Monday, 21 May 2018

Ter-Rapi



Gambar ini adalah sebuah kisah satu tahun yang lalu. Dan aku baru sempat menceritakan hal ini sekarang. Apakah membutuhkan waktu satu tahun untuk menemukan inspirasi dan menuliskannya dalam susunan kata yang bermakna? Aah, bisa saja. Namun kesibukan yang mendera ditambah sebongkah rasa malas *astaghfirullah* adalah alasan yang paling aku benarkan atas hal ini.

Berawal dari ketika ingin bersih-bersih beberapa foto di media sosial *jangan tanya kenapa*, akhirnya screen  hp menunjukkan foto ini. Aah, memori otak membawaku pada ingatan satu tahun yang lalu, ketika rekan kerja di Primagama Jemadi memberikan bingkisan kecil ini kepadaku. Begitulah ajaibnya kekuatan sebuah foto bagiku. Ia bisa memanggil semua ingatan kala itu, bahkan bukan sekadar urutan peristiwanya, aku juga bisa merasakan rasa-nya dengan baik. Ini juga yang terus menjadi pembenaranku bahwa aku harus capture every moment. Aku menyadari bahwa otakku takkan bisa menyimpan semuanya dengan baik, nah melalui foto mungkin bagaikan hardisk bagi otakku. Hehe.

Waktu itu ada acara perpisahan dengan siswa kelas XII. Menjelang mereka menghadapi Ujian Nasional, kami mengadakan acara perpisahan sekaligus doa bersama. Secara, mereka juga telah menyelesaikan kegiatan pembelajarannya di Primagama. Sayangnya aku tidak mengikuti kegiatan perpisahan itu. Bukan karena malas atau capek, aku sedang berada di luar kota ketika teman-teman Primagama menyelenggarakan acara ini. Padahal aku ingin sekali membersamai siswa kelas XII itu dalam acara perpisahan mereka. *Maafkan mba ya*

Begitulah, aku hanya melihat foto hasil ke-alay-an mereka hari itu. Mulai dari yang versi rapi, lagi makan eskrim, makan ini, makan itu. Eeh, ada banyak makanan di sana, sayang sekali aku tidak bisa ikut, hehehe. Ada sebuah rasa sedih menyusup ke relung hatiku. Betapa iri melihat kegembiraan yang terlukis di wajah mereka. Betapa ingin menjadi salah satu bagian dari foto itu. Tapi ya mau gimana lagi, tugas negara yang diamanahkan kepadaku jauh lebih penting aku kerjakan daripada menghadiri acara perpisahan itu. Sekali lagi maafkan mba Suci ya!

Beberapa hari setelah perpisahan aku kembali hadir di kantor Primagama. Ya, memang karena ada jadwal mengajar sekalian mengantar oleh-oleh dinas luar kota. Para rekan kerjaku begitu bersemangat menceritakan susana perpisahan yang haru biru itu. Ahh, betapa iri telinga ini mendengarnya. Lalu, seorang rekan kerja memberikan bingkisan ini kepadaku. Aku terkejut, tak menyangka bahwa ada sebuah hadiah yang bertuliskan namaku dengan gelar i-smart rapi.

Mereka lalu bercerita, bahwa ketika perpisahan ada sebuah games kecil-kecilan. Well, seperti sayembara gitu lah. Mereka membuat nominasi i-smart  tegas, i-smart  termodis dan i-smart  ter-rapi, siswa ter-rajin, siswa ter-heboh, dan lain-lain. Eh, ada games seperti itu ya?  batinku. Para siswa memilih i-smart  sesuai dengan penilaian mereka. Dan qodarullah aku terpilih menjadi i-smart  yang katanya rapi. Rapi? Aah aku sendiri tidak yakin. Entah darimana para siswa itu menilai sehingga aku bisa dikategorikan sebagai tentor ter-rapi. But, anyway, thank you so much guys!
Aku menatap bingkisan ini lamat-lamat. Lagi? Batinku. Akhirnya aku mendapatkan kategori ini lagi. Dulu, ketika zamannya jadi kakak senior MOS (Massa Orientasi Siswa) SMA aku sering mendapat gelar kakak ter-rapi. Dan waktu itu aku juga berpikir, kok bisa ya?. Berlanjut ketika menjadi senior MaBa (Mahasiswa Baru) di kampus. Kembali lagi gelar itu melekat padaku. Begitu selanjutnya, ketika mengajar di sekolah gelar ini mengikutinya. Hingga akhirnya di Primagama pun aku mendapatkannya.

Bersyukur, ooh tentu saja. Alhamdulillah. Orang-orang di sekitarku ternyata memberikan penilaian yang baik terhadapku. Ya, walau aku masih bingung kenapa mereka memilihku sebagai seseorang yang rapi. Katanya pakaianku, jilbabku selalu senada dan terlihat rapi *eh, masa sih*. Katanya tulisanku kalau lagi ngajar itu juga rapi *hhm, gak juga*. Katanya aku kalau lagi ngomong itu runut, jelas, terstruktur *what?  Ini mah bohong*. Katanya aku kau mengerjakan pekerjaan rapi, gak berantakan *hhm, ada-ada aja*. Dan masih banyak katanya-katanya yang lain. Aah, betapa harus banyak diri ini bersyukur karena Allah masih tutupkan aib-aibku di hadapan mereka semua.

Terlepas dari penampilanku, tulisan tanganku, sistematika pekerjaan atau gaya berbicaraku, menurutku gelar ini adalah sebuah ‘tamparan’ kecil bagiku. Bertahun-tahun aku terus mendapatkan nominasi ini, let me think, apakah ada yang salah dengan kerapianku? Bukan soal kerapian fisik atau tulisan, tetapi kerapian hati, karakter dan ibadah-ibadahku. Astaghfirullah.

Aku jadi berpikir, apakah Allah sedang menegurku lewat bingkisan ini? Ya. mungkin selama ini aku kurang merapikan ibadah-ibadahku. Bisa saja aku rasa syukur dan sabarku masih sangat berantakan. Atau beberapa karakter dan sifatku yang butuh dirapikan lagi. Ternyata jika ditafakkuri, ditadabburi, ada banyak hal dalam hidupku yang masih sangat berantakan. Banyak hal yang ternyata memerlukan sebuah perbaikan. Sayangnya kesibukan dunia membuatku lupa akan hal ini. Aku merasa baik-baik saja dengan diri dan hidupku, ternyata setelah aku lihat dan renungi lagi, Astaghfirullah, aku masih hidup dalam ke-berantak-an. Naudzubillah.

Uniknya hidup begitu. Jangan pernah menyangka bahwa nikmat yang kita terima, apapun itu bentuknya, apakah itu harta, pasangan hidup yang bertakwa, atau popularitas adalah balasan atas kebaikan-kebaikan kita. TIDAK, itu sama sekali bukan balasan kebaikan. Balasan kebaikan, keshalihan kita hanya berhak kita terima di akhirat kelak. Lalu nikmat itu untuk apa? nikmat itu hanyalah ujian level berikutnya. Ya, kita sedang diuji ketika Allah memberikan nikmat tertentu kepada kita. Jangan sampai kita terlena dan tersibukkan.

Aau bisa saja nikmat itu adalah bentuk teguran Allah terhadap kita. Sebuah teguran yang unik dan ‘manis’ menurutku. Allah bisa menegur kualitas iman kita dengan mengirimkan pasangan shalihah/shalih untuk kita. Allah juga bisa menegur frekuensi sedekah kita dengan menitipkan rezeki yang berlimpah. Allah menegur bagaimana hubungan kita dengan orang tua melalui anak-anak berbakti yang Ia titipkan.

Jangan terlena dengan apapun nikmat yang Allah berikan. Anggaplah itu sebagai ujian level berikutnya, atau perlakukan ia sebagai teguran Allah terhadap kita.



Medan, 19 Mei 2018, 21:19 WIB
Sepertinya aku harus melalukan list kembali. Apa aja hal yang masih berantakan dalam hidupku ya?

No comments:

Post a Comment

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...