Monday, 5 March 2018

Rumah Atau Rumah-Rumahan?



Sumber : Pinterest


Bermain rumah-rumahan adalah suatu permainan yang paling menyenangkan. Ketika aku kecil, permainan ini menjadi suatu permainan yang menarik dan selalu aku tunggu-tunggu, entah aku saja yang merasakannya atau kalian juga ya, hehe. Biasanya kami akan briefing *seirus banget kan* dulu sebelum melakukan permainan ini. Saling menentukan siapa tokohnya, ada yang jadi papa, mama, si kakak, si adek bahkan pencuri *ah, anak kecil imajinasinya warbiassah*. Tak lupa alur ceritanya, bahkan properti yang akan digunakan, sebut saja sudut dapur bunda sebagai rumahnya, dedaunan bunga bunda sebagai uangnya, atau batu bata milik papa yang kemudian digiling sebagai cabe merah, *ya Allah, memanfaatkan stok ada aja deh pokoknya, hehe*.

Permainan ini biasanya durasinya lebih lama. Kami memulainya pagi dan menyelesaikan ketika teriakan emak-emak kami berkumandang menyuruh makan siang, aihh, its mean hampir 4 sampai 5 jam. Dan itu baru satu skenario lho, coba bayangin kalau kami melakoni ribuan skenario seperti tukang sate naik haji, heheh, bisa-bisa kami sampai tua kerjaannya main rumah-rumahan aja. Jika permainan kami belum selesai, kami biasanya menyimpan kembali properti permainan untuk dilanjutkan kembali esoknya. Yakin dilanjutkan? Ah, gak pernah tuh. Kalaupun dilanjutkan biasanya kami akan memilih skenario yang berbeda lagi, biar menantang gitu, haha.

Bukan hanya skenario yang bisa berubah sesuka hati kami, bahkan peran pemain sangat bergantung dengan hasil diskui yang alot banget *cie elah*. Bisa saja aku mendapatkan peran mama hari ini, besok bisa jadi anak yang bandel, lusa bisa menjadi tetangga yang rempong atau pencuri yang bodoh. Semua peran harus bisa dilakoni dengan baik, dan tentunya harus siap dengan apapun peran yang diberikan oleh hasil rapat #eeh.

Satu hal yang paling keren, kami gak pernah baper dengan permainan ini. Walaupun ada beberapa peran yang cukup sentimentil, misalnya peran papa dan mama. Kami gak pernah tuh saling baperan atau cie ciean gitu. Mungkin karena masih kecil dan kami menyadari ini tuh hanya sebuah permainan. Permainan yang kalau bosan kami bisa mengubahnya sesuka hati kami. Permainan yang propertinya bisa saja hilang karena dibersihkan oleh bunda, atau rumah-rumahan kami diterbangkan oleh angin dan diruntuhkan oleh hujan.

Memori masa lalu ini muncul bukan karena ingin pamer bahwa masa kecilku juga bahagia kok. Buktinya aku memainkan beberapa permainan yang menyenangkan juga, hihihi. Memori ini kembali ke permukaan akibat salah satu quote Tere Liye yang aku baca;

  Cinta dibangun atas pondasi komitmen serta kepercayaan.
  Jendela-jendela nya adalah komunikasi yang baik, saling memahami
  Pintunya adalah memaafkan dan atapnya adalah mau menerima kekurangan dan kelebihan
  Itulah yang disebut bangunan cinta. Kokoh dan tahan lama.
  Di luar itu, maka yang sedang kita buat hanya tenda atau malah rumah-rumahan seperti
  anak kecil bermain rumah-rumahan

Sudah sangat jelas kan maksud perkataan Tere Liye? Jadi apa yang sedang kamu kerjakan sekarang? Kamu betulan membangun rumah atau sekadar rumah-rumahan? Hehe.

Tulisan Tere Liye ini bukan hanya untuk kami (especially aku) yang belum menikah, tetapi untuk kalian yang sudah menikah dan merasa belum menemukan bangunan cinta di dalam pernikahannya. Jujur, sebenarnya agak gimana gitu ngebahas masalah pernikahan, soalnya belum bisa dipercaya euy, ilmunya boleh lah, tapi prakteknya NIHIL, aah sudah lupakan, bukan itu tujuan utama dari tulisan ini.

Cinta itu bukan hanya sekedar nge-klik, love at the first sight, kesesuaian visi misi atau sebuah kenyamanan. Nge-klik, rasa nyaman hanya akan mengantarkan kita untuk merasakan perasaan cinta *yang kata orang sensasinya luar biasa, eh benarkah?*. Setelah kau mulai merasakan cinta, maka cinta bukan lagi sekadar rasa nyaman, tapi ia adalah komitmen. Komitmen untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, komitmen untuk terus membersamai di jalan dakwah, komitmen untuk saling menasehati atas nama kebaikan, komitmen untuk saling mempercayai, dan masih banyak komitmen-komitmen lainnya. Bukankah di dalam Al Quran Allah membahasakan pernikahan dengan mitsaqon gholizo yang artinya sebuah perjanjian yang kokoh, komitmen yang kuat. Bahkan ketika dua orang hamba mengikrarkan cinta suci mereka (read : ijab qabul) maka ketika itu arsy Allah bergetar, Masha Allah. Periksa kembali cinta kita, apakah benar-benar telah berkomitmen, telah saling percaya, atau masih sekadar janji-janji palsu yang suka diumbar-umbar.

Bukan hanya komitmen, cinta adalah sebuah komunikasi yang baik dan saling memahami. Seseorang yang saling mencintai karena Allah harus memperhatikan cara bicara terhadap pasangannya. Pahami kondisi pasangannya. Adakalanya seorang suami butuh kondisi sendiri, tidak dirongrong pertanyaan dari istri. Ketika itu harusnya istri betul-betul memberikan waktu sendiri bagi suaminya. Sebaliknya, ada waktunya seorang istri hanya butuh telinga suaminya untuk mendengarkan keluh kesahnya tanpa ada nasehat panjang lebar dari suami. Perbaiki cara berkomunikasi, bukankah semakin lama menghabiskan waktu bersama, dua manusia akan mulai mengenali karakter pasangannya, kapan bad mood nya, kapan ceria dan bercandanya. Pahami itu. Aku pernah dengar juga sebuah pernyataan, entah quote atau apalah ini, “hubungan yang baik itu didasari dua hal yaitu komunikasi dan saling percaya”. Maka jangan pernah ragu untuk memperbaiki cara berkomunikasi dan memahami pasangan kita. Kita? Eh.

Lalu, maklumi setiap kelebihan dan kekurangan pasangan. Berdamailah dengan kedua hal itu. Punya istri seorang wanita karier yang bekerja, maka siap-siaplah dengan kondisi ia tidak bisa massak dan bersih-bersih rumah. Punya istri seorang wanita ibu rumah tangga, bersiaplah bahwa ia tidak bisa membantu dalam urusan finansial. Punya istri seorang wanita penurut, maka siap-siaplah karena dia akan sangat bergantung kepada suami dan tidak mandiri. Punya suami yang ganteng, bersiaplah ada pelak*r yang mengincar dimana-mana, aiih. Punya suami yang hebat, bersiaplah karena ia biasanya keras dan tak terkalahkan. Tak ada satupun manusia yang sempurna, maka jangan kecewa, sedih dengan segala kelebihan dan kekurangan pasangan. Cobalah berdamai dengan kondisi itu!

Jika cinta telah dibangun atas dasar komitmen, saling percaya, komunikasi yang baik, saling memahami, menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka itulah sejatinya sebuah bangunan cinta. Ia akan kokoh, tegap dan gagah. Tak akan runtuh walau badai menghadang (eeh, kayak lirik lagu euy). Tak akan hancur ketika ada terpaan yang datang dari luar dan dalam rumah. Akan tetap berdiri tegap walau dihadang berbagai masalah. Tak seperti rumah-rumahan ku yang habis berantakan karena dilanda hujan sepuluh menit saja, hehehe.



Medan, 02 Maret 2018, 16:03
Agak gimana gitu bikin tulisan yang ini. Masih jomb*o tapi udah berani banget ceritain perkara suami dan istri, aiih.

No comments:

Post a Comment

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...