![]() |
Wisuda Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan, Oktober 2015 |
Foto wisuda adalah
salah satu foto favorit yang suka aku amati lamat-lamat. Senyuman yang
tergambar di sebuah foto wisuda itu benar-benar merekah, manis, dan penuh
kemenangan. Seolah ingin menunjukkan sebuah kebebasan dan pencapaian terhadap
sesuatu hal yang besar. Apakah ini hanya perasaanku yang berlebihan atau memang
beginilah kondisi foto-foto wisuda? Hehe.
Kata ‘wisuda’
menjadi sebuah kata sakral bagi para mahasiswa. Bagaimana tidak, inilah puncak
dari perjuangan yang telah dilakukan selama hampir empat tahun bagi mahasiswa
s1, dua tahun bagi mahasiswa s2 atau tiga tahun bagi mahasiswa s3. Betapa moment wisuda merupakan impian semua mahasiswa.
Mendengarkan kata ‘wisuda’ atau melihat betapa meriahnya pesta wisuda para
senior kampus membuat hati ini merinding dan berkata “aku kapaaan?”, apalagi
melewati moment wisuda itu sendiri. Mendengar nama dan gelar
serta IPK tersebut dengan lantangnya melalui pengeras suara, membuat hati ini
bergidik, “eh itu aku ya” hehe. Bahagia-nya itu rasanya klimaks banget,
bahagia-nya itu muncak banget euy.
“Hey kawan, kita
telah sampai di puncak” setidaknya itu kata yang selalu didengungkan oleh para
wisudawan. Saatnya melepas lelah atas pendakian panjang nan melelahkan. Saatnya
melupakan sejenak betapa luka hinggap selama perjalanan. Saatnya melihat
kemenangan yang sedang didapatkan, melihat betapa indahnya hasil perjuangan
selama ini, untuk kemudian menyadari bahwa tak ada yang sia-sia dengan
perjalanan panjang itu.
Perayaan wisuda
memang membuat kita melupakan rasa sakit untuk memperolehnya. Terlupa semua
jerih payah masuk ke kampus nomor satu di kota itu. Terlupa rasanya bergadang
karena harus mengerjakan tugas. Terlupa bagaimana rasanya kejar-kejaran dengan
dosen pembimbing (eh, aku pernah nih kucing-kucingan sama doping, hehe).
Terlupa rasa kecewa saat tugas akhir dipenuhi coretan oleh dosen pembimbing.
Bahkan terlupa rasanya ‘dihajar’ habis-habisan ketika sidang tugas akhir. Entah
kenapa mendadak lupa dengan peristiwaa naas di masa lalu, hanya karena sebuah
toga yang terpakaikan elok menutupi raga. Tak hanya wisudawan yang getar-getir
ketika wisuda, bahkan mereka yang menyaksikan pun ikut merasakan euforia sebuah
perayaan wisuda. “ah, enak sekali mereka sudah wisuda, aku kapan?”, selintas
pikiran dari junior kampus yang baru memulai perjalanan panjangnya.
Kebanyakan orang
melihat wisuda sebagai bentuk kesuksesan, bahkan puncak dari sebuah perjalanan
panjang. Memunculkan bayangan yang menyatakan bahwa ternyata kuliah itu seindah
wisuda lho? Pakai baju cantik, foto-foto, ketawa-ketawa. Eh, elu kuliah dimana
tuh? Butuh usaha keras untuk bisa sampai ke perayaan wisuda, perlu tangisan
agar bisa memakai toga dengan bangganya. Bahkan mengorbankan tenaga, waktu,
pikiran agar senyum di hari wisuda benar-benar maksimal. Sayangnya tidak banyak
orang yang menyadari hal ini karena mereka telah dibiaskan oleh bayang-bayang
sebuah wisuda yang menyenangkan.
Bukankah hal itu
sering kita lakukan? Sadar atau tidak sadar kita sering melihat kondisi hidup
seseorang berdasarkan ‘perayaan wisuda’ nya saja. Sebut saja seorang pebisnis
yang sukses, Ippho Santosa. Melihat kondisi Ippho yang sudah maral melintang di
dunia bisnis memunculkan anggapan bahwa bisnis itu menyenangkan, banyak uang,
kaya dan terkenal. Anehnya ketika Allah berikan sedikit cobaan, langsung down, menyerah, bahkan putus asa. Perhatikan Bill Gates, seorang ahli perangkat
lunak yang sukses. Kemudian kita mengikuti jejak beliau untuk mendalami ilmu
komputer, sayangnya gagal. Kemudian akhirnya menyerah dan banting setir, eeh.
See,
seringkali kita hanya melihat proses ‘wisuda’ nya saja
dan melewatkan tahapan yang dilalui oleh Ippho Santosa dan Bill Gates agar
mereka bisa sampai di titik sekarang ini. Who
knows kan jika ternyata Iphho Santosa dan Bill Gates juga bersusah payah
mencapai titik ini, mereka benar-benar mengerahkan waktu, tenaga dan pikiran,
mereka melawan sekitar yang mungkin mencemooh kondisi mereka, mereka bahkan
harus kehilangan orang-orang yang disayang, bahkan mereka harus mengubur masa
muda yang katanya indah untuk memperjuangkan masa depan yang lebih
cerah. Kita sering mengabaikan kisah-kisah yang sebenarnya menjadi penyebab
utama kenapa orang-orang hebat berhasil mencapai puncak mereka masing-masing.
Kita sering tidak memperdulikan betapa hebatnya perjuangan yang mereka lakukan.
Kita men-skip berbagai peristiwa penting hanya untuk
menikmati sebuah ‘perayaan wisuda’ yang sejatinya hanyalah sebuah fatamorgana.
Iri melihat orang
lain sukses? Boleh. Iri melihat orang lain hebat? Silakan. Jangan pelajari
betapa hebatnya ia, jangan pelajari betapa suksesnya mereka. Pelajari langkah
dan perjalanan yang mengantaarkan mereka sampai ke puncaknya. Berhentilah
membayangkan dan memikirkan ‘nanti kalau aku bisa se-sukses dia, aku mau beli
mobil seperti dia ah’, sejatinya pikiran seperti ini takkan membantu banyak,
malah sering menjerumuskan dalam imajinasi belaka. Mulailah berpikir ‘kenapa
dia bisa sukses? Kalau dia berlatih lima jam setiap harinya, maka aku harus
berlatih enam jam setiap hari”, aku rasa pikiran seperti ini sangat membantu.
Lagipula,
membayang-bayangkan kesuksesan dan kehebatan orang lain hanya akan mengikis
kepekaan hati. Ia hanya akan menimbulkan kedengkian mendalam, khawatir yang
teramat berlebihan, bahkan panjang angan-angan. Please, berhentilah melakukannya (talk to my self). Mulailah berpikir cerdas dengan cara mempelajari
bagaimana orang hebat itu berjuang, apa yang sebenarnya mereka lakukan, apa
yang mereka makan, apa kebiasaan positif mereka, dengan siapa mereka bergaul,
bahkan apa film, makanan ataupun lagu kesukaan mereka, hehe.
Mencapai
puncak itu memang penting, tetapi ada hal yang lebih penting untuk sekadar
menjejakkan kaki di puncak, yaitu menikmati perjalanan untuk mencapai puncak.
Medan, 21 Februari
2018, 09:53
Pagi ini tiba-tiba
dikejutkan oleh whatsapp seseorang yang ngajakin S3. Aah, apa seharusnya aku
harus melanjutkan studiku? Tiba-tiba aku rindu di ‘wisuda’ lagi, eeh.
No comments:
Post a Comment