Tuesday, 3 July 2018

Perpisahan

Kompleks MMTC, Medan


Mereka bukanlah teman yang membersamaiku begitu lama. Mereka juga bahkan tidak mengenal aku seutuhnya. Mereka juga bukan tempat dimana aku berbagi keluh kesah. Ya, mereka hanya sebatas rekan kerja. Rekan kerja yang hanya aku temui di beberapa hari saja setiap minggu. Rekan kerja yang hanya say hello, lalu masing-masing akan berkutat dengan pekerjaanya. Mereka adalah rekan kerja yang kemudian menjadi sesuatu istimewa di kemudian hari.

Sebuah bimbel terkemuka di kota Medan yang menjadi saksi pertemuan kami. Ya, kami adalah tenaga pengajar di bimbel tersebut. Entah kenapa persahabatan dadakan ini bisa muncul, aku lupa asal muasal nya, hihi. Ya, awalnya kami memang hanya sebatas rekan kerja, saling bertegur sapa di kantor, saling membantu urusan pekerjaan, ya sebatas itu saja lah. Tetapi beberapa bulan setelah saling mengenal, akhirnya rekan kerja menjadi sahabat.

Aku membersamai mereka hanya berbilang bulan saja. Well, mungkin hanya sekitar sembilan bulan saja. Dan ikatan persahabatan dadakan ini malahan muncul di bulan-bulan akhir kebersamaan kami. Ahh, betapa memilukannya bukan? Harusnya kami nongkrong, belanja bareng atau nonton bareng itu sejak awal ketemu, bukan di akhir-akhir seperti ini. Kan, jadinya gak menikmati waktu bersama mereka. Hiks.

Foto yang aku posting itu adalah sebuah dokumentasi perpisahan kami. Ya, ketika aku kembali membuat sebuah keputusan besar dalam hidupku. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota Medan dan kembali ke kampung halaman. Setelah menamatkan studi pasca sarjanaku, aku memutuskan untuk mengabdikan seluruh ilmu itu di kampung halaman, hitung-hitung ini caraku membangun kampung halamanku. Pencitraan banget kan ya, hihihi.

Dan selalu begitu. Aku pasti akan mengorbankan sesuatu atau seseorang ketika mengambil sebuah keputusan besar. Dan kali ini, aku terpaksa mengorbankan ikatan persahabatan dengan mereka. Sebenarnya berat hati, bahkan sangat berat hati ketika harus mengorbankan persahabatan nan mulia. Aah, entah sudah berapa kali ikatan persahabatan aku rusakkan hanya karena kepergianku dalam melakukan sebuah keputusan yang besar. Hey para sahabat yang aku cintai, semoga kalian semua memaafkan keegoisanku ya.

Keputusan besarku ini mengantarkan kami untuk saling bertemu dan bercerita di hari itu. Ya, foto di atas adalah sebuah dokumentasi perpisahan antara aku dan mereka. Baiklah, aku menyebut ini dengan istilah perpisahan. Berpisah karena kami memang benar-benar berpisah. Aku memutuskan untuk meninggalkan kota ini, bukankah itu artinya kami akan berpisah? Aku memutuskan untuk kembali merusak ikatan persahabatan yang nyata-nyata nya masih seumur jagung, melepaskan semua kebersamaan yang telah susah payah dibangun. Bukankah itu artinya sebuah perpisahan?

 
Kenapa sih harus meninggalkan kota ini?
Setidaknya begitu pertanyaan mereka ketika aku memberitahukan keputusan besar ini. Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa, bingung harus menjelaskan apa. Entah apa yang menguatkan hatiku untuk benar-benar harus meninggalkan kota ini dan segera berpindah ke kotaku. Ahh, maafkan aku sahabat yang tidak memberikan jawaban memuaskan perihal pertanyaan itu. Aku hanya berharap menjadi pribadi yang lebih baik lagi di kotaku, bukan di kota ini.

Hingga pelukan hangat dengan sedikit deraian air mata mengantarkanku meninggalkan kota ini. Melihat mereka dari kejauhan sambil melambaikan tangan seolah menahan langkahku untuk bertahan saja di kota ini. Apakah aku harus di sini saja? Well, mereka berhasil membuatku ragu dengan keputusanku. Tetapi aku harus tetap mantap melangkah. Aku harus benar-benar pergi meninggalkan kota ini, bukan karena kota ini tidak baik, kejam, jahat atau apalah. Hanya saja aku harus meninggalkan kota ini, sepertinya ia bukan tempat yang cocok untukku mewujudkan semua impian. Sepanjang perjalanan antara kota ini ke kotaku, aku mulai menyusun rencana-rencana terbaik perihal masa depan yang akan aku bangun di sana.

Dan begitulah. Manusia hanya bisa berencana dengan sematang-matang perencanaan. Manusia hanya hampu berusaha dengan semaksimal ikhtiar yang dia bisa. Akan tetapi ia tak kuasa menentukan takdir dalam hidupnya. Ada Dzat yang jauh lebih berkuasa daripada perencanaan dan persiapan yang matang itu. Ada Dzat yang memiliki takdir terbaik yang telah Ia tetapkan untuk kita, hamba-Nya.

Sang Maha Kuasa itu berkata lain dengan takdirku. Ia kembali menggerakkan raga ini untuk kembali ke kota ini. Tepat tiga bulan setelah aku menginjakkan kaki ke kampung halaman, takdir membawaku kembali ke kota ini. Ahh, rasanya belum kering air mata perpisahan itu dari mata ini. Belum terhapuskan bagaimana wajah mereka yang sedih melepaskan kepergianku. Dan aku? Akhirnya kembali menancapkan kaki ku di kota ini.

Banyak yang bertanya kenapa? Ada apa? aah, jangankan kalian, aku juga sering bertanya akan hal ini kok. Kenapa takdir membawaku kembali ke sini? Ada apa dengan kota ini? Apakah ia benar-benar bisa mewujudkan semua impianku? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di dalam benakku. Hanya saja tak sempat aku pertanyakan. Kepada siapa aku harus memberikan pertanyaan ini? Siapa yang bisa menjawab pertanyaan ini? Mungkin hanya Pemilik Takdir saja yang berhak untuk ditanya dan memberikan jawaban. Bahkan sampai detik ini aku masih belum bisa menemukan kenapa aku masih di sini? Mungkinkah ada urusanku di sini yang belum selesai? Tetapi apa ya Robb?





Medan, 03 Juli 2018, 18:37
Tulisan ini muncul karena aku sudah mulai lelah berada di sini. Adakah seseorang yang bisa mengeluarkanku dari kota ini?
_pendosa yang ingin bermanfaat_

No comments:

Post a Comment

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...