![]() |
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, Riau |
Ini
adalah sebuah dokumentasi yang kita abadikan sekitar tahun 2015. Ya, bukankah
ini sudah sangat lama? Aku sangat suka mengamati lamat-lamat wajah kalian yang
ada di foto ini. Tiga tahun berselang dari pertemuan ini, semoga kalian tetap
cantik seperti di foto ini. Semoga kalian tetap tersenyum seperti di foto ini.
Dan semoga hari-hari kalian juga seindah sore yang kita lewati di kala itu.
Allah
mempertemukanku dengan tiga orang luar biasa ini sekitar tahun 2012. Ketika aku
berhasil menamatkan kuliah S1, Allah menakdirkan aku untuk mengabdi di sebuah
pondok pesantren di kota Pekanbaru. Nah, pondok itulah yang kemudian berhasil
mempertemukan kita berempat. Membersamai
kalian bukanlah berbilang tahun. Aku bersama kalian hanya sekitar sembilan
bulan saja. Karena Allah kembali memberikan takdir yang berbeda, yaitu aku
harus melanjutkan sekolah Pasca Sarjana ku di kota Medan. Kita akhirnya
berpisah di pertengahan 2013. Hingga kembali takdir Allah mempertemukan kita
pada pertengahan tahun 2015.
Boleh
aku perkenalkan kalian? Tiga orang sahabat terbaik yang menemani hari-hariku
selama mengajar di pesantren. Yang pakai baju biru itu namanya Ustadzah Rita,
beliau adalah guru bahasa Indonesia tingkat SMP. Yang pakai jilbab abu-abu
berkacamata itu adalah kak Yosi, beliau adalah musrifah (guru asrama). Yang
pakai jilbab hitam adalah Salwa, beliau juga musrifah seperti kak Yosi. Entah apa yang menguatkan hubungan yang bermula
dari rekan kerja ini, aku bahkan lupa kapan pertama kali kita mulai dekat dan
saling curhat. Begitulah, Allah menggerakkan hati kita kemudian
mempertautkannya satu sama lain, aah, peluuuk.
Kebersamaan
itu akhirnya harus aku akhiri karena sebuah keputusan besar yang aku ambil
yaitu melanjutkan sekolah Pasca Sarjana di kota Medan. Beraat sekali
meninggalkan kalian kala itu, tetapi bismillah, aku harus tetap berangkat demi
masa depanku. Aku kira persahabatan ini hanya sebatas pertemuan yang intens
belaka, tetapi tidak. Allah masih tautkan hati kita walau hampir terpisah enam
ratus kilometer. Kita tetap saling berkomunikasi lewat media sosial, telepon
atau sms. Alhasil kita tetap saling curhat, berbagi cerita, dan mengetahui
kabar masing-masing.
Sayangnya,
media sosial, telepon atau SMS tidak bisa menggantikan kehadiran kalian. Aku
terus memupuk rindu selama hampir dua tahun di kota Medan. Menahan rasa untuk
bertemu mereka, bercengkrama dan saling berbagi cerita. Setiap hari aku
tabungkan rindu itu di dalam celengan rindu yang aku bentuk sendiri. Dengan
harapan, aku bisa membeli sebuah pertemuan beermodalkan hasil celengan rindu
ku.
Hingga
akhirnya saatnya tiba. Ketika celengan rindu itu telah sangat penuh dan sesak
sekali. Aku rasa ini saat yang tepat aku menukar celengan ini dengan sebuah
pertemuan. Bismillah, aku berangkat menuju ke bumi Lancang Kuning untuk menebus
celengan rindu ini. Meluapkan semua rindu yang terus tertahan hampir dua tahun
lamanya. Menceritakan berbagai episode yang aku lewati di kota metropolitan.
Merasakan kembali pelukan hangat yang menenangkan dari kalian.
Dan
beginilah kita kalau udah ketemu. Tak peduli hari itu panas atau macet, kita
tetap bersemangat mengitari kota Pekanbaru yang sederhana itu. Kita
berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya hingga perut ini terasa lapar.
Lalu kembali menuai senyuman dan cerita sambil menikmati makanan yang enak dan
tentu saja enak banget. Sebuah tempat makan yang menjadi saksi betapa kita
sering menghabiskan waktu di sini, bercerita, mengurai luka dan berbagi
bahagia.
Sayangnya
kita akan selalu begini, tetap sama. Kita akan terus bercerita tentang dua
tahun yang kita lewati secara terpisah. Ada banyak hal yang tidak aku ketahui
dari perjalanan hidup kalian. Ada banyak hal yang kalian ingin dengar dari
kisahku selama dua tahun di kota Medan. Kita juga akan terus mengabadikan
setiap kegiatan dalam sebuah dokumentasi sederhana. Aah, mungkin lebih tepatnya
sebuah dokumentasi yang sangat banyak, karena ada banyak foto kalau udah ngumpul.
Apakah
foto-foto itu mengabadikan kisah kita? Aku rasa tidak. Lihat saja, satu orang
diantara kita telah menemukan sandaran hidupnya dan menemukan kota baru yang
lebih nyaman. Satu orang telah pulang ke kampung halaman ingin mengabdikan diri
di sana. Satu orang masih bertahan di kota Bertuah sambil terus mendidik dan
mencerdaskan anak bangsa. Lalu aku? Memilih kota metropolitan ini sebagai
dermaga sementaraku, ya, setidaknya sebelum Sang Kapten menjemputku untuk
berlayar lagi, hehe.
Walau
memang semunya terkesan tidak abadi, tetapi kita percaya bahwa persahabatan ini
akan abadi. Kita percaya bahwa keabadian
itu bukan dari kontak fisik, bukan dari seberapa sering kita bertemu.
Karena jika kita masih saling mendoakan satu sama lain, itu artinya kita sedang
menciptakan keabadian dari benteng persahabatan kita. Inilah yang membuatku
selalu menyebut nama kalian di dalam doa-doaku. Lets robithoh!
Medan,
01 Juli 2018, 18:31
Ketika
menuliskan ini, aku kembali merasakan sesuatu. Ya, sepertinya celengan rinduku
sudah mulai penuh. Kapan aku bisa menukarnya dengan sebuah pertemuan?
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
No comments:
Post a Comment