![]() |
Dewi Kwan Inn, Siantar, Sumatera Utara |
Ada
seseorang ketika di kelas hanya tidur, bermain atau sekadar bermalas-malasan.
Akan tetapi, saat ujian atau presentasi ia mampu memberikan hasil yang
maksimal. Seolah ilmu yang dipelajari selama ini tersimpan rapi di dalam batok kepalanya.
Sehingga ketika ujian, semua jawaban soal mengalir dengan lancarnya.
Lalu,
kita dengan naifnya mengambil kesimpulan bahwa ia memang pintar karena memang
dasarnya pintar. Kita menyimpulkan bahwa seseorang itu memang pintar secara
genetis. Melihat anak professor yang dapat prediket cum laude di kampus, lalu kita beranggapan :
“Wajar dia pintar, keturunan sih.
Bapaknya saja professor”
Melihat
teman nyatri yang hafalannya sudah berjuz juz, otak kita pun berpikir :
“ya iya lah, dia anak Hafizh quran”
Perasaan
ini terus menjadi-jadi, hingga dengan tanpa rasa bersalah, kita mendeklarasikan
diri bahwa kita tidak akan mampu seperti dia. Kita merasa bahwa dia menjadi
hebat, pintar adalah karena anugerah Illahi. Kita tak akan mampu menjadi
seperti dia karena Tuhan tidak memberikan anugerah itu kepada kita.
Hingga
akhirnya kita tetap bertahan menjadi kita. Tidak ada upaya untuk menjadi
pribadi yang lebih baik lagi. Merasa bahwa diri ini memang sudah seperti ini
takdirnya. Kita enggan untuk bercermin kepada kesuksesan orang lain. Kita terus
men-judge bahwa kesuksesan orang lain
semata hanya karena faktor keberuntungan. Astaghfirullah
Hal
ini seperti ini sudah jelas harus segera diluruskan. Bisa saja bukan
keberuntungan orang lain yang menjadi persoalannya, melainkan cara berpikir
kita saja yang kurang jeli. Orang-orang yang kelihatan santai dan cuek, namun
memiliki nilai ujian yang cemerlang, bisa saja bukan mereka yang pintar dari
lahir. Sangat besar kemungkinan bahwa ia tidak pintar dari lahir, melainkan ia
berusaha pintar tapi tidak merasa terlihat.
Tanpa
kita ketahui, bisa saja ia telah minum kopi agar bisa terus terjaga sepanjang
malam untuk belajar. Bisa saja mulutnya telah berbusa melafalkan semua
rumus-rumus yang akan keluar ketika ujian. Ia begitu berusaha maksimal untuk
mendapatkan hasil yang bagus dalam ujiannya. Hanya saja ia tak melakukan itu di
depan kita. Karena ia memang ingin pintar tapi tidak terlihat oleh orang lain.
Atau
juga bisa saja ia mati-matian membaca buku tentang materi yang akan diajarkan
oleh bu Guru. Sehingga ketika belajar ia tetap mampu menjawab pertanyaan bu
Guru walau ia sedang membaca komik. Apakah ia pintar dari lahir? Belum tentu.
Terkadang
ada yang kerjaannya tidur di kelas atau sibuk bermalas-malasan selama pembelajaran.
Kita lupa kenapa ia bisa tidur di kelas atau bermalas-malasan? Aah, barangkali
ia telah paham dengan apa yang guru atau dosen ajarkan. Namun kita tidak
begitu, selalu mengambil kesimpulan dari sudut yang salah.
Begitulah,
kita tidak akan pernah benar-benar tahu bagaimana seeorang itu bekerja keras
untuk meningkatkan kualitas dirinya. Yang sering kita lakukan adalah mengambil
kesimpulan dari sekelumit kisah hidup mereka yang terlihat. Itu sungguh aneh
bukan?
Hingga
akhirnya kita sendiri yang memilih untuk kalah sejak awal. Kita takut memulai
peperangan karena salah dalam melihat lawan. Teman yang kritis kita anggap
skeptis. Teman yang hebat, kita beranggapan itu sebuah bakat.
Kita
terbiasa mencari-cari alasan untuk memaklumi kemalasan diri sendiri. Menganggap
diri ini tak mampu, tak berdaya. Kesuksesan orang lain adalah hasil genetis
yang ia peroleh atau anugerah Illahi yang tengah berpihak padanya.
Nah,
kalau sudah begitu bagaimana bisa kita meningkatkan kualitas diri?
Medan, 12 April 2020, 21 : 53
Ditulis
untuk mencambuk keras jiwa yang tengah dilanda kemalasan.
Masyaallah.. luar biasa
ReplyDelete