan urusan dunia yang tiada kunjung habisnya.
Sekali
lagi, begitulah kita. Yang terus menari indah di atas gunungan dosa. Berpikir
selalu ada hari esok, selalu ada matahari yang akan menyinari pagi, selalu ada
rembulan yang menghiasi malam, selalu ada oksigen untuk mengisi paru-paru. Kita
bahkan tidak pernah berpikir tentang sebuah hari yang tidak ada lagi matahari,
rembulan, bahkan oksigen. Tentang hari, dimana manusia akan dikumpulkan dan
dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya masing-masing. Tentang hari
dimana seorang ibu akan lupa terhadap anaknya, kekasih tiada mengenal kekasihnya.
Ya, pada hari itu semua orang akan sendiri, tiada mengenal sesiapa pun, dan
sibuk dengan urusannya masing-masing.
Jangankan
berpikir, bahkan terlintas saja sangat tidak mungkin di dalam benak kita. Ahh,
sesekali kita perlu melatih diri agar menghadirkan pikiran itu dalam benak. Sesekali
kita butuh melakukan terapi hati dan iman dengan memikirkan hal-hal seperti
itu.
Coba
deh sesekali bayangkan jika tak ada lagi tanggal yang bisa disilang di
kalender. Ketika kalender itu tidak lagi menyisakan satu angka apapun untuk
disilang. Tidakkah diri ini terkejut? Coba bayangkan betapa terperanjatnya diri
ini karena ada sosok yang tiba-tiba meneriakkan ‘ini waktunya pulang’. Sosok
itu tak memberikan tambahan waktu, menarik diri dengan paksa tanpa memberikan
sedikit jeda untuk membawa segala sesuatu yang kita perlukan.
Saat
itulah kita mungkin akan tersadar betapa diri ini terlalu konyol, terlalu
gegabah karena sama sekali tidak benar-benar mempersiapkan segala sesuatu untuk
hari ini. Ketika sosok itu menjemput secara paksa, kita benar-benar tak
mempersiapkan apapun. Lalu dengan pasrah diri ini bermodalkan seadanya, mengikuti
langkah sosok itu, entah akan dibawa kemana. Ingin sekali menariakkan,
‘tunggulah sebentar lagi’, tapi diri ini sudah tak kuasa. Mulut sudah terlalu
kelu untuk berucap. Yang hanya bisa dilakukan adalah terus bergerak menuju ke
hari yang jauh lebih besar dan sangat mencekam.
Sudah
selesaikah membayangkan hal itu? ini bukan sekadar cerita seram ala-ala insidious atau the conjuring. Ini adalah sebuah cerita nyata di masa depan yang
benar-benar akan kita lewati. Sudah siapkah diri ini melewatinya? Aah,
membayangkannya saja membuat bulu kuduk berdiri, apatah lagi kita mengalaminya
kelak?
Sehingga
itulah, selama jantung masih berdetak sesuai ritmenya, itu artinya Allah
menginginkan kita untuk terus mengumpulkan segala persiapan menghadapi hari
itu. Allah tidak ingin sesiapapun hamba Nya menyesali kebodohan ketika hari
kesaksian nanti. Maka teruslah bersiap, teruslah bersiaga. Karena bisa jadi
waktu itu sebentar lagi. Karena bisa jadi ketika diri ini membuka kalender,
hanya terlihat laman kosong, tiada lagi tanggal yang bisa disilang. Dan karena
bisa jadi ada sosok yang tiba-tiba membisikkan ‘ayo pulang’. Wallahu ‘alam
bisshawwab.
Medan,
28 Juni 2018, 08.46
Foto
ini adalah sebuah kalender tahun 2017. Ketika suatu pagi aku ingin menyilang
tanggal kemarin, dan entah kenapa pemikiran semacam ini menyadarkanku. Entah
apa yang sudah aku persiapkan? Ahh, sepertinya bahkan belum ada satupun yang
aku siapkan. Astaghfirullah.
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
***
SAKSI PERUBAHAN DIRIKU
 |
Bukit Naang, Bangkinang, Kabupaten Kampar |
Foto
ini diambil sekitar tujuh tahun yang lalu. Ya, itu adalah waktu yang
lama untuk
menunggu. Tapi waktu yang masih begitu singkat untuk menyebutnya dengan
kenangan. Begitulah, bagiku mereka belum masuk ke dalam memori kenangan.
Aku
masih beranggapan mereka masih ada, dekat, ketawa bersama, susah payah
sama-sama. Hihihi. Well, mungkin
kebersamaan itu memang bukan kontak fisik layaknya tujuh tahun yang lalu.
Bertemu dengan wajah mereka secara virtual saja sudah sangat menyenangkan
hatiku. Mengobrol panjang dengan mereka melalui sentuhan jari di layar smartphone juga sangat memuaskan.
Sesekali mendengar intonasi dan nada suara mereka juga telah mengobati
sebongkah rindu.
Mereka
adalah teman satu kelas dan satu angkatan ketika aku masih unyu-unyu berkuliah
di Universitas Riau? *kamu unyu? Eh, skip aja*. Jumlah kami yang minimalis satu
angkatan (just 48 orang) ya
benar-benar membuat lumayan dekat dan akrab satu sama lain. Hmm, sebenarnya gak
juga sih, tetapi ada kelompok-kelompok tertentu di dalam kelas, tapi kalau udah
hangout seperti ini ya no more gank lah, hihi.
Mereka
bukan hanya sekadar teman satu kelas, teman makan siang ke kantin, teman
sama-sama nunggu dosen pembimbing, atau teman yang nyontek-in tugas kuliah *eh,
afa-afaan ini*, atau teman yang sigap menghubungi jika ada kuliah ganti atau
dosen gak datang. Bagiku malah mereka bukan sekadar teman atau sahabat, mereka
itu adalah saksi perubahan diriku. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan
bagaiman proses aku dari ulat, larva, pupa, terus menjadi kupu-kupu, *tapi,
sekarang masih belum jadi kupu-kupu juga sih*. Intinya, mereka adalah orang
yang tahu ritme perubahan dalam diriku.
Tentunya
bukan hal yang mengejutkan. Bersama mereka itu hampir empat tahun lamanya.
Wajar dong jika mereka melihat empat tahun episode kehidupanku. Wajar juga jika
mereka melihat aku-nya yang dulu pemalu, berantakan tiba-tiba telah menjadi
seseorang seperti sekarang, *memangnya sekarang gimana ya, hehe*
Mereka
menyaksikan aku yang dulunya masih pakai celana kemanapun pergi, hingga
sekarang bermetamorfosa dengan mengenakan rok atau gamis. Mereka juga yang
menyaksikan aku yang dulu jilbabnya masih “lempar kiri kanan” hingga sekarang
tak berdaya lagi untuk ‘melempar’nya. Bahkan proses hijrah itu
terdokumentasikan dengan jelas di setiap foto-foto kami. Ahh, bahkan jadi malu dengan
foto studio yang fenomenal itu. Foto dengan nuansa hitam putih dan almamater
kampus itu masih menampilkan aku yang belum berhijrah. Jadi, jangan terkejut
jika kalian menemukan di foto itu seorang gadis yang jilbabnya dilempar kiri
kanan serta memakai jeans, hiks.
Dari
mereka aku juga belajar banyak hal. Belajar tentang bagaimana harusnya kalau
ngomong di depan umum. Aku yang dulunya pemalu banget setiap ngomong, suka
terbata-bata kalau ngomong di depan kelas, dan alhamdulillah sekarang menjadi lebih
berani. Ini berkat mereka, yang secara sengaja atau tanpa sengaja mengariku
akan hal ini.
Dari
mereka aku juga banyak belajar tentang profesiku. Mereka mengajariku yang
dulunya sangat tidak paham dengan istilah definit positif sampai akhirnya aku
berhasil membuktikan Teorema Butterfly. Aku, yang masih begitu tidak paham
dengan materi kuliah, sering mendapatkan les gratis dari mereka. Dengan kebesaran
hati, mereka rela meluangkan waktu setiap selesai kuliah untuk mengajariku
beberapa materi yang tidak aku pahami. Mereka juga tidak sungkan berbagi
catatan kepadaku. Aah, aku yang dulunya teramat bodoh mengenai profesi ini
benar-benar tercerahkan oleh kebaikan hati mereka. Masha Allah.
Mereka
juga membelajarkan aku tentang agama. Ahh, aku yang dulunya hampir tidak peduli
dengan urusan agama. Paling malas ketika urusan agama dibawa-bawa dalam urusan
dunia, astaghfirullah. Lalu mereka dengan sabarnya mengajariku tentang
bagaimana urgensinya agama dalam dunia. Tentang bagaimana seorang muslim harus
benar-benar kaffah dengan keislamannya. Tentang bagaimana seorang muslimah itu
berpakaian, berpola tingkah laku, bergaul. Hingga akhirnya mereka membuatku
merasakan momen yang disebut dengan ‘hijrah’. Mereka akhirnya mengubah pola
pikirku sehingga sekarang aku merasa bahwa agama adalah hal paling prioritas
dalam hidup. Mereka yang membuat hidupku yang ‘berantakan’ menjadi lebih
teratur.
Dan
begitulah mereka. Sekumpulan malaikat langit yang Allah kirimkan untuk
menjagaku, mengajariku dan membimbingku selama di dunia. Mereka adalah saksi
perubahan diriku. Bukan hanya perubahan fisik, gaya berpakaian atau pola
tingkah lakuku, tetapi juga perubahan pola pikir dan prinsip hidupku. Empat tahun
bersama mereka adalah episode terindah dalam hidup. Terima kasih karena kalian
telah membuat lukisan kehidupanku lebih berwarna, terima kasih telah memberikan
warna berbeda dalam lukisanku, dan tentunya terima kasih telah menjadikan
diriku seperti sekarang ini. Aah, aku merasa menjadi pribadi yang lebih baik
setelah bertemu kalian. Masha Allah.
Payakumbuh,
9 Juni 2018, 20 : 29 WIB
In
frame ; ini adalah dokumentasi terakhir kami jalan-jalan ke salah satu arena outbond di Kabupaten Kampar. Setelah ini,
kami benar-benar tidak pernah lagi hangout
barengan lagi, hiks. Eh, kok tiba-tiba merindukan kalian semua ya? Lets
Robithoh and Lets Al Fatihah (especially
for Alm.Zul)
***
CATATAN WISUDA
 |
Judicium Ceremonial of Master Program |
Siapa
sih yang tidak memimpikan momen ini berlangsung dalam kehidupannya. Apalagi
mahasiswa semester akhir yang masing ngos-ngosan dengan tugas akhirnya. Bisa
segera merasakan momen wisuda adalah impian terbesar dalam hidup. Seolah kebahagiaan
hidup paling paripurna itu didapatkan setelah mengecap momen wisuda. Jangankan
mahasiswa semester akhir, mahasiswa baru pun juga berdecak kagum ketika acara
perhelatan wisuda di gelar di kampusnya. Melihat senior yang berbaju toga itu
kok ya rasanya keren banget, rasanya bahagiaaa banget.
Eh,
apakah sebenarnya wisuda itu menyenangkan? Membahagiakan? Aah tentu saja. Aku
yang notabene nya sudah dua kali merasakan prosesi wisuda gak akan pernah lupa
gimana rasa deg-degan setiap wisuda. Seolah wisuda itu punya sensasi
tersendiri.
Momen
wisuda membuat lupa bagaimana jerih payah masuk ke kampus favorit. Dulu sebelum
masuk kampus berjuang mati-matian, ada yang lewat jalur undangan, ada juga yang
diharuskan mengikuti seleksi masuk kampus. Walau masuk ke kampus favorit itu
susah dan nyesek banget, tapi keluarnya (read
: wisuda) itu tetap harus disegerakan. Jadi teringat kata senior “dek,
masuk kampus ini susah, udah masuk malah mau cepat-cepat keluar”. Ahh,
pemikiran yang sedikit aneh menurutku, heheh.
Wisuda
itu membuat lupa bagaimana rasanya bergadang mengerjakan tugas kuliah, laporan
praktikum, laporan penelitian, algoritma program. Tugas kuliah itu benar-benar
kayak tukang bubur naik haji atau cinta fitri atau tersanjung, gak ada
habis-habisnya, hehehe. Prediksi seorang mahasiswa itu ia bisa menghabiskan week end dengan bermalas-malasan di kos,
tetapi takdir berkata lain, ia harus berkutat dengan laptop, artikel ataupun
buku.
Wisuda
juga membuat lupa bagaimana rasanya ketika tugas akhir dipenuhi oleh tanda
cinta dari dosen pembimbing. Semua bab ada coretannya, ketika ditanya salahnya dimana ya pak?, lalu beliau
dengan lugu, polos dan tak berdosa menjawab cari
sendiri lah. Allahu Akbar!! Ini tuh lebih parah dari di PHP-in euy, *uhuk*.
Belum lagi harus ada drama kejar-kejaran dengan si bapak. Ketika kita masuk
lewat pintu depan, ee si bapak kabur lewat pintu belakang. Aah, sakitnya itu
dimana-mana. Atau yang paling melatih kesabaran, kita udah hampir 3 jam
nungguin di depan ruangan beliau, menghubungi beliau tapi gak aktif, terus
tiba-tiba beliau memberi kabar maaf ya,
saya lupa kalau kita ada janji. Bunuh aja saya pak, bunuh aja, hahaha. Ini
nih derita mahasiswa semester akhir banget.
Wisuda
pun membuat lupa tentang rasa deg-degan ketika sidang tugas akhir berlangsung.
Mulut tergagap menjawab pertanyaan dari empat dosen mengenai hasil penelitian
kita, dimana keempat dosen itu bukanlah dosen kemarin sore, melainkan mereka
yang sudah maral melintang di profesinya. Betapa keringat dingin membanjiri tubuh
ketika ada seorang dosen yang tiba-tiba walk
out. Betapa adrenalin diproduksi dengan maksimal ketika seorang dosen
dengan lantang memberikan pertanyaan yang susah atau dengan santainya
mencampak-campakkan tugas akhir kita. Ahhh, sensai naik roller coster kalah deh dengan sensasi sidang tugas akhir.
Wisuda
memang membuat segala kesusahan dan kepayahan itu menjadi sebuah fatamorgana. Dan
orang-orang yang menyaksikan prosesi wisuda tentu tidak tahu bagaimana susah
dan payahnya diri ini tertatih-tatih menuju gerbang wisuda. Para penonton
wisuda itu hanya melihat kesuksesan yang telah kita capai dan melupakan
bagaimana capeknya mendapatkan moment wisuda, bagaimana sakitnya jiwa raga ini.
Dan
begitulah, setiap wisuda itu akan selalu ada cerita. Wisuda itu selalu
memberikan sebuah pengalaman luar biasa, memberikan gambaran kebahagiaan yang
tiada terkira. Dan memberikan rasa yang ingin lagi, ingin lagi, seperti candu. Aah,
kok jadi kepengen wisuda lagi ya? Aku
sempat menuturkan masalah keinginan untuk wisuda lagi (read : doctoral program) kepada salah seorang sahabat. Aku pikir
akan mendapat sebuah suntikan semangat, kata-kata motivasi atau apa lah gitu,
ternyata tidak.
“Jika
tesis dikerjakan seorang diri, apa bedanya tesis dengan skripsi. Dan jika
disertasi dikerjakan seorang diri, apa bedanya disertasi dengan skripsi. Paham masukku
toh?” kurang lebih begitulah kalimat menyakitkan ini keluar dari mulutnya.
Menyakitkan. Jleb banget. Nohok. Nampar keras. Semuanya deh. Tapi apa bener
seperti itu? Terus aku-nya harus gimana? Hmmm *let me think*. Dan akhirnya baca
panduan beasiswa LPDP. Hehehe
Medan,
05 Juni 2018, 11 : 16 WIB
Foto
ini adalah wisuda besar-besaran teman satu gank, satu kelas, satu perjuangan
tapi gak satu nasib. Hehe. Foto ini diambil sekitar Oktober 2015. Please jangan tanya aku kenapa gak pakai
toga di foto itu, hehe.
***
SAHABAT
 |
Rujak Simpang Jodoh at Tembung, Deli Serdang, Sumatera Utara |
Ada
orang yang memiliki teman, relasi kerja, rekan bisnis yang banyak dan bejibun.
Tetapi ketika ia ditanya tentang sahabat, tak satupun nama yang tersebut dari
bibirnya. Ada juga orang yang memiliki
musuh yang banyak, haters yang tidak
bersahabat. Namun ketika diminta berbicara mengenai sahabatnya, ia bukan hanya
menyebut nama, malah ia hadirkan sosok yang bernama sahabat itu. Kau termasuk
yang mana? Aah, semoga tidak keduanya ya. Semoga Allah memasukkan kita kepada
orang yang memiliki banyak teman, relasi kerja, rekan bisnis, banyak sahabat
serta tidak ada musuh. Oh, what a
beautiful world!
Bagiku,
sahabat adalah kata lain dari keluarga atau saudara. Mereka hadir tanpa
dipinta. Mereka datang tanpa diundang. Bahkan mereka membersamai kita tanpa
perjanjian. Tidak ada akad bahwa jika aku
sukses maka aku akan mendompleng kesuksesanmu dalam sebuah persahabatan. Ia
benar-benar sebuah ikatan tulus nan mulia. Tak perlu syarat tertentu untuk
menjadi seorang sahabat.
Dan
begitulah mereka yang berada di foto ini. Mereka adalah orang yang Allah
kirimkan kepadaku untuk menjadi orang yang membersamaiku. Mereka datang tanpa
ada syarat bahwa aku harus ini dulu harus itu dulu. Merekalah yang kemudian
menjadi sosok yang aku sebut dengan Sahabat.
Merekalah
yang mengisi sepanjang keseharianku selama berada di kota Metropolitan ini.
Ahh, tentunya tak terbayangkan bagi seorang anak kampung yang akhirnya
menginjakkan kaki dan menetap di sebuah kota yang termasuk kota besar di
Indonesia. Bukan hal yang mudah bagiku untuk menyesuaikan diri ketika pertama
kali di kota ini. Gaya bicara yang terkesan tegas dan blak-blakan menimbulkan shock batin. Merekalah yang kemudian
mengajariku menanggapinya. Banyaknya angkot dengan berbagai warna dan nomor di
jalanan kota Medan kerap kali membuatku bingung bahkan lupa aku harus naik angkot nomor berapa ya?. Dan
merekalah yang membuat daftar angkot plus dengan rutenya. Mereka juga yang siap
angkat telpon ketika satu hari aku tersesat dan bingung harus naik angkot yang
mana.
Mereka
juga yang melengkapi bahagiaku. Mengajakku berkeliling kota Medan yang
benar-benar aku tak tahu. Menikmati berbagai kuliner Medan yang katanya enak. Selalu
bertandang ke kos-kosan ku ketika aku bilang suntuk nih. Aah, mereka adalah alasan kenapa aku masih berbahagia
dan menikmati hidup di kota Metropolitan ini. Mereka jugalah yang menutupi
segala kesedihan dan lukaku. Menghapus air mata ketika judul proposal thesis
ditolak pembimbing. Mendengarkan dengan legowo semua keluh kesahku. Menjadi
bahu tempat aku bersandar ketika aku butuh seseorang yang menguatkan. Mereka
benar-benar membalut luka ku dengan rapi, tanpa sakit, tanpa perih.
Bersama
mereka, waktu berjalan terasa lebih cepat. Baru sebentar ngumpul, ee udah sore,
ee udah magrib. Seolah kita sedang berada di dimensi lain yang waktunya
berjalan lebih cepat. Bertemu dengan mereka itu hukumnya seperti wajib. Jika
sehari tak bertemu, kok rasanya ada yang kurang ya, akhirnya pertemuan itu
diganti dengan nyerocos panjang di grup. Masha Allah
Bersama
mereka, semua topik pembicaraan menjadi sesuatu hal yang menarik untuk
dibicarakan. Dan kabar baiknya kami membicarakan semua hal. Hal yang menarik,
menantang, seru biasanya tidak luput dari pembicaraan kami. Misalnya
pembicaraan mengenai betapa letihnya menghadapi tugas kuliah yang datangnya bak
banjir. Kuliah master itu memang tatap muka nya 3 kali dalam seminggu, its mean you have 4 days to get holiday.
But NO!. Empat hari yang dalam
bayangan akan bisa liburan, nongkrong sana sini ternyata semuanya benar-benar
diperuntukkan untuk mengerjakan tugas kuliah. Buat papper lah, review buku
lah, research lah atau sekadar otak
atik software. Menyebalkan banget
membahas hal ini. Tetapi bersama mereka kok ya jadi menarik aja gitu.
Belum
lagi tentang kejar-kejaran dengan dosen pembimbing ketika mau bimbingan thesis. Ketika kita lewat pintu depan,
ee si bapak lewat pintu belakang, Allahu Akbar!!. Ketika beliau menjanjikan
hari ini bisa bimbingan, kita udah nunggu seharian, ee si bapak gak datang
karena lupa, ya Allah tolong deh. Nah mereka inilah yang menjadi saksi betapa
hati ini membuncah-buncah melihat kelakuan dosen pembimbing, hehe.
Termasuklah
pembicaran kami tentang anak lelaki profesor EN yang keren bingits. Gimana gak keren coba, S1–nya ITB, dan
sekarang S2 UGM, Masha Allah, so future
perfectly husband lah pokoknya, hehehe.
Pembicaraan remeh temeh beginian tetap mengasyikkan deh kalau sama mereka. Begitulah
kami, semua hal kami bicarakan. Topik apapun ketika dibicarakan bersama mereka,
kok jadinya lebih menarik ya, hehe. Kenapa rujak simpang jodoh itu enak banget,
bagaimana kriteria our future gregarious husband *uhuk, uhuk*. Bahkan membicarakan kami harus
memilih Prabowo atau Jokowi, hehe.
Begitulah
sahabat. Ia hadir tanpa ada syarat apapun. Ia datang untuk membersamai dalam
bahagia terlebih lagi dalam duka. Ia adalah selimut tebal ketika dingin dan AC
saat panas. Ia ibarat antibiotik ketika rasa sakit mendera, memang tidak
berkuasa menghilangkan rasa sakit, tapi setidaknya ia mampu meredakan. Aah,
tulisan ini akan berlembar-lembar jadinya jika kita terus mendeskripsikan makna
persahabatan. Ada baiknya kita berhenti mencari-cari makna sahabat yang baik,
tetapi yuk ah menjadi sahabat yang baik!
Medan,
25 Mei 2018, 08 : 26 WIB
Foto
ini adalah foto terakhir kita sebelum perpisahan itu datang. Sekarang mungkin
tiada lagi makan rujak simpang jodoh, tiada lagi naik kereta api tengah malam, tiada
lagi cerita sambil nangis-nangis, tiada lagi foto dengan berbagai ekspresi. Tapi
‘kita’ masih ada kok! Tersimpan di hati, tercatat di memori. Lets Robithoh!!,
beginilah caraku ketika teramat sangat sangat sangat merindukan kalian.
***
TER-RAPI
Gambar
ini adalah sebuah kisah satu tahun yang lalu. Dan aku baru sempat menceritakan
hal ini sekarang. Apakah membutuhkan waktu satu tahun untuk menemukan inspirasi
dan menuliskannya dalam susunan kata yang bermakna? Aah, bisa saja. Namun kesibukan
yang mendera ditambah sebongkah rasa malas *astaghfirullah* adalah alasan yang
paling aku benarkan atas hal ini.
Berawal
dari ketika ingin bersih-bersih beberapa foto di media sosial *jangan tanya
kenapa*, akhirnya screen hp menunjukkan foto ini. Aah, memori otak
membawaku pada ingatan satu tahun yang lalu, ketika rekan kerja di Primagama
Jemadi memberikan bingkisan kecil ini kepadaku. Begitulah ajaibnya kekuatan
sebuah foto bagiku. Ia bisa memanggil semua ingatan kala itu, bahkan bukan
sekadar urutan peristiwanya, aku juga bisa merasakan rasa-nya dengan baik. Ini
juga yang terus menjadi pembenaranku bahwa aku harus capture every moment. Aku menyadari bahwa otakku takkan bisa
menyimpan semuanya dengan baik, nah melalui foto mungkin bagaikan hardisk bagi otakku. Hehe.
Waktu
itu ada acara perpisahan dengan siswa kelas XII. Menjelang mereka menghadapi
Ujian Nasional, kami mengadakan acara perpisahan sekaligus doa bersama. Secara,
mereka juga telah menyelesaikan kegiatan pembelajarannya di Primagama. Sayangnya
aku tidak mengikuti kegiatan perpisahan itu. Bukan karena malas atau capek, aku
sedang berada di luar kota ketika teman-teman Primagama menyelenggarakan acara
ini. Padahal aku ingin sekali membersamai siswa kelas XII itu dalam acara
perpisahan mereka. *Maafkan mba ya*
Begitulah,
aku hanya melihat foto hasil ke-alay-an mereka hari itu. Mulai dari yang versi
rapi, lagi makan eskrim, makan ini, makan itu. Eeh, ada banyak makanan di sana,
sayang sekali aku tidak bisa ikut, hehehe. Ada sebuah rasa sedih menyusup ke
relung hatiku. Betapa iri melihat kegembiraan yang terlukis di wajah mereka.
Betapa ingin menjadi salah satu bagian dari foto itu. Tapi ya mau gimana lagi,
tugas negara yang diamanahkan kepadaku jauh lebih penting aku kerjakan daripada
menghadiri acara perpisahan itu. Sekali lagi maafkan mba Suci ya!
Beberapa
hari setelah perpisahan aku kembali hadir di kantor Primagama. Ya, memang
karena ada jadwal mengajar sekalian mengantar oleh-oleh dinas luar kota. Para
rekan kerjaku begitu bersemangat menceritakan susana perpisahan yang haru biru
itu. Ahh, betapa iri telinga ini mendengarnya. Lalu, seorang rekan kerja
memberikan bingkisan ini kepadaku. Aku terkejut, tak menyangka bahwa ada sebuah
hadiah yang bertuliskan namaku dengan gelar i-smart
rapi.
Mereka
lalu bercerita, bahwa ketika perpisahan ada sebuah games kecil-kecilan. Well, seperti
sayembara gitu lah. Mereka membuat nominasi i-smart
tegas, i-smart termodis dan i-smart
ter-rapi, siswa ter-rajin, siswa ter-heboh, dan lain-lain. Eh, ada games seperti itu ya? batinku. Para siswa memilih i-smart
sesuai dengan penilaian mereka. Dan qodarullah aku terpilih menjadi i-smart
yang katanya rapi. Rapi? Aah aku sendiri tidak yakin. Entah
darimana para siswa itu menilai sehingga aku bisa dikategorikan sebagai tentor
ter-rapi. But, anyway, thank you so much
guys!
Aku
menatap bingkisan ini lamat-lamat. Lagi?
Batinku. Akhirnya aku mendapatkan kategori ini lagi. Dulu, ketika zamannya jadi
kakak senior MOS (Massa Orientasi Siswa) SMA aku sering mendapat gelar kakak
ter-rapi. Dan waktu itu aku juga berpikir, kok
bisa ya?. Berlanjut ketika menjadi senior MaBa (Mahasiswa Baru) di kampus.
Kembali lagi gelar itu melekat padaku. Begitu selanjutnya, ketika mengajar di
sekolah gelar ini mengikutinya. Hingga akhirnya di Primagama pun aku
mendapatkannya.
Bersyukur,
ooh tentu saja. Alhamdulillah. Orang-orang di sekitarku ternyata memberikan
penilaian yang baik terhadapku. Ya, walau aku masih bingung kenapa mereka
memilihku sebagai seseorang yang rapi. Katanya pakaianku, jilbabku selalu
senada dan terlihat rapi *eh, masa sih*. Katanya tulisanku kalau lagi ngajar
itu juga rapi *hhm, gak juga*. Katanya aku kalau lagi ngomong itu runut, jelas,
terstruktur *what? Ini mah bohong*. Katanya aku kau mengerjakan
pekerjaan rapi, gak berantakan *hhm, ada-ada aja*. Dan masih banyak
katanya-katanya yang lain. Aah, betapa harus banyak diri ini bersyukur karena
Allah masih tutupkan aib-aibku di hadapan mereka semua.
Terlepas
dari penampilanku, tulisan tanganku, sistematika pekerjaan atau gaya
berbicaraku, menurutku gelar ini adalah sebuah ‘tamparan’ kecil bagiku. Bertahun-tahun
aku terus mendapatkan nominasi ini, let
me think, apakah ada yang salah dengan kerapianku? Bukan soal kerapian
fisik atau tulisan, tetapi kerapian hati, karakter dan ibadah-ibadahku.
Astaghfirullah.
Aku
jadi berpikir, apakah Allah sedang menegurku lewat bingkisan ini? Ya. mungkin
selama ini aku kurang merapikan ibadah-ibadahku. Bisa saja aku rasa syukur dan
sabarku masih sangat berantakan. Atau beberapa karakter dan sifatku yang butuh
dirapikan lagi. Ternyata jika ditafakkuri, ditadabburi, ada banyak hal dalam
hidupku yang masih sangat berantakan. Banyak hal yang ternyata memerlukan
sebuah perbaikan. Sayangnya kesibukan dunia membuatku lupa akan hal ini. Aku
merasa baik-baik saja dengan diri dan hidupku, ternyata setelah aku lihat dan
renungi lagi, Astaghfirullah, aku masih hidup dalam ke-berantak-an.
Naudzubillah.
Uniknya
hidup begitu. Jangan pernah menyangka bahwa nikmat yang kita terima, apapun itu
bentuknya, apakah itu harta, pasangan hidup yang bertakwa, atau popularitas
adalah balasan atas kebaikan-kebaikan kita. TIDAK, itu sama sekali bukan
balasan kebaikan. Balasan kebaikan, keshalihan kita hanya berhak kita terima di
akhirat kelak. Lalu nikmat itu untuk apa? nikmat itu hanyalah ujian level
berikutnya. Ya, kita sedang diuji ketika Allah memberikan nikmat tertentu
kepada kita. Jangan sampai kita terlena dan tersibukkan.
Aau
bisa saja nikmat itu adalah bentuk teguran Allah terhadap kita. Sebuah teguran
yang unik dan ‘manis’ menurutku. Allah bisa menegur kualitas iman kita dengan
mengirimkan pasangan shalihah/shalih untuk kita. Allah juga bisa menegur
frekuensi sedekah kita dengan menitipkan rezeki yang berlimpah. Allah menegur
bagaimana hubungan kita dengan orang tua melalui anak-anak berbakti yang Ia
titipkan.
Jangan
terlena dengan apapun nikmat yang Allah berikan. Anggaplah itu sebagai ujian
level berikutnya, atau perlakukan ia sebagai teguran Allah terhadap kita.
Medan,
19 Mei 2018, 21:19 WIB
Sepertinya
aku harus melalukan list kembali. Apa
aja hal yang masih berantakan dalam hidupku ya?
***
LIHATLAH KE ATAS!
 |
Ray Inn Hotel, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara |
Semasa
kecil aku sering dinasehati ‘jangan terlalu sering melihat ke atas, nanti kamu
kelilipan’. Sebuah nasehat sederhana tetapi penuh makna. Dulu, aku hanya
memaknai secara denotasi saja, hingga akhirnya aku jarang melihat langit-langit
rumah atau kelas, heheh. Jika ada yang bertanya tentang hal itu aku menjawab
“takut kelilipan”. Nasehat yang terus terngiang itu sekarang aku maknai dengan
cara berbeda. Aku pikirkan apa sebenarnya maksud yang ingin diutarakan oleh si
pemberi nasehat. Ya, walaupun belum terlalu tepat dan jeli, aku bisa menarik
benang merah dari perkataan tersebut.
Aku
memaknai nasehat itu sebagai bentuk syukur yang harus dimiliki oleh manusia.
Seringkali kita mengeluhkan masalah yang dihadapi, penderitaan yang tak kunjung
selesai atau takdir Allah yang kurang bersahabat. Kesedihan dan kekhawatiran
berlebihan ini akhirnya menjelma menjadi sebuah penghakiman terhadap diri
sendiri yang terlahir ‘sial’ atau mengatakan bahwa Allah tidak adil terhadap
diri ini. Kenapa diri ini merasa sial, serba kekurangan? Itu karena kita
terlalu sibuk membandingkan diri ini dengan mereka yang serba berlebihan. Kita
selalu melihat orang lain yang mendapatkan apa yang kita impikan, nah kita?
Sibuk dengan khayalan ‘andaikan aku yang memilikinya’ ahh.
Bagaimana
jika ubah pembandingnya? Jika selama ini terlalu sibuk membandingkan dengan
mereka yang berlebihan, maka cobalah sesekali bandingkan dengan mereka yang
berada di bawah kita. Mereka yang hidupnya jauh lebih menderita, lebih kekurangan,
lebih nestapa dari hidup yang kita alami. Jika tak bisa kau temui di dunia
nyata, maka bukalah lembaran mushaf. Percayalah, kau akan menemukan sebuah
kisah nestapa dari seorang pria tampan yang disayangi oleh ayahnya, didengki
oleh saudaranya, dilempar ke sumur, dipungut oleh penjual, dijual murah sebagai
budak, dijadikan pelampiasan nafsu majikan, difitnah, dipenjara, dilupakan oleh
teman yang dulunya berjanji akan membebaskan hingga menjadi bendahara negaranya
yang mengurusi permasalahan negara yang tak kunjung selesai. Semoga kalian tahu
kisah siapa yang sedang aku ceritakan.
Dengan
‘melihat ke bawah’ setidaknya akan ada rasa syukur dalam hati bahwa ternyata
hidup kita masih jauh lebih baik daripada orang lain. Allah masih memberikan
anugerah kepada kita daripada orang itu. Kita masih bisa makan dengan enak,
sementara mereka harus berkelana untuk seteguk air. Masih suka mengeluh lagi
dengan penderitaan itu? Cobalah sesekali ‘lihat ke bawah’, kau akan benar-benar
bersyukur dengan penderitaan yang dimiliki. Karena ternyata mereka jauh lebih
menderita daripada kita. Setidaknya ini adalah makna yang aku dapatkan dari
pesan ‘jangan terlalui sering melihat ke atas’.
Tetapi,
apakah sebetulnya kita tidak diperbolehkan untuk melihat ke atas? Apakah
sebaiknya kita hanya melihat ke bawah sebagai bentuk ungkapan syukur kepada
Allah? Pikiran seperti ini juga salah. Tidak selamanya melihat ke atas itu
salah. Begitu juga, merupakan salah besar ketika kau terus melihat ke bawah.
Lalu, ‘lihat ke atas’ seperti apa yang baik? Yang tidak menimbulkan rasa iri
dan dengki berlebihan? Yang tidak membuat kita akan mengutuki diri sendiri?
Lihatlah
mereka yang ibadahnya lebih darimu. Lihatlah mereka yang bisa memaksimalkan
kemampuannya dalam belajar sehingga memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan
orang lain. Lihatlah mereka yang tetap berbagi dalam kondisi lapang terlebih
lagi dalam kondisi yang sempit. Lihatlah mereka yang menangis syahdu ketika
mendengar ayat-ayat Robbnya dibacakan. Lihatlah mereka yang sukses dunianya,
tetapi tetap zuhud dan tawadhu’. Masha Allah. Itulah mereka yang berada di atas
kita, sehingga untuk melihat mereka kita harus melihat ke atas.
Dalam
hal ini ‘melihat ke atas’ sangat dianjurkan. Iri terhadap mereka sangat
diperbolehkan. Mempelajari kebiasaan, hal positif yang mereka bahkan bernilai
pahala di sisi Allah. Maka, pelajarilah mereka! Belajarlah untuk menjadi
seperti mereka. Jadikan ‘pandangan ke atas’ ini sebagai cambuk motivasi agar
kita terus bermetamorfosa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jangan hanya
berkhayal menjadi mereka! Tidak cukup bermimpi dan bercita-cita akan seperti
mereka suatu hari nanti. Tetapi buktikan bahwa kau bisa menjadi seperti mereka,
kau bisa menyamakan mereka dalam kualitas ibadah dan kebaikannya.
Selamat
melihat ke atas !
Tapi
jangan salah lihat ya, nanti kamu bisa kelilipan.
Medan,
25 Maret 2018, 16 : 28 WIB
Kami
melihat ke atas bukan karena ada seseorang yang bagus ibadah atau bermanfaat ilmunya. Tetapi karena kamera
itu memang ada di atas, dan begitulah say
cheese!
***
HAI DEADLINE!
 |
Sumber : rzkyyy.blogspot.co.id |
Membaca
buku adalah suatu hobi yang hampir bisa dikatakan candu untukku. Entah sudah
berapa ratus majalah Bobo aku lahap dari kecil. Entah sudah berapa majalah Ino
aku koleksi, beberapa komik dan novel tentunya. Kebiasaan ayah yang suka membaca
buku alhamdulillah masuk ke sendi-sendi kehidupanku. Dan beginilah aku, menjadi
seseorang yang sangat menyukai buku, melahapnya cepat-cepat dan menyimpannya di
perpustakaan pribadiku.
Salah
satu kebiasaan baca buku, yang menurutku agak aneh adalah aku suka melihat
berapa lembar lagi agar aku bisa mengkhatamkan buku ini. Setiap membaca buku,
aku selalu melihat berapa halaman jarak tanda bacaku dengan ujung buku,
hihihihi. Masih banyak kah? Besok bisa selesai gak ya? entah kenapa jadinya membaca
buku terkesan buru-buru. Padahal kan harusnya tidak begitu, nikmati saja proses
membaca buku itu. Jangan terobsesi dengan cepat mengkhatamkan buku tapi tidak
tahu apa maksud dari buku yang telah dibaca, oh my God. Aku menyadari sebuah keanehan itu, dan akhirnya aku
berusaha untuk tidak terlalu terobsesi untuk sesegera mungkin mengkhatamkan
buku. And well, aku rasa sekarang aku
jauh lebih baik dalam menikmati setiap buku yang aku baca, yeaay !!
Kebiasaan
membaca buku ala aku yang aneh ini ternyata sering kalian lakukan juga lho,
eeh. Its mean ternyata bukan aku saja
yang memiliki kebiasaan aneh ini, haha. Kapan kebiasaan ini muncul? Adalah
ketika hidup dipenuhi dengan deadline
yang ternyata deadline banget.
Perhatikan kalimat berikut ini;
Berapa lembar lagi?
Ternyata masih banyak
Selesaikah?
Bagaimana kalau selesaikan yang itu
dulu?
Eh, tapi?
Ini
tuh beberapa celetukan yang sering muncul ketika hidup kita banyak deadline. Ketika disibukkan oleh suatu
pekerjaan, tiba-tiba otak mengarahkan pikiran dengan deadline yang lainnya. Ternyata kita bukan hanya harus mengerjakan
lembaran yang ini, ada lagi lembaran yang itu, pekerjaan yang itu, yang di sana
juga, yang di sini juga. Huaaa. Kemudian mulai panik, resah atau bingung,
akhirnya semua deadline dikerjakan ala kadarnya, bahkan menjadi lebih
berantakan, aiihh. Pernah mengalaminya? Aah, kalau aku mah sering banget.
Itu
adalah salah satu kebiasaan aneh yang tanpa sengaja dilakukan oleh banyak
orang, mungkin salah satunya kita. Kebiasaan aneh yang sebenarnya memiliki
dampak negatif terhadap kualitas pekerjaan, diri dan emosional kita tentunya. Banyak
orang yang belum menyelesaikan satu pekerjaan, deadline, atau satu targetnya, malahan begitu asyik membolak balik
target berikutnya. Pikirannya melanglang buana membentuk tulisan dan lembaran
yang ternyata isinya adalah daftar target atau deadline yang harus segera dikerjakan. Tanpa disadari, ternyata
begitu banyak deadline yang harus
dikerjakan, harus banyak target yang harus dicapai. Mulai panik, mulai gelisah,
mulai kacau, dan akhirnya semuanya berantakan. Aiih.
Mengingat
– ingat seberapa banyak deadline itu
penting, karena ia akan mengarahkan pekerjaan agar lebih sistematis dan membuat
waktu lebih efektif. Tetapi jangan berlarut-larut dengan daftar deadline tersebut, karena ia akan memicu
stres yang lebih tinggi, panik yang berlebihan. Ujungnya apa? Membuat pikiran
tidak maksimal sehingga pekerjaan diselesaikan ala kadarnya. Tentunya bukan itu
kan yang kita inginkan?
Sekarang,
coba tarik napas secara perlahan. Lupakan terlebih dahulu urutan deadline yang ‘menyebalkan’ itu, hehe.
Pilihlah satu deadline yang
benar-benar lebih prioritas dari pada yang lain. Deadline yang seperti ini biasanya merupakan sesuatu yang penting
dan sifatnya mendesak, itu artinya harus diselesaikan dalam waktu sesegera
mungkin. Mulailah kerjakan deadline
yang telah dipilih. Cobalah untuk fokus dalam mengerjakannya. Jangan pikirkan deadline yang lain ketika sedang
berkutat dengan deadline yang sedang
dikerjakan. Kerjakan saja pelan tetapi pasti, perlahan tapi menjanjikan, dan
selesaikan deadline dengan
sebaik-baik hasil, sebaik-baik proses pengerjaanya.
Jika
telah menyelesaikan satu deadline dan
sudah merasa puas dengan hasil pekerjaan itu, maka lirik lagi daftar deadline yang harus dikerjakan. Pilih
satu deadline lagi yang sifatnya mendesak dan penting,
kembali kerjakan deadline tersebut,
cobalah untuk fokus, dan begitu seterusnya. Hingga semua deadline itu terselesaikan dengan baik. Bahkan tanpa kita sadari
semua deadline telah dikerjakan
dengan baik dan hasilnya sangat memuaskan. Yeay!
Berhentilah
dengan kebiasaan-kebiasaan aneh itu (ini sebenarnya sedang menasehati diri
sendiri, hehe). Terkadang kita suka berkeluh kesah dengan ribuan deadline. Menghabiskan ribuan detik
hanya menatap deadline dengan tatapan
kosong sambil mengasihani diri sendiri, ‘ah, betapa kasihannya aku yang banyak
pekerjaan ini’. Apakah ritual itu akan menghilangkan satu deadline di daftar itu? Ah, tentu saja tidak, tetapi kenapa masih
sering dilakukan? Aneh. Sudah cukup mengutuki deadline atau mengasihi diri sendiri, lebih baik kita sibuk
mengatur strategi untuk menyelesaikan ribuan target tersebut.
Lalu
tunggu apalagi! Tetapkan satu deadline,
mulailah mengerjakannya, dan tetaplah FOKUS.
Medan,
08 Maret 2018, 13 : 38 WIB
Tulisan
ini semata-mata hanya untuk memotivasi diriku yang sedang berjibaku dengan deadline yang ternyata deadline banget. Terus semangat Suci !
***
SAMPAI DI PUNCAK
No comments:
Post a Comment