Thursday 29 March 2018

Resensi : Moslem Millionaire


Ruang Dosen Universitas Potensi Utama, Medan, Sumatera Utara


Judul                : Moslem Millionaire
Penulis               : Ippho Santosa
Penerbit              : PT Elex Media Komputindo
Halaman              : 100

 
Setelah sekian lama menghabiskan waktu dengan novel, aku kembali bergelut dengan buku non fiksi. Menurutku membuat bahan bacaan selang seling seperti ini akan sangat membantu otakku dalam me-refresh semua sistem yang sedang bekerja, hihihi. Buku yang aku khatamkan hanya dua hari ini (padahal cuma 100 halaman, tapi aku membutuhkan dua hari, aiihh) adalah kemurahan hati kak Afifah. Beliau dengan senang hati meminjamkan (kembali) dua buku terbaiknya kepada aku. Eits, tenang saja, aku akan review bukunya di sini kok. Terima kasih kak Afifah, hehe. Jika bukan karena Maha Kuasa nya Allah yang menggerakan hati kakak untuk meminjamkan buku kepadaku, maka aku akan kehabisan bacaan di akhir bulan ini.

Ini adalah buku kedua karangan mas Ippho yang berhasil aku khatamkan untuk tahun ini. Sebenarnya aku lebih suka melihat dan belajar melalui video atau postingan mas Ippho. Jujur ya, baru tiga buku mas Ippho yang aku khatamkan, tujuh keajaiban rezeki, wow, dan moslem millionaire. Entah kenapa aku tidak begitu prefer  dengan tulisan mas Ippho dalam bentuk buku, hihi. Itu juga mengapa ketiga buku mas Ippho yang aku baca, merupakan hasil pinjam dari mereka yang berbaik hati meminjamkan kepadaku. Hehehe.

Buku terbitan 2013 ini merupakan serial kelanjutan dari beberapa buku mas Ippho lainnya yaitu Hanya 2 Menit, 7 Keajaiban Rezeki,  dan  Percepatan Rezeki. Sayangnya, aku baru membaca dua buku saja, aihh. Dari judul saja mungkin sudah sangat terlihat kemana arah pembicaraan buku ini, dtambah lagi dengan background nya mas Ippho, sehingga para pembaca tahu buku ini akan bercerita tentang apa.

Untuk masalah cover, hmm gimana ya? menurutku sedikit kurang nyambung sih (mungkin seleraku jelek, maafkeun). Mas Ippho memilih cover bergambarkan seorang perempuan shalihah yang mengenakan cadar. Menurutku, kurang cocok saja dengan judulnya Moslem Millionaire. Jujur ya mas, bermodalkan hanya melihat cover tanpa menghiraukan judul, aku pikir ini adalah buku tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan perempuan. Eeh, tahunya, hehehe. Mungkin diganti degan yang universal lebih bagus sih mas, misalnya gambar uang, istana atau gambar sebuah padang pasir (seperti 7 keajaiban rezeki) menurutku lebih cocok sih.

Mas Ippho meramu tulisan ini dalam tujuh bab yang semuanya membahas perihal cinta. Keajaiban cinta, kebesaran cinta, pengorbanan cinta dan lainnya, cocok sekali dengan tag line  yang mas Ippho tampilkan di cover, yaitu menguasai cinta dan harta dalam 365 hari. Cinta, menjadi hal yang paling ditekan mas Ippho dalam buku ini. Diawali dengan menyadarkan pembaca betapa pentingnya cinta, menyajikan berbagai kisah cinta yang luar biasa atau betapa luar biasanya hidup yang dipenuhi banyak cinta. Mas Ippho mengelompokkan cinta menjadi tiga yaitu

  Rational love, yaitu cinta terhadap sesuatu. Emotional love, yaitu cinta terhadap
  Orang yang dicintai dan Spritual love yaitu cinta karena Allah.  (Halaman 16)

Mas Ippho juga tidak lupa mengaitkan konsep cinta dan rezeki (ini nih mas Ippho banget). Apakah harus menabung atau sedekah? Bagaimana menyikapi sebuah kegagalan dan pembelajaran? Dan masih banyak hal lainnya. Semuanya dibingkai dalam cinta, artinya mas Ippho mengaitkan semua pembahasannya dengan cinta. Betapa cinta dapat menjadikan kita menjadi kaya, berkah dan berlimpah. Cinta kepada siapa? Bagaimana caranya? Aah, lebih baik kalian baca langsung bukunya mas Ippho ini, hehe.

Menuruku, ide yang diangkat mas Ippho sangat menarik. Ia mencoba mengaitkan perihal rezeki dan cinta, sangat jarang sih menurutku (entah wawasan perbukuan ku yang kurang, hehe). Hanya saja penyajian kontennya menurutku ‘sedikit berantakan’. Memang ada tujuh bab yang dibahas mas Ippho dalam buku ini, sayangnya setiap bab aku rasa kurang fokus aja. Awalnya membahas betapa cinta mempengaruhi rezeki, eh langsung saja ke antusiasme, terus ke pembelajaran, menghadapi kegagalan, hihih terlalu jumping banget pembahasannya mas. Entah aku yang kurang fokus membaca entah gimana ya, pokoknya setiap lembaran dengan judul baru, pasti deh aku bingung ‘kok kesini ya?’, hehehe. Paling bingung itu ketika ketemu bab tujuh. Aku pikir mas Ippho masih ingin menuliskan hal tentang rahasia cinta, ee tahunya hanya sebuah pernyataan pendek tiga baris. ‘Apa-apaan ini?’, setidaknya itu kalimat yang keluar ketika aku membalik halaman bab tujuh itu. Aku juga kurang mengerti apa sebenarnya maksud mas Ippho. Aku malahan berpikir, buku itu miss beberapa halaman, tetapi ketika aku cek, kondisi buku baik kok. Jadi kenapa ya? Ahh entahlah.

Cara penulisan mas Ippho sih standar banget, hehe. Aku juga heran, buku dengan 100 halaman ini bisa laku jutaan eksemplar dengan harga yang lumayan tinggi. Hhm, mungkin karena branded  kali ya, siapa sih yang nggak kenal dengan mas Ippho, hehe. Selain itu mas Ippho bisa menghadirkan sebuah saran yang aplikatif banget dalam meningkatkan bisnis seseorang. Nah, disini nih nilai jual buku mas Ippho. Tapi kalau cara penulisan, pemilihan kosa kata, sistematika tulisan, aah mas Ippho masih belum ada apa-apanya dengan penulis lainnya. Heheh, maaf ya mas.

Rekomendasi nggak ya? jelas dong. Buatku gak ada yang buku yang jelek kok, selama yang disampaikannya adalah kebenaran. Kita saja yang kurang menikmati buku tersebut. Dan aku? Kurang menikmati buku ini, hehehe.





Medan, 29 Maret 2018
Tulisan ini ditutup dengan hadirnya hujan di kota Medan. Allahuma Shayyiban Nafi’an.
Berdoa, MULAI !

Lihatlah Ke Atas!

Ray Inn Hotel, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara


Semasa kecil aku sering dinasehati ‘jangan terlalu sering melihat ke atas, nanti kamu kelilipan’. Sebuah nasehat sederhana tetapi penuh makna. Dulu, aku hanya memaknai secara denotasi saja, hingga akhirnya aku jarang melihat langit-langit rumah atau kelas, heheh. Jika ada yang bertanya tentang hal itu aku menjawab “takut kelilipan”. Nasehat yang terus terngiang itu sekarang aku maknai dengan cara berbeda. Aku pikirkan apa sebenarnya maksud yang ingin diutarakan oleh si pemberi nasehat. Ya, walaupun belum terlalu tepat dan jeli, aku bisa menarik benang merah dari perkataan tersebut.

Aku memaknai nasehat itu sebagai bentuk syukur yang harus dimiliki oleh manusia. Seringkali kita mengeluhkan masalah yang dihadapi, penderitaan yang tak kunjung selesai atau takdir Allah yang kurang bersahabat. Kesedihan dan kekhawatiran berlebihan ini akhirnya menjelma menjadi sebuah penghakiman terhadap diri sendiri yang terlahir ‘sial’ atau mengatakan bahwa Allah tidak adil terhadap diri ini. Kenapa diri ini merasa sial, serba kekurangan? Itu karena kita terlalu sibuk membandingkan diri ini dengan mereka yang serba berlebihan. Kita selalu melihat orang lain yang mendapatkan apa yang kita impikan, nah kita? Sibuk dengan khayalan ‘andaikan aku yang memilikinya’ ahh.

Bagaimana jika ubah pembandingnya? Jika selama ini terlalu sibuk membandingkan dengan mereka yang berlebihan, maka cobalah sesekali bandingkan dengan mereka yang berada di bawah kita. Mereka yang hidupnya jauh lebih menderita, lebih kekurangan, lebih nestapa dari hidup yang kita alami. Jika tak bisa kau temui di dunia nyata, maka bukalah lembaran mushaf. Percayalah, kau akan menemukan sebuah kisah nestapa dari seorang pria tampan yang disayangi oleh ayahnya, didengki oleh saudaranya, dilempar ke sumur, dipungut oleh penjual, dijual murah sebagai budak, dijadikan pelampiasan nafsu majikan, difitnah, dipenjara, dilupakan oleh teman yang dulunya berjanji akan membebaskan hingga menjadi bendahara negaranya yang mengurusi permasalahan negara yang tak kunjung selesai. Semoga kalian tahu kisah siapa yang sedang aku ceritakan.

Dengan ‘melihat ke bawah’ setidaknya akan ada rasa syukur dalam hati bahwa ternyata hidup kita masih jauh lebih baik daripada orang lain. Allah masih memberikan anugerah kepada kita daripada orang itu. Kita masih bisa makan dengan enak, sementara mereka harus berkelana untuk seteguk air. Masih suka mengeluh lagi dengan penderitaan itu? Cobalah sesekali ‘lihat ke bawah’, kau akan benar-benar bersyukur dengan penderitaan yang dimiliki. Karena ternyata mereka jauh lebih menderita daripada kita. Setidaknya ini adalah makna yang aku dapatkan dari pesan ‘jangan terlalui sering melihat ke atas’.

Tetapi, apakah sebetulnya kita tidak diperbolehkan untuk melihat ke atas? Apakah sebaiknya kita hanya melihat ke bawah sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Allah? Pikiran seperti ini juga salah. Tidak selamanya melihat ke atas itu salah. Begitu juga, merupakan salah besar ketika kau terus melihat ke bawah. Lalu, ‘lihat ke atas’ seperti apa yang baik? Yang tidak menimbulkan rasa iri dan dengki berlebihan? Yang tidak membuat kita akan mengutuki diri sendiri?
Lihatlah mereka yang ibadahnya lebih darimu. Lihatlah mereka yang bisa memaksimalkan kemampuannya dalam belajar sehingga memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan orang lain. Lihatlah mereka yang tetap berbagi dalam kondisi lapang terlebih lagi dalam kondisi yang sempit. Lihatlah mereka yang menangis syahdu ketika mendengar ayat-ayat Robbnya dibacakan. Lihatlah mereka yang sukses dunianya, tetapi tetap zuhud dan tawadhu’. Masha Allah. Itulah mereka yang berada di atas kita, sehingga untuk melihat mereka kita harus melihat ke atas.

Dalam hal ini ‘melihat ke atas’ sangat dianjurkan. Iri terhadap mereka sangat diperbolehkan. Mempelajari kebiasaan, hal positif yang mereka bahkan bernilai pahala di sisi Allah. Maka, pelajarilah mereka! Belajarlah untuk menjadi seperti mereka. Jadikan ‘pandangan ke atas’ ini sebagai cambuk motivasi agar kita terus bermetamorfosa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jangan hanya berkhayal menjadi mereka! Tidak cukup bermimpi dan bercita-cita akan seperti mereka suatu hari nanti. Tetapi buktikan bahwa kau bisa menjadi seperti mereka, kau bisa menyamakan mereka dalam kualitas ibadah dan kebaikannya.

Selamat melihat ke atas !
Tapi jangan salah lihat ya, nanti kamu bisa kelilipan.


Medan, 25 Maret 2018, 16 : 28 WIB
Kami melihat ke atas bukan karena ada seseorang yang bagus ibadah atau bermanfaat ilmunya. Tetapi karena kamera itu memang ada di atas, dan begitulah say cheese!

Sunday 25 March 2018

Resensi : Bidadari Bermata Bening



Judul           : Bidadari Bermata Bening
Penulis          : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit          : Republika, 2017
Halaman         : 337

Akhirnya buku ini sampai di tanganku setelah satu bulan buku ini beredar di toko buku. Ya, aku termasuk yang terlambat membaca buku ini. Padahal ngakunya fans berat kang Abik, hehe. Membeli buku ini sungguh tidak memerlukan banyak alasan, banyak pendapat atau direkomendasikan seseorang. Bagaimana tidak, ini adalah novel karyanya Kang Abik. Hampir tidak ada novel kang Abik yang tidak aku suka. Ya, aku benar-benar jatuh cinta dengan semua novelnya kang Abik. Memang sangat pantas jika beliau dinobatkan sebagai novelis nomor satu di Indonesia. Tabarakallahu ya Kang Abik.

Untuk kali ini, seperti biasa, Kang Abik memberikan kejutan kepada pembaca melalui sebuah novel bercover pink ini. Jujur ya Kang, aku suka sekali covernya, terlebih lagi warnanya, so feminism banget deh. Novel ini becerita tentang seorang gadis cantik, pintar dan shalihah bernama Ayna Madeeya. Seorang gadis keturunan Kaliwenang dan Palestina. Tentunya akan sangat tergambar betapa cantiknya wajah Ayna. Guratan lembutnya paras gadis Jawa nan ayu yang dikombinasikan dengan wajah ala timur tengah benar-benar membuat Ayna layaknya seorang bidadari. Ya, bidadari bermata bening.

Ayna adalah seorang yatim piatu, ayahnya meninggal ketika dia masih kecil, sementara ibunya meninggal saat ia beranjak remaja. Satu-satu keluarga yang dimiliki adalah pak de nya. Berharap mendapat keberlimpahan kasih sayang dari pak de nya, ia malah tidak diperdulikan, tidak diurus bahkan hampir tidak dianggap oleh keluarganya. Hal inilah yang kemudian membuat ia memutuskan untuk mengahabiskan masa remajanya di sebuah pesantren Desa Candiretno. Keterbatasan dana yang dimiliki membuat Ayna tidak hanya menjadi santri di sana, tapi juga menjadi khadimat (pembantu) yang bertugas di dapur pesantren dan membantu keperluan keluarga Nyai.

Walau Ayna berbeda dari teman-temannya yang bisa fokus belajar, ia merasa beruntung bisa menjadi khadimat. Selain bisa mengenal keluarga Nyai dengan baik, ia juga sangat dipercaya untuk beberapa urusan internal keluarga Nyai. Ayna juga termasuk gadis yang pintar. Buktinya ia mengukir beberapa prestasi nan gemilang selama di pesantren. Sebut saja peraih juara kelas, juara karate bahkan ia adalah peraih nilai tertinggi UN jurusan IPS se Jawa Tengah. Gadis pintar ini tentunya bermimpi melanjutkan kuliah dan kemudian menikah dengan lelaki pujaannya, yaitu Gus Afif, teman seangkatannya yang tak lain adalah anak pimpinan pesantren.

Sayangnya, semuanya hanya tinggal mimpi. Ayna terpaksa mengubur mimpi itu karena ia dijodohkan paksa oleh pak de nya dengan Yoyok, pria di kampungnya. Yoyok adalah anak seorang konglomerat, memiliki bisnis yang berkembang, harta yang banyak, bahkan ia adalah seorang anggota DPRD. Pernikahan antara dirinya dan Yoyok adalah akal bulus pak de nya dan keluarga Yoyok untuk menarik simpati masyarakat agar Yoyok bisa terus berkarier di DPR dan pak de nya bisa menjadi lurah.

Walau Ayna mengetahui niat jahat pak de nya, ia tetap bersabar menghadapi kenyataan. Ia terus berjuang melawan orang-orang yang menzholiminya. Bersabar atas tindakan Yoyok yang sangat tidak terpuji. Akhirnya takdir membuat dirinya harus bercerai dengan Yoyok, kemudian ia melarikan diri di ibu kota, hidup luntang lantung di jalanan, makan dari sisa remah nasi di pinggir jalan. Hingga Allah mengirimkan bantuan Nya lewat seorang ibu konglomerat, yaitu ibu Rosyidah. Seluruh kehidupan Ayna berubah 180 derajat setelah bertemu ibu Rosyidah. Berawal dari menjadi OB di kantor ibu Rosyidah, sekretaris pribadi, tangan kanan, diberikan bisnis, bahkan dianggap seperti anak sendiri. Kesabaran yang terus ia pupuk hari ke hari benar-benar dijawab oleh Allah. Akhirnya Ayna bertemu dan menikah dengan lelaki yang ia cintai, Gus Afif.

Ini adalah sebuah novel pembangun jiwa yang hadir dengan konflik ringan. Ya, dibandingkan dengan novel yang lain, kang Abik mengemas novel ini lebih ringat tetapi tetap sarat makna. Banyak adegan atau cerita di luar ekspektasi pembaca. Bahkan pembaca di buat bertanya-tanya tentang alur cerita. Sayangnya, terlalu banyak typo di novel ini. Aku bahkan merasa kang Abik terlalu merampingkan beberapa adegan penting dalam novel ini. Misalnya saja ketika Ayna bertemu dengan bu Nurjannah, teman almarhumah ibunya semasa di Yaman. Atau adegan ketika bertemu dengan Ameera, saudara se ayah beda ibu. Dan masih banyak cerita yang menurut aku bagus banget, tetapi kang Abik malah men skip cerita tersebut.

But, overall novel ini bagus. Reccomended  banget deh untuk dilahap. Kalau cerita Dylan adalah tentang seseorang yang dijanjikan kemudian ditinggal nikah, maka novel ini bercerita tentang dua orang yang berjanji, kemudian takdir memisahkan tetapi mereka menikah dah hidup bahagia selamanya.

Pada penasaran kan gimana kisah cinta Ayna dan Afif? Kuy dibaca bukunya!


Medan, 25 Maret 2018, 15 : 39 WIB
Aku tahu ini sudah sangat terlambat untuk menuliskan resensi dari buku yang aku baca. Tenang, aku masih semangat kok dengan one week one book.



Tidak Berprikejombloan

Jogjakarta Plaza Hotel, Kabupaten Sleman, DIY Yogyakarta


Pernah gak sih lagi enak-enaknya menikmati makanan di sebuah cafe sambil ngobrol candaan receh, lalu tiba-tiba semuanya menjadi menyebalkan ketika salah satu teman bertanya “jadi, elu kapan nikah?”. Ahh, aku rasanya ingin meneguk langsung minuman, melahap semua makanan dan bergegas meninggalkan tempat itu.

Atau pernah gak lagi chat di grup kita ngebahas agenda jalan-jalan ke Jogjakarta, lagi semangat banget nyusun jadwal, tanggal, destinasi, maskapai yang digunakan, ee tiba-tiba ada yang nyeletuk tanpa rasa bersalah “NIKAH WOY, JANGAN JALAN-JALAN AJA”. Aah, aku ingin segera left grup aja deh.

Terkadang aku merasa pertanyaan “kapan nikah” itu terlalu menyeramkan untuk dipertanyakan kepada lawan bicara. Well, jika kalian kenal baik dengan lawan bicara, bisa saja pertanyaan semacam ini takkan diambil pusing. Nah, jika gak terlalu dekat, terus tiba-tiba ‘nyosor’ dengan pertanyaan ini, eeh situ gak lagi bercanda kan ya? hehehe.

Coba deh kalian perhatikan, pernyataan ‘kapan nikah’ sekarang menjadi lebih insidentil kan ya? ya, ketimbang dulu siih. Dulu aku masih merasakan bahwa pertanyaan ini masih bersifat kondisional, tetapi sekarang aku rasa ia sudah berubah menjadi pertanyaan yang insidentil. Eh, maksudnya apa nih? Baik, aku coba jelaskan ya. Dulu, pertanyaan ‘kapan nikah’ hanya muncul di kegiatan atau momen tertentu saja. Sebut saja pernikahan atau lebaran. Ya, menurutku sangat wajar jika pertanyaan ini muncul di dua kondisi tersebut. Nah, pertanyaan ‘kapan nikah’ jenis ini tergolong kondisional. Karena ia hanya muncul pada kondisi tertentu saja. Bahkan kita bisa memperkirakan kapan pertanyaan ini muncul dan yang paling penting adalah mempersiapkan jawaban terbaik agar si penanya tak lagi memberikan pertanyaan lanjutan, eeh.

Entah karena perkembangan teknologi, atau harga BBM yang naik diam-diam atau karena Jokowi yang tiba-tiba menjadi presiden, hehehe, pertanyaan ‘kapan nikah’ bermetamorfosa menjadi pertanyaan yang sifatnya insidentil. Ia bisa ditanyakan kapan saja, dimana saja, dalam waktu yang bagaimana dan diucapkan oleh siapa saja. Aaih, bukankah ini paling menakutkan. Ia takkan bisa lagi ditebak, sehingga kita (eh aku maksudnya) kadang tak memiliki waktu untuk mempersiapkan jawaban terbaik atas pertanyaan receh seperti itu, hehe.

Lihat saja, dosen sedang menjelaskan metodologi penelitian untuk penulisan tesis, tiba-tiba si Bapak nyeletuk kejam banget; “Makanya Nikah Kelen”. Ehh, ini kuliah metodologi atau seminar pra nikah ya? *pikirku*. Ketika naik angkutan umum, tiba-tiba ibu di sebelah memulai pembicaraan dengan menanyakan nama, berdecak kagum ketika kita menceritakan profesi, akhirnya dia mulai memuji kita sampai akhirnya ia mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak berperikejombloan itu, “Udah dosen, muda, cantik (eh kok), sayang dek belum nikah. Makanya nikah dong”. Eh ini ibu-ibu siapa ya?

Dan begitulah kenyataannya. Berhati-hatilah karena kalian para jombloers akan menemukan pertanyaan ‘kapan nikah’ dimana saja, kapan saja dan diucapkan oleh siapa saja. Bisa jadi keluar toilet umum tiba-tiba dicegat sama satpam “mba kapan nikah?” aiih. Atau tengah malam tiba-tiba ingin ke kamar mandi, ee si emak dan ayah masih on aja matanya depan tivi, terus nyeletuk keras, “makanya nikah, biar ke kamar mandi ada yang nemenin” eeh. Atau ketika lebaran anak-anak ingusan yang minta angpau dengan polos, lugu, tak berdosa mengatakan “cepat nikah ya nte, biar gak galau lagi” aah, ku rasa dunia semakin kejam saja.

Pengen banget deh aku tanyakan kepada mereka yang suka nanya, apa sih maanfaat dari pertanyaan kalian? Kenapa begitu ingin tahu dengan hal se privasi itu? Kan kalau aku nikah, toh juga ngundang kalian. Tetapi kok pada heboh gitu nanyain kapan lagi? Kok masih lama? Apalagi yang ditunggu? Memangnya semakin sering pertanyaan itu kalian berikan, maka semakin dekat jodoh itu dengan aku? Gak kan. Terus kenapa masih menghakimi kami para jombloers dengan pertanyaan seperti itu? Kalian sungguh tidak berperikejombloan.

Kalau masih ngeyel untuk terus menanyakan kenapa sih seseorang belum menikah, biar aku coba jawab. Kenapa seseorang belum menikah? Ya karena dia belum menikah. Gampang kan? Sudahlah, gak usah sibuk dengan pertanyaan itu lagi. Kalian nggak perlu bertanya kapan seseoran menikah, mana jodohnya, kok masih single. Hey, kurasa pertanyaan itu tidak banyak manfaatnya. Kalian hanya sedang buang-buang energi dengan pertanyaan itu. Kecuali jika kalian mau nyariin jodohnya, mau nyiapin gedungnya, mau bayarin cateringnya, mau sponsorin honneymoon nya, hhm boleh lah bertanya.



Medan, 23 Maret 2018, 21:46 WIB
Hayo, yang pada suka nanyain aku ‘kapan nikah’. Siapkan saja jodohnya, gedungnya, cateringnya plus paket honneymoon ke Maldives yak. Jika nggak, aah kalian sungguh tidak berperikejombloan

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...