![]() |
Sumber : Pinterest |
Bermain rumah-rumahan adalah suatu
permainan yang paling menyenangkan. Ketika aku kecil, permainan ini menjadi
suatu permainan yang menarik dan selalu aku tunggu-tunggu, entah aku saja yang
merasakannya atau kalian juga ya, hehe. Biasanya kami akan briefing *seirus banget kan* dulu sebelum melakukan permainan ini.
Saling menentukan siapa tokohnya, ada yang jadi papa, mama, si kakak, si adek
bahkan pencuri *ah, anak kecil imajinasinya warbiassah*. Tak lupa alur
ceritanya, bahkan properti yang akan digunakan, sebut saja sudut dapur bunda
sebagai rumahnya, dedaunan bunga bunda sebagai uangnya, atau batu bata milik
papa yang kemudian digiling sebagai cabe merah, *ya Allah, memanfaatkan stok
ada aja deh pokoknya, hehe*.
Permainan ini biasanya durasinya
lebih lama. Kami memulainya pagi dan menyelesaikan ketika teriakan emak-emak
kami berkumandang menyuruh makan siang, aihh, its mean hampir 4 sampai 5 jam. Dan itu baru satu skenario lho,
coba bayangin kalau kami melakoni ribuan skenario seperti tukang sate naik haji,
heheh, bisa-bisa kami sampai tua kerjaannya main rumah-rumahan aja. Jika
permainan kami belum selesai, kami biasanya menyimpan kembali properti
permainan untuk dilanjutkan kembali esoknya. Yakin dilanjutkan? Ah, gak pernah
tuh. Kalaupun dilanjutkan biasanya kami akan memilih skenario yang berbeda
lagi, biar menantang gitu, haha.
Bukan hanya skenario yang bisa
berubah sesuka hati kami, bahkan peran pemain sangat bergantung dengan hasil
diskui yang alot banget *cie elah*. Bisa saja aku mendapatkan peran mama hari
ini, besok bisa jadi anak yang bandel, lusa bisa menjadi tetangga yang rempong
atau pencuri yang bodoh. Semua peran harus bisa dilakoni dengan baik, dan
tentunya harus siap dengan apapun peran yang diberikan oleh hasil rapat #eeh.
Satu hal yang paling keren, kami
gak pernah baper dengan permainan ini. Walaupun ada beberapa peran yang cukup
sentimentil, misalnya peran papa dan mama. Kami gak pernah tuh saling baperan
atau cie ciean gitu. Mungkin karena masih kecil dan kami menyadari ini tuh hanya
sebuah permainan. Permainan yang kalau bosan kami bisa mengubahnya sesuka hati
kami. Permainan yang propertinya bisa saja hilang karena dibersihkan oleh
bunda, atau rumah-rumahan kami diterbangkan oleh angin dan diruntuhkan oleh
hujan.
Memori masa lalu ini muncul bukan
karena ingin pamer bahwa masa kecilku juga bahagia kok. Buktinya aku memainkan
beberapa permainan yang menyenangkan juga, hihihi. Memori ini kembali ke
permukaan akibat salah satu quote
Tere Liye yang aku baca;
Cinta
dibangun atas pondasi komitmen serta kepercayaan.
Jendela-jendela
nya adalah komunikasi yang baik, saling memahami
Pintunya
adalah memaafkan dan atapnya adalah mau menerima kekurangan dan kelebihan
Itulah
yang disebut bangunan cinta. Kokoh dan tahan lama.
Di
luar itu, maka yang sedang kita buat hanya tenda atau malah rumah-rumahan
seperti
anak kecil bermain rumah-rumahan
anak kecil bermain rumah-rumahan
Sudah sangat jelas kan maksud
perkataan Tere Liye? Jadi apa yang sedang kamu kerjakan sekarang? Kamu betulan
membangun rumah atau sekadar rumah-rumahan? Hehe.
Tulisan Tere Liye ini bukan hanya
untuk kami (especially aku) yang
belum menikah, tetapi untuk kalian yang sudah menikah dan merasa belum
menemukan bangunan cinta di dalam pernikahannya. Jujur, sebenarnya agak gimana
gitu ngebahas masalah pernikahan, soalnya belum bisa dipercaya euy, ilmunya
boleh lah, tapi prakteknya NIHIL, aah sudah lupakan, bukan itu tujuan utama
dari tulisan ini.
Cinta itu bukan hanya sekedar
nge-klik, love at the first sight,
kesesuaian visi misi atau sebuah kenyamanan. Nge-klik, rasa nyaman hanya akan
mengantarkan kita untuk merasakan perasaan cinta *yang kata orang sensasinya
luar biasa, eh benarkah?*. Setelah kau mulai merasakan cinta, maka cinta bukan
lagi sekadar rasa nyaman, tapi ia adalah komitmen. Komitmen untuk terus tumbuh
menjadi pribadi yang lebih baik, komitmen untuk terus membersamai di jalan
dakwah, komitmen untuk saling menasehati atas nama kebaikan, komitmen untuk
saling mempercayai, dan masih banyak komitmen-komitmen lainnya. Bukankah di
dalam Al Quran Allah membahasakan pernikahan dengan mitsaqon gholizo yang artinya sebuah perjanjian yang kokoh,
komitmen yang kuat. Bahkan ketika dua orang hamba mengikrarkan cinta suci
mereka (read : ijab qabul) maka ketika itu arsy Allah bergetar, Masha Allah.
Periksa kembali cinta kita, apakah benar-benar telah berkomitmen, telah saling
percaya, atau masih sekadar janji-janji palsu yang suka diumbar-umbar.
Bukan hanya komitmen, cinta adalah
sebuah komunikasi yang baik dan saling memahami. Seseorang yang saling
mencintai karena Allah harus memperhatikan cara bicara terhadap pasangannya.
Pahami kondisi pasangannya. Adakalanya seorang suami butuh kondisi sendiri,
tidak dirongrong pertanyaan dari istri. Ketika itu harusnya istri betul-betul memberikan
waktu sendiri bagi suaminya. Sebaliknya, ada waktunya seorang istri hanya butuh
telinga suaminya untuk mendengarkan keluh kesahnya tanpa ada nasehat panjang
lebar dari suami. Perbaiki cara berkomunikasi, bukankah semakin lama
menghabiskan waktu bersama, dua manusia akan mulai mengenali karakter
pasangannya, kapan bad mood nya,
kapan ceria dan bercandanya. Pahami itu. Aku pernah dengar juga sebuah
pernyataan, entah quote atau apalah
ini, “hubungan yang baik itu didasari dua hal yaitu komunikasi dan saling
percaya”. Maka jangan pernah ragu untuk memperbaiki cara berkomunikasi dan
memahami pasangan kita. Kita? Eh.
Lalu, maklumi setiap kelebihan dan
kekurangan pasangan. Berdamailah dengan kedua hal itu. Punya istri seorang
wanita karier yang bekerja, maka siap-siaplah dengan kondisi ia tidak bisa
massak dan bersih-bersih rumah. Punya istri seorang wanita ibu rumah tangga,
bersiaplah bahwa ia tidak bisa membantu dalam urusan finansial. Punya istri
seorang wanita penurut, maka siap-siaplah karena dia akan sangat bergantung
kepada suami dan tidak mandiri. Punya suami yang ganteng, bersiaplah ada
pelak*r yang mengincar dimana-mana, aiih. Punya suami yang hebat, bersiaplah
karena ia biasanya keras dan tak terkalahkan. Tak ada satupun manusia yang
sempurna, maka jangan kecewa, sedih dengan segala kelebihan dan kekurangan
pasangan. Cobalah berdamai dengan kondisi itu!
Jika cinta telah dibangun atas
dasar komitmen, saling percaya, komunikasi yang baik, saling memahami, menerima
kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka itulah sejatinya sebuah bangunan
cinta. Ia akan kokoh, tegap dan gagah. Tak akan runtuh walau badai menghadang
(eeh, kayak lirik lagu euy). Tak akan hancur ketika ada terpaan yang datang
dari luar dan dalam rumah. Akan tetap berdiri tegap walau dihadang berbagai
masalah. Tak seperti rumah-rumahan ku yang habis berantakan karena dilanda
hujan sepuluh menit saja, hehehe.
Medan, 02 Maret 2018, 16:03
Agak gimana gitu bikin tulisan yang
ini. Masih jomb*o tapi udah berani banget ceritain perkara suami dan istri,
aiih.
No comments:
Post a Comment