Monas, siapa sih yang gak kenal dengan benda ini. Benda yang merupakan icon dari ibu Kota Indonesia, Jakarta, ramai menjadi bahan perbincangan orang (eeh atau aku aja kali ya, heheh). Tapi kali ini aku gak mau ngebahas tentang sejarah monas, kapan dibangun, siapa yang membangun atau alasan dibalik pembangunannya. Silakan searching atau tanya guru sejarah aja yaa...opss.
Mungkin untuk sebagian orang tugu monas ini adalah hal yang biasa saja, ‘basi’, begitu beberapa ungkapan dari mereka. Tapi tentu tidak denganku, gadis lugu (cie elah) yang hidup di sebuah desa kecil di pinggir kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Buatku monas adalah cita-cita kecilku, karena dari kecil aku sangat menginginkan bisa melihat tugu itu langsung dengan mataku sendiri. Ntah kenapa aku selalu ingin segera sampai kesini, aku ingin melihat Monas.
“Suci
mau ke Jakarta gak?”. Mau.
“Ntar
di Jakarta mau ngapain? Ke Ancol ?”. Gak, aku mau lihat Monas aja.
Ya
Allah, cita-cita yang sederhana banget, hehehe.
Tapi sayang, kondisiku begitu sangat
tidak memungkinkan. Dimulai dari kondisi ekonomi yang tidak bersahabat, waktu
yang tak kunjung datang dan pertimbangan tidak adanya keluarga di Jakarta,
membuatku mengurungkan niatku untuk berkunjung ke icon Jakarta itu. Buatku mendarat di Jakarta sehari atau dua hari
saja adalah impianku, karena membayangkannya saja aku tidak bisa, takut, takut
gak terwujud. Karena memang ada beberapa kondisi yang sangat tidak memungkinkan
aku untuk bisa berpergian dengan jarak yang jauh dan biaya yang cukup mahal
(dulu mah, tiket pesawat harganya melangit banget).
Tapi aku kan punya Allah, aku minta langsung saja sama Dia. Dan ternyata
Allah kabulkan permohonanku, Huaa...aku beneran gak nyangka banget, bisa
menginjakkan kaki ke negeri para artis itu. Masha Allah. Alhamdulillah. Tahun 2014
aku menginjakkan kaki ke sana, Jakarta, Im
Coming. Aku gak nyangka ternyata rencana Allah malahan lebih indah
ketimbang rencanaku sendiri. Teringat dengan surat Ar Rahman deh, “Maka Nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”.
Bukan jalan-jalan atau memang
sekadar mewujudkan salah satu impianku agar bisa berkunjung ke ibu kota negaraku
itu, melainkan ada tugas dari NGO tempat aku bekerja. Kami diwajibkan untuk
ikut pelatihan di Jakarta selama hampir satu minggu, bahkan tanpa mengeluarkan
biaya sepeser pun. Ya Allah, aku bukan berangkat ke Jakata dengan biayaku
sendiri, aku sama sekali tak perlu memikirkan dimana aku akan menginap,
bagaimana caranya agar aku bisa makan di Jakarta. Ternyata itu Allah yang
uruskan. Allah yang pilihkan pesawat Garuda untuk perjalananku Medan-Jakarta,
Jakarta-Medan. Allah yang pilihkan Hotel Sultan, tempatku menginap selama
hampir seminggu di Jakarta, dan Allah juga yang urus makanan yang aku makan
melalui dapur hotel yang kaya akan cita rasa itu. Sekali lagi aku katakan,
Allah itu maha baik, Allah itu amat sayang dengan hamba Nya, bahkan ungkapan
sayangnya itu kadang tak ternalar lagi dalam pikiran kita. Alhamdulillah.
Karena ini judulnya adalah
pelatihan, alhasil dari pagi sampai sore kami harus berkutat dengan bahan, kertas,
presentasi atau tanya jawab. Akhirnya waktu yang luang untuk menikmati indahnya
kota Jakarta adalah di malam hari. Dan jadilah kami malam-malam mengitari kota
Jakarta, termasuk berkunjung ke tugu Monas, jeng,..jeng...jeng...
Maafkan
jika hasil kameranya tak seperti yang diharapkan, maklum anak kuliahan yang
kos-kosan jadi hp pun ala kadarnya. Mereka adalah teman NGO ku, teman kampusku
juga. Bersama merekalah aku mengitari kota Jakarta di malam hari.
Lho, kalian cuma pergi berempat
doang? Ahh tentunya tidak. Untuk seseorang seperti kami, yang barus first step di Ibu Kota Negara pasti
kebingungan dong ketika melihat kota Jakarta yang gedungnya tinggi-tinggi
banget. Huaa... tenang, kami punya guide kok, teman SMA nya Siti yang bekerja
di Jakarta. Dan inilah guide kami selama di Jakarta
Laki-laki
yah? Tenang. Insya allah mereka laki-laki baik. Mereka mengajak kami berkelana
dari sore sampai malam, Hahaha. Mereka pun menceritakan beberapa destinasi
wisata di Jakarta. Dan aku sangat antusias mendengar setiap cerita dari dua
laki-laki ini, Wah,..mungkin mereka melihat ke”katrok”an ku kali ya, yang
begitu norak banget ketika melihat Jakarta, ketika melihat tingginya gedung
atau ramainya lalu lintas di Jakarta.
“Ini Monas Yaak”
Itulah kata-kata yang pertama kali
keluar dari mulutku ketika menyaksikan tugu itu berdiri kokoh dihadapanku. Mungkin
dua orang guide kami tersenyum
melihat pernyataanku. Hahaha. Yang jelas aku menyaksikan tugu itu
hampir selama 10 menit tanpa beralih pandangan. Ya Allah. Tugu yang dari kecil
aku impikan, sekarang dengan kuasa Mu aku berdiri di hadapannya. Jangankan mewujudkannya,
memimpikan bisa sampai ke hadapan Monas saja aku gak berani, karena bisa sampai
ke Monas itu adalah miracle banget buat kehidupanku. Ahh...mungkin kalau
kalian bisa bertemu dan melihat kondisiku akan paham mengapa aku tak sanggup
memimpikannya. Hikss..
Aku menginjakkan kaki di Monas itu
sudah hampir jam 7 malam waktu itu. Jadi ya gelap banget deh kondisi di sana. Untung
saja kami kesana gak malam minggu jadinya gak begitu padat. Kata guide kami, kalau malam minggu ke Monas
itu seperti mengunjungi pasar malam. Banyak orang berkumpul di Monas, banyak
orang jualan. Aku juga terkejut dengan cerita sang guide. Karena sangat kontras
dengan apa yang aku lihat di sana. Aku melihat Monas tak begitu ramai, bahkan
kami sangat nyaman untuk berfoto karena begitu banyak spot yang lumayan cantik
diabadikan.
Kalau malam, Monas bercahaya, dan
cahayanya berganti-ganti. Kadang warna kuning, hijau, ungu. Jadinya kalau mau
foto yang nampak Monasnya harus berbarengan dengan lampu yang menyala ya..kalau
gak ya gak bakalan nampak tu Monasnya. Alhasil guide kami yang luar biasa ini mengerahkan segala tenaganya agar
kami bisa tercandeed dengan sempurna
di depan Monas. Terima kasih sang guide,
semoga Allah membalas semua kebaikan kalian yaah.
Ternyata di pelataran Monas itu
banyak badut, waah...akhirnya kami pun mengabadikan foto dengan badut juga.
Ini
salah satu bentuk mata pencarian masyarakat Jakarta, miris. Mereka sama sekali
tak menetapkan berapa biaya yang dibebankan. Mereka hanya menyediakan kotak di
depan mereka. Waah...aku benar-benar terkejut dengan kondisi itu, mungkin first time aku melihat hal yang seperti
ini. Kami menghabiskan beberapa shoot dengan badut doraemon dan masha, lalu
meninggalkan beberapa uang ribuan kepada keduanya. Gak tahu kenapa aku merasa
sedih saja melihat perjuangan masyarakat Jakarta memenuhi kehidupannya.
Dan akhirnya setelah mengitari Monas
dengan bermodalkan kedua langkah kaki ini, kami pun merasa lapar (lagi) hahaha.
Aku iseng memesan kerak telor yang katanya makanan khas Jakarta. Kebetulan di
Monas ada beberapa yang jualan kerak telor. Ahh..mungkin semua orang tahu kerak
telor, kecuali aku. Katrok banget sih aku, hehe. Akibatnya aku begitu detail
memperhatikan ketika mas-mas itu membuatkan kerak telor spesial untukku. Lalu ketika
sudah selesai, aku bersiap menyantapnya, dan jeng...jeng...jeng...
Aku
menelannya perlahan.
Oh
my God !! aku langsung meneguk aqua lalu berteriak ke arah teman-teman, “kita
ke rumah makan Padang yokk” (teteup, kemana-mana rumah makan padang is the best). Ternyata lidahku tak
sesuai dengan kerak telor ini, hahaha. Bukan gak enak lo, tapi mungkin kurang
cocok saja di lidahku. Maklum, anak kampung ini kan biasa maka ubi sama
kangkung saja, hehe. Buat kalian boleh kok mencoba kerak telor, biar ngerasain
jadi orang betawi itu gimana, heheh..
Kami pun landing di hotel sekitar jam 11an malam. Ya Allah lama banget,
padahal besok pagi jam 8 kami harus pelatihan lagi, harus diskusi lagi, harus
presentasi lagi. Ahh...untung tubuhku bersahabat. Aku benar-benar menikmati
perjalanan pertamaku ke Monas, dan serasa ingin berteriak “AKU UDAH SAMPAI
MONAS”.
Medan,
20 Juli 2017, 15:55
Ps
: Ntah kenapa begitu merindukan berpetualang di Jakarta saat malam hari bersama
mereka.