Wednesday 30 May 2018

Resensi : Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya


The L.Co Coffe, Medan, North Sumatera



Judul                : Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya.
                Opening the Door of Your Heart (Judul Asal)
Penulis              : Ajahn Brahm
Penerbit             : Awareness Publication, 2009
        Thomas C. Lothian Pty Ltd, Australia. (Penerbit Asal)
Halaman             : 312 halaman

Ketika aku membaca buku ini di kantor, di masjid, atau di angkot, banyak yang iseng bertanya ini buku apa sih mba?, bahkan ada pertanyaan yang lebih ekstrim lagi; kenapa sih beli buku ini?. Aku jadinya memandang buku ini lamat-lamat, apa aku salah beli buku ya?  hufft, baiklah akan aku jelaskan kenapa buku ini masuk dalam koleksiku.

Kenapa sih terpikir membeli buku ini? Well, semuanya bermula dari rekomendasi seorang teman. Nah, masalahnya si teman itu ternyata juga belum membaca, beliau dapat informasi buku ini dari sepupunya –yang udah baca. Nah, menurut sepupunya, buku ini sangat reccomended  banget deh untuk dibaca. Aku, yang notabene nya adalah pendengar yang baik, tentu akan menyimpan informasi ini. Terlebih lagi teman yang awalnya merekomendasikan buku ini adalah seorang penikmat dan pecandu buku juga – likes me. Biasanya ia mempunyai daftar buku-buku yang menarik untuk dibaca. Nah, bermodalkan trust inilah aku mulai tertarik dengan buku ini.

Aku langsung stalking si buku ini *before i decide to buy it *. Selama proses kepo itu berlangsung, ternyata aku menemukan banyak hal menarik lho tentang buku ini. Misalnya bintang 5 yang diberikan sebuah situs internasional ternama www. Amazon.com. Huaa, menurutku itu prestasi banget, awesome banget lah. Karena biasanya buku-buku yang mendapatkan perhatian di amazon biasanya adalah buku yang berkualitas, bagus dan banyak peminatnya.

Tidak hanya itu, buku bergambar cacing ini merupakan international best seller lho. Eits, jangan tercengang dulu, buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Eh, bukankah itu pencapaian menakjubkan untuk penulis baru. Nah, yang paling kerennya itu penerbit menjanjikan garansi uang kembali 100% lho kalau pembaca tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari buku ini. Ini artinya apa coba? Penulis dan penerbit hampir dapat memastikan bahwa setiap pembaca akan mendapat manfaat dari buku ini. Alasan-alasan inilah yang kemudian membuatku memasukkan buku ini ke dalam daftar bacaan dan koleksi ku.

Ini adalah buku pertama dari trilogi yang ditulis oleh Ajahn Brahm. Semua trilogi yang ditulis berjudul sama yaitu si cacing dan kotoran kesayangannya. Hanya ada angka yang membedakan untuk masing-masing buku. Nah, karena ini buku pertama angkanya nggak ada. Gak tahu juga sih kenapa gak ada angka layaknya buku kedua dan ketiga. Well, tebakanku karena penulis awalnya gak mau tuh nulis trilogi, tetapi karena buku pertama meledak banget di pasaran, muncul deh buku kedua dan ketiga *probability sih*.
Buku ini merupakan sebuah motivasi kehidupan. Aah, lebih tepatnya motivasi untuk para Budhis, hehehe. Ajahn Brahm sendiri adalah seorang biksu yang menjabat sebagai kepala wihara di Perth, Australia. Kalian sudah menebak kan kemana arah pembicaraan buku ini? Hehe. Buku bergambar cacing ini berisi 108 cerita tentang kehidupan. Judul bukunya sendiri merupakan cerita ke 108. Ajahn Brahm menuliskan cerita ini berdasarkan pengalamannya sendiri, ada juga yang dari teman atau merupakan cerita turun-temuran yang ia dapatkan. Hampir semua, eeh semuanya bercerita tentang dunia biksu. Pengalaman Ajahn bermetamorfosa menjadi biksu, tantangan yang dihadapinya di awal ke-biksu-annya, pengalaman yang didapatkan selama menjadi biksu, bahkan beliau juga menyelipkan beberapa nilai budhis dalam tulisannya.

Gaya bercerita Ajahn Brahm sih sangat sangat sangat biasa. Malah di beberapa cerita terkesan kaku dan gak ngalir. Aku gak tahu yang salah siapa, Ajahn Brahm atau penerjemahnya. Pokoknya aku benar-benar gak dapat fell deh ketika membaca buku ini. Cerita yang disuguhkan Brahm bahkan sangat membosankan, karena ia hanya mengulang-ulang kisah kehidupannya, yang mungkin sangat berbeda dengan kehidupan yang dialami oleh orang kebanyakan.

Aku pikir Brahm akan memberikan nasihat panjang di setiap kisahnya. Ternyata TIDAAAK. Aah, menyebalkan banget deh. Ia sama sekali tidak mengajak pembaca memetik hikmah, kalaupun ada, tapi itu tidak maksimal *menurutku*. Siapa sih yang mau mendengarkan cerita tanpa ada insight dari setiap kisah yang diberikan. Nah, Brahm hanya sibuk bercerita dan ‘pamer’ kehidupan biksunya di dalam buku ini. Namun ia lupa bahwa pembaca tidak hanya butuh cerita, tetapi insight dari cerita tersebut.

Kalau ditanya apakah mau membaca buku kedua dan ketiga, maka dengan lantang aku jawab TIDAAAAAK, hehe. Aku tidak mengatakan bahwa buku ini tidak bagus atau kurang berkualitas. Hanya saja, aku beneran gak nge-klop dengan buku ini dan sangat tidak merekomendasikan kalian membacanya, terutama untuk yang muslim, stay away from this book lah. Heran deh kenapa Amazon bisa memberikan lima bintang ya? kenapa bisa jadi international best seller bahkan di alih bahasakan sampai 20 bahasa? Finally, i will not reccomendation this book for you, you can get better from this one, CLEAR ENOUGH?



Medan, 29 Mei 2018, 12:00 WIB
Thank you for the ciamik foto. Padahal lagi lemes-lemesnya, lagi lapar-laparnya, lagi haus-hausnya. Tetapi kalau disuruh foto tetap aja bisa kasih penampilan maksimal, ahh.

Thursday 24 May 2018

Sahabat

Rujak Simpang Jodoh at Tembung, Deli Serdang, Sumatera Utara


Ada orang yang memiliki teman, relasi kerja, rekan bisnis yang banyak dan bejibun. Tetapi ketika ia ditanya tentang sahabat, tak satupun nama yang tersebut dari bibirnya. Ada juga orang  yang memiliki musuh yang banyak, haters yang tidak bersahabat. Namun ketika diminta berbicara mengenai sahabatnya, ia bukan hanya menyebut nama, malah ia hadirkan sosok yang bernama sahabat itu. Kau termasuk yang mana? Aah, semoga tidak keduanya ya. Semoga Allah memasukkan kita kepada orang yang memiliki banyak teman, relasi kerja, rekan bisnis, banyak sahabat serta tidak ada musuh. Oh, what a beautiful world!

Bagiku, sahabat adalah kata lain dari keluarga atau saudara. Mereka hadir tanpa dipinta. Mereka datang tanpa diundang. Bahkan mereka membersamai kita tanpa perjanjian. Tidak ada akad bahwa jika aku sukses maka aku akan mendompleng kesuksesanmu dalam sebuah persahabatan. Ia benar-benar sebuah ikatan tulus nan mulia. Tak perlu syarat tertentu untuk menjadi seorang sahabat.

Dan begitulah mereka yang berada di foto ini. Mereka adalah orang yang Allah kirimkan kepadaku untuk menjadi orang yang membersamaiku. Mereka datang tanpa ada syarat bahwa aku harus ini dulu harus itu dulu. Merekalah yang kemudian menjadi sosok yang aku sebut dengan Sahabat.

Merekalah yang mengisi sepanjang keseharianku selama berada di kota Metropolitan ini. Ahh, tentunya tak terbayangkan bagi seorang anak kampung yang akhirnya menginjakkan kaki dan menetap di sebuah kota yang termasuk kota besar di Indonesia. Bukan hal yang mudah bagiku untuk menyesuaikan diri ketika pertama kali di kota ini. Gaya bicara yang terkesan tegas dan blak-blakan menimbulkan shock batin. Merekalah yang kemudian mengajariku menanggapinya. Banyaknya angkot dengan berbagai warna dan nomor di jalanan kota Medan kerap kali membuatku bingung bahkan lupa aku harus naik angkot nomor berapa ya?. Dan merekalah yang membuat daftar angkot plus dengan rutenya. Mereka juga yang siap angkat telpon ketika satu hari aku tersesat dan bingung harus naik angkot yang mana.

Mereka juga yang melengkapi bahagiaku. Mengajakku berkeliling kota Medan yang benar-benar aku tak tahu. Menikmati berbagai kuliner Medan yang katanya enak. Selalu bertandang ke kos-kosan ku ketika aku bilang suntuk nih. Aah, mereka adalah alasan kenapa aku masih berbahagia dan menikmati hidup di kota Metropolitan ini. Mereka jugalah yang menutupi segala kesedihan dan lukaku. Menghapus air mata ketika judul proposal thesis ditolak pembimbing. Mendengarkan dengan legowo semua keluh kesahku. Menjadi bahu tempat aku bersandar ketika aku butuh seseorang yang menguatkan. Mereka benar-benar membalut luka ku dengan rapi, tanpa sakit, tanpa perih.

Bersama mereka, waktu berjalan terasa lebih cepat. Baru sebentar ngumpul, ee udah sore, ee udah magrib. Seolah kita sedang berada di dimensi lain yang waktunya berjalan lebih cepat. Bertemu dengan mereka itu hukumnya seperti wajib. Jika sehari tak bertemu, kok rasanya ada yang kurang ya, akhirnya pertemuan itu diganti dengan nyerocos panjang di grup. Masha Allah
Bersama mereka, semua topik pembicaraan menjadi sesuatu hal yang menarik untuk dibicarakan. Dan kabar baiknya kami membicarakan semua hal. Hal yang menarik, menantang, seru biasanya tidak luput dari pembicaraan kami. Misalnya pembicaraan mengenai betapa letihnya menghadapi tugas kuliah yang datangnya bak banjir. Kuliah master itu memang tatap muka nya 3 kali dalam seminggu, its mean you have 4 days to get holiday. But NO!. Empat hari yang dalam bayangan akan bisa liburan, nongkrong sana sini ternyata semuanya benar-benar diperuntukkan untuk mengerjakan tugas kuliah. Buat papper lah, review buku lah, research lah atau sekadar otak atik software. Menyebalkan banget membahas hal ini. Tetapi bersama mereka kok ya jadi menarik aja gitu.

Belum lagi tentang kejar-kejaran dengan dosen pembimbing ketika mau bimbingan thesis. Ketika kita lewat pintu depan, ee si bapak lewat pintu belakang, Allahu Akbar!!. Ketika beliau menjanjikan hari ini bisa bimbingan, kita udah nunggu seharian, ee si bapak gak datang karena lupa, ya Allah tolong deh. Nah mereka inilah yang menjadi saksi betapa hati ini membuncah-buncah melihat kelakuan dosen pembimbing, hehe.

Termasuklah pembicaran kami tentang anak lelaki profesor EN yang keren bingits.  Gimana gak keren coba, S1–nya ITB, dan sekarang S2 UGM, Masha Allah, so future perfectly husband  lah pokoknya, hehehe. Pembicaraan remeh temeh beginian tetap mengasyikkan deh kalau sama mereka. Begitulah kami, semua hal kami bicarakan. Topik apapun ketika dibicarakan bersama mereka, kok jadinya lebih menarik ya, hehe. Kenapa rujak simpang jodoh itu enak banget, bagaimana kriteria our future gregarious husband  *uhuk, uhuk*. Bahkan membicarakan kami harus memilih Prabowo atau Jokowi, hehe.

Begitulah sahabat. Ia hadir tanpa ada syarat apapun. Ia datang untuk membersamai dalam bahagia terlebih lagi dalam duka. Ia adalah selimut tebal ketika dingin dan AC saat panas. Ia ibarat antibiotik ketika rasa sakit mendera, memang tidak berkuasa menghilangkan rasa sakit, tapi setidaknya ia mampu meredakan. Aah, tulisan ini akan berlembar-lembar jadinya jika kita terus mendeskripsikan makna persahabatan. Ada baiknya kita berhenti mencari-cari makna sahabat yang baik, tetapi yuk ah menjadi sahabat yang baik!


Medan, 25 Mei 2018, 08 : 26 WIB
Foto ini adalah foto terakhir kita sebelum perpisahan itu datang. Sekarang mungkin tiada lagi makan rujak simpang jodoh, tiada lagi naik kereta api tengah malam, tiada lagi cerita sambil nangis-nangis, tiada lagi foto dengan berbagai ekspresi. Tapi ‘kita’ masih ada kok! Tersimpan di hati, tercatat di memori. Lets Robithoh!!, beginilah caraku ketika teramat sangat sangat sangat merindukan kalian.

Monday 21 May 2018

Ter-Rapi



Gambar ini adalah sebuah kisah satu tahun yang lalu. Dan aku baru sempat menceritakan hal ini sekarang. Apakah membutuhkan waktu satu tahun untuk menemukan inspirasi dan menuliskannya dalam susunan kata yang bermakna? Aah, bisa saja. Namun kesibukan yang mendera ditambah sebongkah rasa malas *astaghfirullah* adalah alasan yang paling aku benarkan atas hal ini.

Berawal dari ketika ingin bersih-bersih beberapa foto di media sosial *jangan tanya kenapa*, akhirnya screen  hp menunjukkan foto ini. Aah, memori otak membawaku pada ingatan satu tahun yang lalu, ketika rekan kerja di Primagama Jemadi memberikan bingkisan kecil ini kepadaku. Begitulah ajaibnya kekuatan sebuah foto bagiku. Ia bisa memanggil semua ingatan kala itu, bahkan bukan sekadar urutan peristiwanya, aku juga bisa merasakan rasa-nya dengan baik. Ini juga yang terus menjadi pembenaranku bahwa aku harus capture every moment. Aku menyadari bahwa otakku takkan bisa menyimpan semuanya dengan baik, nah melalui foto mungkin bagaikan hardisk bagi otakku. Hehe.

Waktu itu ada acara perpisahan dengan siswa kelas XII. Menjelang mereka menghadapi Ujian Nasional, kami mengadakan acara perpisahan sekaligus doa bersama. Secara, mereka juga telah menyelesaikan kegiatan pembelajarannya di Primagama. Sayangnya aku tidak mengikuti kegiatan perpisahan itu. Bukan karena malas atau capek, aku sedang berada di luar kota ketika teman-teman Primagama menyelenggarakan acara ini. Padahal aku ingin sekali membersamai siswa kelas XII itu dalam acara perpisahan mereka. *Maafkan mba ya*

Begitulah, aku hanya melihat foto hasil ke-alay-an mereka hari itu. Mulai dari yang versi rapi, lagi makan eskrim, makan ini, makan itu. Eeh, ada banyak makanan di sana, sayang sekali aku tidak bisa ikut, hehehe. Ada sebuah rasa sedih menyusup ke relung hatiku. Betapa iri melihat kegembiraan yang terlukis di wajah mereka. Betapa ingin menjadi salah satu bagian dari foto itu. Tapi ya mau gimana lagi, tugas negara yang diamanahkan kepadaku jauh lebih penting aku kerjakan daripada menghadiri acara perpisahan itu. Sekali lagi maafkan mba Suci ya!

Beberapa hari setelah perpisahan aku kembali hadir di kantor Primagama. Ya, memang karena ada jadwal mengajar sekalian mengantar oleh-oleh dinas luar kota. Para rekan kerjaku begitu bersemangat menceritakan susana perpisahan yang haru biru itu. Ahh, betapa iri telinga ini mendengarnya. Lalu, seorang rekan kerja memberikan bingkisan ini kepadaku. Aku terkejut, tak menyangka bahwa ada sebuah hadiah yang bertuliskan namaku dengan gelar i-smart rapi.

Mereka lalu bercerita, bahwa ketika perpisahan ada sebuah games kecil-kecilan. Well, seperti sayembara gitu lah. Mereka membuat nominasi i-smart  tegas, i-smart  termodis dan i-smart  ter-rapi, siswa ter-rajin, siswa ter-heboh, dan lain-lain. Eh, ada games seperti itu ya?  batinku. Para siswa memilih i-smart  sesuai dengan penilaian mereka. Dan qodarullah aku terpilih menjadi i-smart  yang katanya rapi. Rapi? Aah aku sendiri tidak yakin. Entah darimana para siswa itu menilai sehingga aku bisa dikategorikan sebagai tentor ter-rapi. But, anyway, thank you so much guys!
Aku menatap bingkisan ini lamat-lamat. Lagi? Batinku. Akhirnya aku mendapatkan kategori ini lagi. Dulu, ketika zamannya jadi kakak senior MOS (Massa Orientasi Siswa) SMA aku sering mendapat gelar kakak ter-rapi. Dan waktu itu aku juga berpikir, kok bisa ya?. Berlanjut ketika menjadi senior MaBa (Mahasiswa Baru) di kampus. Kembali lagi gelar itu melekat padaku. Begitu selanjutnya, ketika mengajar di sekolah gelar ini mengikutinya. Hingga akhirnya di Primagama pun aku mendapatkannya.

Bersyukur, ooh tentu saja. Alhamdulillah. Orang-orang di sekitarku ternyata memberikan penilaian yang baik terhadapku. Ya, walau aku masih bingung kenapa mereka memilihku sebagai seseorang yang rapi. Katanya pakaianku, jilbabku selalu senada dan terlihat rapi *eh, masa sih*. Katanya tulisanku kalau lagi ngajar itu juga rapi *hhm, gak juga*. Katanya aku kalau lagi ngomong itu runut, jelas, terstruktur *what?  Ini mah bohong*. Katanya aku kau mengerjakan pekerjaan rapi, gak berantakan *hhm, ada-ada aja*. Dan masih banyak katanya-katanya yang lain. Aah, betapa harus banyak diri ini bersyukur karena Allah masih tutupkan aib-aibku di hadapan mereka semua.

Terlepas dari penampilanku, tulisan tanganku, sistematika pekerjaan atau gaya berbicaraku, menurutku gelar ini adalah sebuah ‘tamparan’ kecil bagiku. Bertahun-tahun aku terus mendapatkan nominasi ini, let me think, apakah ada yang salah dengan kerapianku? Bukan soal kerapian fisik atau tulisan, tetapi kerapian hati, karakter dan ibadah-ibadahku. Astaghfirullah.

Aku jadi berpikir, apakah Allah sedang menegurku lewat bingkisan ini? Ya. mungkin selama ini aku kurang merapikan ibadah-ibadahku. Bisa saja aku rasa syukur dan sabarku masih sangat berantakan. Atau beberapa karakter dan sifatku yang butuh dirapikan lagi. Ternyata jika ditafakkuri, ditadabburi, ada banyak hal dalam hidupku yang masih sangat berantakan. Banyak hal yang ternyata memerlukan sebuah perbaikan. Sayangnya kesibukan dunia membuatku lupa akan hal ini. Aku merasa baik-baik saja dengan diri dan hidupku, ternyata setelah aku lihat dan renungi lagi, Astaghfirullah, aku masih hidup dalam ke-berantak-an. Naudzubillah.

Uniknya hidup begitu. Jangan pernah menyangka bahwa nikmat yang kita terima, apapun itu bentuknya, apakah itu harta, pasangan hidup yang bertakwa, atau popularitas adalah balasan atas kebaikan-kebaikan kita. TIDAK, itu sama sekali bukan balasan kebaikan. Balasan kebaikan, keshalihan kita hanya berhak kita terima di akhirat kelak. Lalu nikmat itu untuk apa? nikmat itu hanyalah ujian level berikutnya. Ya, kita sedang diuji ketika Allah memberikan nikmat tertentu kepada kita. Jangan sampai kita terlena dan tersibukkan.

Aau bisa saja nikmat itu adalah bentuk teguran Allah terhadap kita. Sebuah teguran yang unik dan ‘manis’ menurutku. Allah bisa menegur kualitas iman kita dengan mengirimkan pasangan shalihah/shalih untuk kita. Allah juga bisa menegur frekuensi sedekah kita dengan menitipkan rezeki yang berlimpah. Allah menegur bagaimana hubungan kita dengan orang tua melalui anak-anak berbakti yang Ia titipkan.

Jangan terlena dengan apapun nikmat yang Allah berikan. Anggaplah itu sebagai ujian level berikutnya, atau perlakukan ia sebagai teguran Allah terhadap kita.



Medan, 19 Mei 2018, 21:19 WIB
Sepertinya aku harus melalukan list kembali. Apa aja hal yang masih berantakan dalam hidupku ya?

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...