Gambar
ini adalah sebuah kisah satu tahun yang lalu. Dan aku baru sempat menceritakan
hal ini sekarang. Apakah membutuhkan waktu satu tahun untuk menemukan inspirasi
dan menuliskannya dalam susunan kata yang bermakna? Aah, bisa saja. Namun kesibukan
yang mendera ditambah sebongkah rasa malas *astaghfirullah* adalah alasan yang
paling aku benarkan atas hal ini.
Berawal
dari ketika ingin bersih-bersih beberapa foto di media sosial *jangan tanya
kenapa*, akhirnya screen hp menunjukkan foto ini. Aah, memori otak
membawaku pada ingatan satu tahun yang lalu, ketika rekan kerja di Primagama
Jemadi memberikan bingkisan kecil ini kepadaku. Begitulah ajaibnya kekuatan
sebuah foto bagiku. Ia bisa memanggil semua ingatan kala itu, bahkan bukan
sekadar urutan peristiwanya, aku juga bisa merasakan rasa-nya dengan baik. Ini
juga yang terus menjadi pembenaranku bahwa aku harus capture every moment. Aku menyadari bahwa otakku takkan bisa
menyimpan semuanya dengan baik, nah melalui foto mungkin bagaikan hardisk bagi otakku. Hehe.
Waktu
itu ada acara perpisahan dengan siswa kelas XII. Menjelang mereka menghadapi
Ujian Nasional, kami mengadakan acara perpisahan sekaligus doa bersama. Secara,
mereka juga telah menyelesaikan kegiatan pembelajarannya di Primagama. Sayangnya
aku tidak mengikuti kegiatan perpisahan itu. Bukan karena malas atau capek, aku
sedang berada di luar kota ketika teman-teman Primagama menyelenggarakan acara
ini. Padahal aku ingin sekali membersamai siswa kelas XII itu dalam acara
perpisahan mereka. *Maafkan mba ya*
Begitulah,
aku hanya melihat foto hasil ke-alay-an mereka hari itu. Mulai dari yang versi
rapi, lagi makan eskrim, makan ini, makan itu. Eeh, ada banyak makanan di sana,
sayang sekali aku tidak bisa ikut, hehehe. Ada sebuah rasa sedih menyusup ke
relung hatiku. Betapa iri melihat kegembiraan yang terlukis di wajah mereka.
Betapa ingin menjadi salah satu bagian dari foto itu. Tapi ya mau gimana lagi,
tugas negara yang diamanahkan kepadaku jauh lebih penting aku kerjakan daripada
menghadiri acara perpisahan itu. Sekali lagi maafkan mba Suci ya!
Beberapa
hari setelah perpisahan aku kembali hadir di kantor Primagama. Ya, memang
karena ada jadwal mengajar sekalian mengantar oleh-oleh dinas luar kota. Para
rekan kerjaku begitu bersemangat menceritakan susana perpisahan yang haru biru
itu. Ahh, betapa iri telinga ini mendengarnya. Lalu, seorang rekan kerja
memberikan bingkisan ini kepadaku. Aku terkejut, tak menyangka bahwa ada sebuah
hadiah yang bertuliskan namaku dengan gelar i-smart
rapi.
Mereka
lalu bercerita, bahwa ketika perpisahan ada sebuah games kecil-kecilan. Well, seperti
sayembara gitu lah. Mereka membuat nominasi i-smart
tegas, i-smart termodis dan i-smart
ter-rapi, siswa ter-rajin, siswa ter-heboh, dan lain-lain. Eh, ada games seperti itu ya? batinku. Para siswa memilih i-smart
sesuai dengan penilaian mereka. Dan qodarullah aku terpilih menjadi i-smart
yang katanya rapi. Rapi? Aah aku sendiri tidak yakin. Entah
darimana para siswa itu menilai sehingga aku bisa dikategorikan sebagai tentor
ter-rapi. But, anyway, thank you so much
guys!
Aku
menatap bingkisan ini lamat-lamat. Lagi?
Batinku. Akhirnya aku mendapatkan kategori ini lagi. Dulu, ketika zamannya jadi
kakak senior MOS (Massa Orientasi Siswa) SMA aku sering mendapat gelar kakak
ter-rapi. Dan waktu itu aku juga berpikir, kok
bisa ya?. Berlanjut ketika menjadi senior MaBa (Mahasiswa Baru) di kampus.
Kembali lagi gelar itu melekat padaku. Begitu selanjutnya, ketika mengajar di
sekolah gelar ini mengikutinya. Hingga akhirnya di Primagama pun aku
mendapatkannya.
Bersyukur,
ooh tentu saja. Alhamdulillah. Orang-orang di sekitarku ternyata memberikan
penilaian yang baik terhadapku. Ya, walau aku masih bingung kenapa mereka
memilihku sebagai seseorang yang rapi. Katanya pakaianku, jilbabku selalu
senada dan terlihat rapi *eh, masa sih*. Katanya tulisanku kalau lagi ngajar
itu juga rapi *hhm, gak juga*. Katanya aku kalau lagi ngomong itu runut, jelas,
terstruktur *what? Ini mah bohong*. Katanya aku kau mengerjakan
pekerjaan rapi, gak berantakan *hhm, ada-ada aja*. Dan masih banyak
katanya-katanya yang lain. Aah, betapa harus banyak diri ini bersyukur karena
Allah masih tutupkan aib-aibku di hadapan mereka semua.
Terlepas
dari penampilanku, tulisan tanganku, sistematika pekerjaan atau gaya
berbicaraku, menurutku gelar ini adalah sebuah ‘tamparan’ kecil bagiku. Bertahun-tahun
aku terus mendapatkan nominasi ini, let
me think, apakah ada yang salah dengan kerapianku? Bukan soal kerapian
fisik atau tulisan, tetapi kerapian hati, karakter dan ibadah-ibadahku.
Astaghfirullah.
Aku
jadi berpikir, apakah Allah sedang menegurku lewat bingkisan ini? Ya. mungkin
selama ini aku kurang merapikan ibadah-ibadahku. Bisa saja aku rasa syukur dan
sabarku masih sangat berantakan. Atau beberapa karakter dan sifatku yang butuh
dirapikan lagi. Ternyata jika ditafakkuri, ditadabburi, ada banyak hal dalam
hidupku yang masih sangat berantakan. Banyak hal yang ternyata memerlukan
sebuah perbaikan. Sayangnya kesibukan dunia membuatku lupa akan hal ini. Aku
merasa baik-baik saja dengan diri dan hidupku, ternyata setelah aku lihat dan
renungi lagi, Astaghfirullah, aku masih hidup dalam ke-berantak-an.
Naudzubillah.
Uniknya
hidup begitu. Jangan pernah menyangka bahwa nikmat yang kita terima, apapun itu
bentuknya, apakah itu harta, pasangan hidup yang bertakwa, atau popularitas
adalah balasan atas kebaikan-kebaikan kita. TIDAK, itu sama sekali bukan
balasan kebaikan. Balasan kebaikan, keshalihan kita hanya berhak kita terima di
akhirat kelak. Lalu nikmat itu untuk apa? nikmat itu hanyalah ujian level
berikutnya. Ya, kita sedang diuji ketika Allah memberikan nikmat tertentu
kepada kita. Jangan sampai kita terlena dan tersibukkan.
Aau
bisa saja nikmat itu adalah bentuk teguran Allah terhadap kita. Sebuah teguran
yang unik dan ‘manis’ menurutku. Allah bisa menegur kualitas iman kita dengan
mengirimkan pasangan shalihah/shalih untuk kita. Allah juga bisa menegur
frekuensi sedekah kita dengan menitipkan rezeki yang berlimpah. Allah menegur
bagaimana hubungan kita dengan orang tua melalui anak-anak berbakti yang Ia
titipkan.
Jangan
terlena dengan apapun nikmat yang Allah berikan. Anggaplah itu sebagai ujian
level berikutnya, atau perlakukan ia sebagai teguran Allah terhadap kita.
Medan,
19 Mei 2018, 21:19 WIB
Sepertinya
aku harus melalukan list kembali. Apa
aja hal yang masih berantakan dalam hidupku ya?
No comments:
Post a Comment