Thursday 20 July 2017

Ini Monas Yaak?


Monas, siapa sih yang gak kenal dengan benda ini. Benda yang merupakan icon dari ibu Kota Indonesia, Jakarta, ramai menjadi bahan perbincangan orang (eeh atau aku aja kali ya, heheh). Tapi kali ini aku gak mau ngebahas tentang sejarah monas, kapan dibangun, siapa yang membangun atau alasan dibalik pembangunannya. Silakan searching atau tanya guru sejarah aja yaa...opss.


Mungkin untuk sebagian orang tugu monas ini adalah hal yang biasa saja, ‘basi’, begitu beberapa ungkapan dari mereka. Tapi tentu tidak denganku, gadis lugu (cie elah) yang hidup di sebuah desa kecil di pinggir kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Buatku monas adalah cita-cita kecilku, karena dari kecil aku sangat menginginkan bisa melihat tugu itu langsung dengan mataku sendiri. Ntah kenapa aku selalu ingin segera sampai kesini, aku ingin melihat Monas.
“Suci mau ke Jakarta gak?”. Mau.
“Ntar di Jakarta mau ngapain? Ke Ancol ?”.  Gak, aku mau lihat Monas aja.
Ya Allah, cita-cita yang sederhana banget, hehehe.

Tapi sayang, kondisiku begitu sangat tidak memungkinkan. Dimulai dari kondisi ekonomi yang tidak bersahabat, waktu yang tak kunjung datang dan pertimbangan tidak adanya keluarga di Jakarta, membuatku mengurungkan niatku untuk berkunjung ke icon Jakarta itu. Buatku mendarat di Jakarta sehari atau dua hari saja adalah impianku, karena membayangkannya saja aku tidak bisa, takut, takut gak terwujud. Karena memang ada beberapa kondisi yang sangat tidak memungkinkan aku untuk bisa berpergian dengan jarak yang jauh dan biaya yang cukup mahal (dulu mah, tiket pesawat harganya melangit banget).

Tapi aku kan punya  Allah, aku minta langsung saja sama Dia. Dan ternyata Allah kabulkan permohonanku, Huaa...aku beneran gak nyangka banget, bisa menginjakkan kaki ke negeri para artis itu. Masha Allah. Alhamdulillah. Tahun 2014 aku menginjakkan kaki ke sana, Jakarta, Im Coming. Aku gak nyangka ternyata rencana Allah malahan lebih indah ketimbang rencanaku sendiri. Teringat dengan surat Ar Rahman deh, “Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”.

Bukan jalan-jalan atau memang sekadar mewujudkan salah satu impianku agar bisa berkunjung ke ibu kota negaraku itu, melainkan ada tugas dari NGO tempat aku bekerja. Kami diwajibkan untuk ikut pelatihan di Jakarta selama hampir satu minggu, bahkan tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. Ya Allah, aku bukan berangkat ke Jakata dengan biayaku sendiri, aku sama sekali tak perlu memikirkan dimana aku akan menginap, bagaimana caranya agar aku bisa makan di Jakarta. Ternyata itu Allah yang uruskan. Allah yang pilihkan pesawat Garuda untuk perjalananku Medan-Jakarta, Jakarta-Medan. Allah yang pilihkan Hotel Sultan, tempatku menginap selama hampir seminggu di Jakarta, dan Allah juga yang urus makanan yang aku makan melalui dapur hotel yang kaya akan cita rasa itu. Sekali lagi aku katakan, Allah itu maha baik, Allah itu amat sayang dengan hamba Nya, bahkan ungkapan sayangnya itu kadang tak ternalar lagi dalam pikiran kita. Alhamdulillah.

Karena ini judulnya adalah pelatihan, alhasil dari pagi sampai sore kami harus berkutat dengan bahan, kertas, presentasi atau tanya jawab. Akhirnya waktu yang luang untuk menikmati indahnya kota Jakarta adalah di malam hari. Dan jadilah kami malam-malam mengitari kota Jakarta, termasuk berkunjung ke tugu Monas, jeng,..jeng...jeng...
Maafkan jika hasil kameranya tak seperti yang diharapkan, maklum anak kuliahan yang kos-kosan jadi hp pun ala kadarnya. Mereka adalah teman NGO ku, teman kampusku juga. Bersama merekalah aku mengitari kota Jakarta di malam hari.
 
Lho, kalian cuma pergi berempat doang? Ahh tentunya tidak. Untuk seseorang seperti kami, yang barus first step di Ibu Kota Negara pasti kebingungan dong ketika melihat kota Jakarta yang gedungnya tinggi-tinggi banget. Huaa... tenang, kami punya guide kok, teman SMA nya Siti yang bekerja di Jakarta. Dan inilah guide kami selama di Jakarta
Laki-laki yah? Tenang. Insya allah mereka laki-laki baik. Mereka mengajak kami berkelana dari sore sampai malam, Hahaha. Mereka pun menceritakan beberapa destinasi wisata di Jakarta. Dan aku sangat antusias mendengar setiap cerita dari dua laki-laki ini, Wah,..mungkin mereka melihat ke”katrok”an ku kali ya, yang begitu norak banget ketika melihat Jakarta, ketika melihat tingginya gedung atau ramainya lalu lintas di Jakarta.

 “Ini Monas Yaak”
Itulah kata-kata yang pertama kali keluar dari mulutku ketika menyaksikan tugu itu berdiri kokoh dihadapanku. Mungkin dua orang guide kami tersenyum melihat pernyataanku. Hahaha. Yang jelas aku menyaksikan tugu itu hampir selama 10 menit tanpa beralih pandangan. Ya Allah. Tugu yang dari kecil aku impikan, sekarang dengan kuasa Mu aku berdiri di hadapannya. Jangankan mewujudkannya, memimpikan bisa sampai ke hadapan Monas saja aku gak berani, karena bisa sampai ke Monas itu adalah miracle  banget buat kehidupanku. Ahh...mungkin kalau kalian bisa bertemu dan melihat kondisiku akan paham mengapa aku tak sanggup memimpikannya. Hikss..

Aku menginjakkan kaki di Monas itu sudah hampir jam 7 malam waktu itu. Jadi ya gelap banget deh kondisi di sana. Untung saja kami kesana gak malam minggu jadinya gak begitu padat. Kata guide kami, kalau malam minggu ke Monas itu seperti mengunjungi pasar malam. Banyak orang berkumpul di Monas, banyak orang jualan. Aku juga terkejut dengan cerita sang guide. Karena sangat kontras dengan apa yang aku lihat di sana. Aku melihat Monas tak begitu ramai, bahkan kami sangat nyaman untuk berfoto karena begitu banyak spot yang lumayan cantik diabadikan. 

Kalau malam, Monas bercahaya, dan cahayanya berganti-ganti. Kadang warna kuning, hijau, ungu. Jadinya kalau mau foto yang nampak Monasnya harus berbarengan dengan lampu yang menyala ya..kalau gak ya gak bakalan nampak tu Monasnya. Alhasil guide kami yang luar biasa ini mengerahkan segala tenaganya agar kami bisa tercandeed dengan sempurna di depan Monas. Terima kasih sang guide, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian yaah.
Ternyata di pelataran Monas itu banyak badut, waah...akhirnya kami pun mengabadikan foto dengan badut juga. 















































Ini salah satu bentuk mata pencarian masyarakat Jakarta, miris. Mereka sama sekali tak menetapkan berapa biaya yang dibebankan. Mereka hanya menyediakan kotak di depan mereka. Waah...aku benar-benar terkejut dengan kondisi itu, mungkin first time aku melihat hal yang seperti ini. Kami menghabiskan beberapa shoot  dengan badut doraemon dan masha, lalu meninggalkan beberapa uang ribuan kepada keduanya. Gak tahu kenapa aku merasa sedih saja melihat perjuangan masyarakat Jakarta memenuhi kehidupannya.

Dan akhirnya setelah mengitari Monas dengan bermodalkan kedua langkah kaki ini, kami pun merasa lapar (lagi) hahaha. Aku iseng memesan kerak telor yang katanya makanan khas Jakarta. Kebetulan di Monas ada beberapa yang jualan kerak telor. Ahh..mungkin semua orang tahu kerak telor, kecuali aku. Katrok banget sih aku, hehe. Akibatnya aku begitu detail memperhatikan ketika mas-mas itu membuatkan kerak telor spesial untukku. Lalu ketika sudah selesai, aku bersiap menyantapnya, dan jeng...jeng...jeng...
Aku menelannya perlahan.

Oh my God !! aku langsung meneguk aqua lalu berteriak ke arah teman-teman, “kita ke rumah makan Padang yokk” (teteup, kemana-mana rumah makan padang is the best). Ternyata lidahku tak sesuai dengan kerak telor ini, hahaha. Bukan gak enak lo, tapi mungkin kurang cocok saja di lidahku. Maklum, anak kampung ini kan biasa maka ubi sama kangkung saja, hehe. Buat kalian boleh kok mencoba kerak telor, biar ngerasain jadi orang betawi itu gimana, heheh..

Kami pun landing di hotel sekitar jam 11an malam. Ya Allah lama banget, padahal besok pagi jam 8 kami harus pelatihan lagi, harus diskusi lagi, harus presentasi lagi. Ahh...untung tubuhku bersahabat. Aku benar-benar menikmati perjalanan pertamaku ke Monas, dan serasa ingin berteriak “AKU UDAH SAMPAI MONAS”.

Medan, 20 Juli 2017, 15:55
Ps : Ntah kenapa begitu merindukan berpetualang di Jakarta saat malam hari bersama mereka.

Thursday 13 July 2017

Resensi Novel : Shattered


Pict : Novel Shattered
Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan siapa yang akan menjadi objek tulisanku. Novel. Ya, kali ini aku akan menuliskan resensi sebuah novel yang baru aku tamatkan (alhamdulillah).
Judul            : Shattered (Menghancurkan, Dihancurkan)
Penulis          : Teri Terry
Penerbit         : PT Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia.
Halaman         : 501

“Tumben baca novel Uni”, begitu tanggapan beberapa teman kerjaku ketika aku mengeluarkan novel ini dari ransel. Haahaha, memang begitulah kenyataannya. Aku sangat jarang sekali membaca novel, teenlit, apalagi komik. Biasanya buku non fiksi, seperti buku agama, buku matematika, buku pendidikan, buku psikologi sangat menjadi andalanku di sela kesibukan. Tapi tidak untuk kali ini, aku merasa butuh sedikit perubahan bahan bacaan. Terenyuh dengan ucapan seorang teman di facebookku, “jangan seius amat Uni, nanti cepet tua lo (udah tua kali ya), sesekali baca novel buat bahan imajinasi, karena buku non fiksi itu gak bisa menghadirkan sebuah imajinasi”. Finally, aku membeli novel ini.

Kadang butuh beberapa bacaan ringan di sela bacaan “berat” dan syarat makna. Akhirnya novel ini pun aku garap. Awalnya aku pikir ini bacaan ringan, sekedar melepaskan kejenuhan dari rutinitas pekerjaan, ternyata Oooh tidaaak !! aku terjebak. Novel ini benar-benar syarat akan ilmu, novel ini syarat akan emosi. Biasanya beberapa novel akan membuat pembacanya memiliki ekspresi seperti terpingkal, atau tersenyum kecil, pipi merona, bahkan ada yang berurai air mata. Tapi tidak untuk novel ini. Novel ini benar-benar membuat keningku berkerut, otakku bekerja, menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Benar-benar petualangan terbaik untuk para neuron di otakku.

Petualangan? Ya. Novel ini tentang sebuah petualangan. Petualangan seorang gadis di masa depan. Masa depan? Ya. Novel ini bercerita tentang masa depan. Tentang bagaimana kehidupan masyarakat masa depan yang semuanya bergantung dengan komputer. Bahkan manusia “nakal” di masa depan akan diprogram otaknya melalui komputer, sehingga ia akan hadir sebagai pribadi yang lebih baik, lebih tepatnya pribadi yang nantinya akan dimanfaatkan oleh para orang yang akan menggunakannya.

Lucy, Riley, Kyla, Gadis yang menjadi subjek utama dari novel ini, entah sudah berapa kali ia berganti nama, berganti warna rambut, berganti riasan wajah, hanya untuk mengelabui orang-orang yang memiliki niat jahat terhadapnya. Hanya satu hal yang tak pernah berubah darinya yaitu warna bola matanya yang hijau, ia tak mau mengubahnya. Sudah pernah “dihapus” (baca : sudah dicuci otak) oleh pemerintah karena disangka teroris yang akan melaksanakan bom bunuh diri terhadap perdana menteri mereka. Pernah dipalsukan kematiannya sehingga ia terus berganti nama, berganti wajah. Terakhir kali ia tercatat sebagai Riley.

Petualangan Riley di novel ini adalah menemukan siapa dirinya sebenarnya. Ia berpetualang sendirian, meninggalkan zona amannya untuk menemukan ibu kandungnya, ayahnya, kenapa ia bisa “dihapus”, kenapa kematiannya dipalsukan oleh negara. Ya...dan gadis belia ini berhasil menemukannya. Ia memang bertemu dengan ibunya, yang ternyata setelah diselidiki bukanlah ibu kandungnya. Lalu siapa ibu kandungnya? Teka-teki yang membuat Riley berpikir lebih keras. Terus menemukan beberapa fakta tentang siapa dirinya.

Keingintahuannya yang besar itu mengantarkannya kepada sebuah panti asuhan yang mengakomodasi pencucian otak untuk anak-anal (ILEGAL). Mengantarkannya kepada sekelompok pemberontak negara yang berhasil melumpuhkan asrama mahasiswa Oxford. Mengantarkannya untuk bertemu dengan kekasih masa lalunya yang sangat ia cintai dan ternyata bagian dari pemberontak tersebut, bahkan ingin membunuhnya.

Ahh...penuh petualangan sekali. Perjuangan Riley, Mac, Aiden yang terus berusaha membuktikan kepada pemerintah tentang keberadaan pemberontak ini. Sampai akhirnya kebenaran itu terungkap perlahan. Terungkap oleh seorang Bapak tua yang gagah berani, dan tidaaaak, ternyata bola matanya berwarna sama dengan Riley. Perdana Menteri.

Ternyata. Riley adalah cucu dari perdana menteri. Dimana ibunya, anak perdana menteri disekap oleh para pemberontak selama bertahun-tahun sampai akhirnya meninggal. Sedikit perasaan lega bagi Riley akhirnya ia menemukan siapa dirinya sebenarnya, untuk apa ia dikirim sebagai pembunuh yang memegang  bom bunuh diri, kenapa chip di otaknya tidak ada yang bisa memecahkan kodenya. Ternyata dirinya memang sudah diprogram sedari kecil untuk membunuh keluarganya sendiri, apakah seunik itu? Sehingga hidupnya telah dibayang-bayangi masa depan padahal masih anak kecil yang ingin bermain.

“Hope”, itulah nama yang diberikan ibumu. Begitulah sipir penjara itu mengatakannya. Ia memang dilahirkan di penjara bawah tanah milik pemberontak. Ahh..nama yang  bagus.

Lembar per lembarnya adalah petualangan kecil, sehingga semakin dibalik akan meningkatkan adrenalinmu, menambah rasa penasaran. Jadi kau mungkin akan berusaha untuk menamatkannya lebih dari usaha yang aku lakukan (heheh). Pilihan katanya bagus, memang benar-benar menggambarkan suasana yang aku bayangkan. Mungkin sangat dianjurkan membaca buku pertama dan keduanya, karena memang saling berhubungan. Dan kesalahanku, aku tidak membacanya. Ya.. wamalupun begitu aku cukup memahami beberapa istilah yang dimunculkan seperti TAP, DOH, Levo, atau lainnya. Akan tetapi lebih seru jika kita lebih paham dengan beberapa istilah penting di atas.

Beneran deeeh, ini tuh refreshing yang oke banget. Oke banget buat kamu yang lagi menghela nafas dari rutinitas pekerjaan sekolah, pekerjaan kampus, ataupun pekerjaan kantor. Memang ceritanya seperti unlogic , tapi lihat perjuangannya, lihat petualangannya, lihat melankolisnya.

Silakan ditemukan bukunya, dan selamat membaca !!

Medan, 13 Juli 2017, 14.10
Standby di kos aja, waktu produktif banget buat nulis.

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...