![]() |
Kompleks MMTC, Medan |
Mereka
bukanlah teman yang membersamaiku begitu lama. Mereka juga bahkan tidak
mengenal aku seutuhnya. Mereka juga bukan tempat dimana aku berbagi keluh
kesah. Ya, mereka hanya sebatas rekan kerja. Rekan kerja yang hanya aku temui
di beberapa hari saja setiap minggu. Rekan kerja yang hanya say hello, lalu masing-masing akan
berkutat dengan pekerjaanya. Mereka adalah rekan kerja yang kemudian menjadi
sesuatu istimewa di kemudian hari.
Sebuah
bimbel terkemuka di kota Medan yang menjadi saksi pertemuan kami. Ya, kami
adalah tenaga pengajar di bimbel tersebut. Entah kenapa persahabatan dadakan
ini bisa muncul, aku lupa asal muasal nya, hihi. Ya, awalnya kami memang hanya
sebatas rekan kerja, saling bertegur sapa di kantor, saling membantu urusan
pekerjaan, ya sebatas itu saja lah. Tetapi beberapa bulan setelah saling
mengenal, akhirnya rekan kerja menjadi sahabat.
Aku
membersamai mereka hanya berbilang bulan saja. Well, mungkin hanya sekitar sembilan bulan saja. Dan ikatan
persahabatan dadakan ini malahan muncul di bulan-bulan akhir kebersamaan kami.
Ahh, betapa memilukannya bukan? Harusnya kami nongkrong, belanja bareng atau
nonton bareng itu sejak awal ketemu, bukan di akhir-akhir seperti ini. Kan,
jadinya gak menikmati waktu bersama mereka. Hiks.
Foto
yang aku posting itu adalah sebuah
dokumentasi perpisahan kami. Ya, ketika aku kembali membuat sebuah keputusan
besar dalam hidupku. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota Medan dan kembali
ke kampung halaman. Setelah menamatkan studi pasca sarjanaku, aku memutuskan
untuk mengabdikan seluruh ilmu itu di kampung halaman, hitung-hitung ini caraku
membangun kampung halamanku. Pencitraan banget kan ya, hihihi.
Dan
selalu begitu. Aku pasti akan mengorbankan sesuatu atau seseorang ketika
mengambil sebuah keputusan besar. Dan kali ini, aku terpaksa mengorbankan
ikatan persahabatan dengan mereka. Sebenarnya berat hati, bahkan sangat berat
hati ketika harus mengorbankan persahabatan nan mulia. Aah, entah sudah berapa
kali ikatan persahabatan aku rusakkan hanya karena kepergianku dalam melakukan
sebuah keputusan yang besar. Hey para sahabat yang aku cintai, semoga kalian
semua memaafkan keegoisanku ya.
Keputusan
besarku ini mengantarkan kami untuk saling bertemu dan bercerita di hari itu.
Ya, foto di atas adalah sebuah dokumentasi perpisahan antara aku dan mereka. Baiklah,
aku menyebut ini dengan istilah perpisahan. Berpisah karena kami memang
benar-benar berpisah. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota ini, bukankah itu
artinya kami akan berpisah? Aku memutuskan untuk kembali merusak ikatan
persahabatan yang nyata-nyata nya masih seumur jagung, melepaskan semua
kebersamaan yang telah susah payah dibangun. Bukankah itu artinya sebuah
perpisahan?
Kenapa sih harus meninggalkan kota ini?
Setidaknya
begitu pertanyaan mereka ketika aku memberitahukan keputusan besar ini. Aku
terdiam, tidak tahu harus menjawab apa, bingung harus menjelaskan apa. Entah
apa yang menguatkan hatiku untuk benar-benar harus meninggalkan kota ini dan
segera berpindah ke kotaku. Ahh, maafkan aku sahabat yang tidak memberikan
jawaban memuaskan perihal pertanyaan itu. Aku hanya berharap menjadi pribadi
yang lebih baik lagi di kotaku, bukan di kota ini.
Hingga
pelukan hangat dengan sedikit deraian air mata mengantarkanku meninggalkan kota
ini. Melihat mereka dari kejauhan sambil melambaikan tangan seolah menahan
langkahku untuk bertahan saja di kota ini. Apakah aku harus di sini saja? Well, mereka berhasil membuatku ragu
dengan keputusanku. Tetapi aku harus tetap mantap melangkah. Aku harus
benar-benar pergi meninggalkan kota ini, bukan karena kota ini tidak baik,
kejam, jahat atau apalah. Hanya saja aku harus meninggalkan kota ini,
sepertinya ia bukan tempat yang cocok untukku mewujudkan semua impian.
Sepanjang perjalanan antara kota ini ke kotaku, aku mulai menyusun
rencana-rencana terbaik perihal masa depan yang akan aku bangun di sana.
Dan
begitulah. Manusia hanya bisa berencana dengan sematang-matang perencanaan.
Manusia hanya hampu berusaha dengan semaksimal ikhtiar yang dia bisa. Akan
tetapi ia tak kuasa menentukan takdir dalam hidupnya. Ada Dzat yang jauh lebih
berkuasa daripada perencanaan dan persiapan yang matang itu. Ada Dzat yang
memiliki takdir terbaik yang telah Ia tetapkan untuk kita, hamba-Nya.
Sang
Maha Kuasa itu berkata lain dengan takdirku. Ia kembali menggerakkan raga ini
untuk kembali ke kota ini. Tepat tiga bulan setelah aku menginjakkan kaki ke
kampung halaman, takdir membawaku kembali ke kota ini. Ahh, rasanya belum
kering air mata perpisahan itu dari mata ini. Belum terhapuskan bagaimana wajah
mereka yang sedih melepaskan kepergianku. Dan aku? Akhirnya kembali menancapkan
kaki ku di kota ini.
Banyak
yang bertanya kenapa? Ada apa? aah, jangankan kalian, aku juga sering bertanya
akan hal ini kok. Kenapa takdir membawaku kembali ke sini? Ada apa dengan kota
ini? Apakah ia benar-benar bisa mewujudkan semua impianku?
Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di dalam benakku. Hanya saja tak sempat
aku pertanyakan. Kepada siapa aku harus memberikan pertanyaan ini? Siapa yang
bisa menjawab pertanyaan ini? Mungkin hanya Pemilik Takdir saja yang berhak
untuk ditanya dan memberikan jawaban. Bahkan sampai detik ini aku masih belum
bisa menemukan kenapa aku masih di sini? Mungkinkah ada urusanku di sini yang
belum selesai? Tetapi apa ya Robb?
Medan,
03 Juli 2018, 18:37
Tulisan
ini muncul karena aku sudah mulai lelah berada di sini. Adakah seseorang yang
bisa mengeluarkanku dari kota ini?
_pendosa
yang ingin bermanfaat_
No comments:
Post a Comment