Tuesday, 14 April 2020

Pintar Tak Terlihat

Dewi Kwan Inn, Siantar, Sumatera Utara



Ada seseorang ketika di kelas hanya tidur, bermain atau sekadar bermalas-malasan. Akan tetapi, saat ujian atau presentasi ia mampu memberikan hasil yang maksimal. Seolah ilmu yang dipelajari selama ini tersimpan rapi di dalam batok kepalanya. Sehingga ketika ujian, semua jawaban soal mengalir dengan lancarnya.

Lalu, kita dengan naifnya mengambil kesimpulan bahwa ia memang pintar karena memang dasarnya pintar. Kita menyimpulkan bahwa seseorang itu memang pintar secara genetis. Melihat anak professor yang dapat prediket cum laude di kampus, lalu kita beranggapan :
            “Wajar dia pintar, keturunan sih. Bapaknya saja professor”
Melihat teman nyatri yang hafalannya sudah berjuz juz, otak kita pun berpikir :
            “ya iya lah, dia anak Hafizh quran”

Perasaan ini terus menjadi-jadi, hingga dengan tanpa rasa bersalah, kita mendeklarasikan diri bahwa kita tidak akan mampu seperti dia. Kita merasa bahwa dia menjadi hebat, pintar adalah karena anugerah Illahi. Kita tak akan mampu menjadi seperti dia karena Tuhan tidak memberikan anugerah itu kepada kita.

Hingga akhirnya kita tetap bertahan menjadi kita. Tidak ada upaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Merasa bahwa diri ini memang sudah seperti ini takdirnya. Kita enggan untuk bercermin kepada kesuksesan orang lain. Kita terus men-judge bahwa kesuksesan orang lain semata hanya karena faktor keberuntungan. Astaghfirullah

Hal ini seperti ini sudah jelas harus segera diluruskan. Bisa saja bukan keberuntungan orang lain yang menjadi persoalannya, melainkan cara berpikir kita saja yang kurang jeli. Orang-orang yang kelihatan santai dan cuek, namun memiliki nilai ujian yang cemerlang, bisa saja bukan mereka yang pintar dari lahir. Sangat besar kemungkinan bahwa ia tidak pintar dari lahir, melainkan ia berusaha pintar tapi tidak merasa terlihat.

Tanpa kita ketahui, bisa saja ia telah minum kopi agar bisa terus terjaga sepanjang malam untuk belajar. Bisa saja mulutnya telah berbusa melafalkan semua rumus-rumus yang akan keluar ketika ujian. Ia begitu berusaha maksimal untuk mendapatkan hasil yang bagus dalam ujiannya. Hanya saja ia tak melakukan itu di depan kita. Karena ia memang ingin pintar tapi tidak terlihat oleh orang lain.

Atau juga bisa saja ia mati-matian membaca buku tentang materi yang akan diajarkan oleh bu Guru. Sehingga ketika belajar ia tetap mampu menjawab pertanyaan bu Guru walau ia sedang membaca komik. Apakah ia pintar dari lahir? Belum tentu.

Terkadang ada yang kerjaannya tidur di kelas atau sibuk bermalas-malasan selama pembelajaran. Kita lupa kenapa ia bisa tidur di kelas atau bermalas-malasan? Aah, barangkali ia telah paham dengan apa yang guru atau dosen ajarkan. Namun kita tidak begitu, selalu mengambil kesimpulan dari sudut yang salah.

Begitulah, kita tidak akan pernah benar-benar tahu bagaimana seeorang itu bekerja keras untuk meningkatkan kualitas dirinya. Yang sering kita lakukan adalah mengambil kesimpulan dari sekelumit kisah hidup mereka yang terlihat. Itu sungguh aneh bukan?

Hingga akhirnya kita sendiri yang memilih untuk kalah sejak awal. Kita takut memulai peperangan karena salah dalam melihat lawan. Teman yang kritis kita anggap skeptis. Teman yang hebat, kita beranggapan itu sebuah bakat.

Kita terbiasa mencari-cari alasan untuk memaklumi kemalasan diri sendiri. Menganggap diri ini tak mampu, tak berdaya. Kesuksesan orang lain adalah hasil genetis yang ia peroleh atau anugerah Illahi yang tengah berpihak padanya.

Nah, kalau sudah begitu bagaimana bisa kita meningkatkan kualitas diri?





Medan, 12 April 2020, 21 : 53
Ditulis untuk mencambuk keras jiwa yang tengah dilanda kemalasan.


1 comment:

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...