Thursday 16 April 2020

Doakan Saja




Kalimat “doakan saja” adalah sebuah kalimat pamungkas dalam berbagai percakapan. Ya, terutama percakapan yang mengandung pertanyaan basa basi untuk mencairkan suasana. Sebagai orang timur kita tentu terbiasa memberikan pertanyaan basa basi, entah memang ingin tahu atau sekadar agar ada bahan obrolan.

Ada berbagai pertanyaan basa-basi yang sering kita dapatkan. Sebut saja pertanyaan kapan ini kapan itu, kapan begini kapan begitu, kapan kesana kapan kesini. Duuh, duuh. Selanjutnya pertanyaan ini akan memnuculkan jawaban basa-basi. Ya, jawaban yang sekadar basa basi doang agar kondisi percakapan masih berada di koridor yang aman dan grafiknya stabil. Eh. Jawaban basa-basi misalnya “hehehe”, “masa sih?”, “memangnya iya?”, “Ahh ada-ada saja”. Sampai ada satu jawaban basa-basi pamungkas yaitu “doakan saja”.

Dan ini juga menjadi jawaban favoritku ketika ada yang memunculkan pertanyaan aneh-aneh. Jawaban ini biasakan aku gunakan untuk sesuatu yang aku tidak tahu kapan pastinya. Ya, daripada aku menyebutkan waktu, terus tahu-tahunya nggak tepat waktu, eeh kan jadi malu. Selain itu pertanyaan netizen yang aneh-aneh itu terkadang memang aku tidak tahu kapan waktu pastinya. Maka mending aku jawab saja dengan jawaban pamungkas “doakan saja ya”.

Seiring berjalan waktu, ternyata “doakan saja” bukan hanya menjadi “jawaban basa-basi. Ia berubah menjadi sebuah sugesti bagiku. Begini, jika ada yang bertanya “kapan” terus aku menjawab dengan “doakan saja”, lalu ternyata seseorang itu benar-benar mendoakan. Nah lho. Hingga Allah mendengar setiap orang yang diam-diam mendoakan kita. Dan ternyata Allah benar-benar kabulkan. Kan Allah Maha mengabulkan doa.

Makanya, sekarang jika masih ada netizen yang suka nanya kapan ini, kapan itu, kapan anu, kapan blablabla. Aku akan sering menjawab dengan jawaban “doakan saja”. Lalu dalam hati kecilku berharap mereka diam-diam mendoakan dan ternyata Allah lebih mengijabah doa mereka.

Jadi kalau ada nanya hal serupa dengan kalian. Coba deh lakukan cara yang sama. Dijamin berhasil  dan lebih menenangkan.

Kapan nikah? Doakan saja

Kapan lanjut S3? Doakan saja

Kapan bukunya terbit? Doakan saja

Kapan waras? Doakan saja (eeh..eh.)




Medan, 16 April 2020, 21 : 12
Hari ini telah berhasil dilalui dengan waras dan bahagia. Yeaaay !!!

Tuesday 14 April 2020

Pintar Tak Terlihat

Dewi Kwan Inn, Siantar, Sumatera Utara



Ada seseorang ketika di kelas hanya tidur, bermain atau sekadar bermalas-malasan. Akan tetapi, saat ujian atau presentasi ia mampu memberikan hasil yang maksimal. Seolah ilmu yang dipelajari selama ini tersimpan rapi di dalam batok kepalanya. Sehingga ketika ujian, semua jawaban soal mengalir dengan lancarnya.

Lalu, kita dengan naifnya mengambil kesimpulan bahwa ia memang pintar karena memang dasarnya pintar. Kita menyimpulkan bahwa seseorang itu memang pintar secara genetis. Melihat anak professor yang dapat prediket cum laude di kampus, lalu kita beranggapan :
            “Wajar dia pintar, keturunan sih. Bapaknya saja professor”
Melihat teman nyatri yang hafalannya sudah berjuz juz, otak kita pun berpikir :
            “ya iya lah, dia anak Hafizh quran”

Perasaan ini terus menjadi-jadi, hingga dengan tanpa rasa bersalah, kita mendeklarasikan diri bahwa kita tidak akan mampu seperti dia. Kita merasa bahwa dia menjadi hebat, pintar adalah karena anugerah Illahi. Kita tak akan mampu menjadi seperti dia karena Tuhan tidak memberikan anugerah itu kepada kita.

Hingga akhirnya kita tetap bertahan menjadi kita. Tidak ada upaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Merasa bahwa diri ini memang sudah seperti ini takdirnya. Kita enggan untuk bercermin kepada kesuksesan orang lain. Kita terus men-judge bahwa kesuksesan orang lain semata hanya karena faktor keberuntungan. Astaghfirullah

Hal ini seperti ini sudah jelas harus segera diluruskan. Bisa saja bukan keberuntungan orang lain yang menjadi persoalannya, melainkan cara berpikir kita saja yang kurang jeli. Orang-orang yang kelihatan santai dan cuek, namun memiliki nilai ujian yang cemerlang, bisa saja bukan mereka yang pintar dari lahir. Sangat besar kemungkinan bahwa ia tidak pintar dari lahir, melainkan ia berusaha pintar tapi tidak merasa terlihat.

Tanpa kita ketahui, bisa saja ia telah minum kopi agar bisa terus terjaga sepanjang malam untuk belajar. Bisa saja mulutnya telah berbusa melafalkan semua rumus-rumus yang akan keluar ketika ujian. Ia begitu berusaha maksimal untuk mendapatkan hasil yang bagus dalam ujiannya. Hanya saja ia tak melakukan itu di depan kita. Karena ia memang ingin pintar tapi tidak terlihat oleh orang lain.

Atau juga bisa saja ia mati-matian membaca buku tentang materi yang akan diajarkan oleh bu Guru. Sehingga ketika belajar ia tetap mampu menjawab pertanyaan bu Guru walau ia sedang membaca komik. Apakah ia pintar dari lahir? Belum tentu.

Terkadang ada yang kerjaannya tidur di kelas atau sibuk bermalas-malasan selama pembelajaran. Kita lupa kenapa ia bisa tidur di kelas atau bermalas-malasan? Aah, barangkali ia telah paham dengan apa yang guru atau dosen ajarkan. Namun kita tidak begitu, selalu mengambil kesimpulan dari sudut yang salah.

Begitulah, kita tidak akan pernah benar-benar tahu bagaimana seeorang itu bekerja keras untuk meningkatkan kualitas dirinya. Yang sering kita lakukan adalah mengambil kesimpulan dari sekelumit kisah hidup mereka yang terlihat. Itu sungguh aneh bukan?

Hingga akhirnya kita sendiri yang memilih untuk kalah sejak awal. Kita takut memulai peperangan karena salah dalam melihat lawan. Teman yang kritis kita anggap skeptis. Teman yang hebat, kita beranggapan itu sebuah bakat.

Kita terbiasa mencari-cari alasan untuk memaklumi kemalasan diri sendiri. Menganggap diri ini tak mampu, tak berdaya. Kesuksesan orang lain adalah hasil genetis yang ia peroleh atau anugerah Illahi yang tengah berpihak padanya.

Nah, kalau sudah begitu bagaimana bisa kita meningkatkan kualitas diri?





Medan, 12 April 2020, 21 : 53
Ditulis untuk mencambuk keras jiwa yang tengah dilanda kemalasan.


Sunday 12 April 2020

Ice Breaking : Face Your Face




Kenapa di setiap tulisan ada spasi? Kenapa di setiap cerita ada paragraf? Agar si pembaca bisa mengambil jeda. Agar si pembaca mampu menganalisis setiap kalimat yang tengah ia baca. Nah, dalam belajar pun perlu ‘mengambil jeda’. Terlebih lagi pada mata pelajaran yang membosankan, rumit,  susah, atau bikin sakit kepala. Matematika misalnya.
                                                                 
Sudah seharusnya pengajar matematika mengambil jeda dalam mengajarkan matematika kepada siswa. Hal ini bertujuan agar para siswa bisa menarik nafas atau bisa memahami materi dengan lebih baik lagi. Sudah menjadi rahasia umum kan ya betapa susahnya pelajaran matematika. Lalu bayangkan seorang pengajar matematika mengajar tanpa mengambil jeda. Duuh, gak kebayang deh mumetnya isi kepala siswa.

Bagaimana bentuk mengambil jeda?

Guru boleh berkreasi dengan bebas apapun bentuk ‘mengambil jeda’ yang ia lakukan. Tentu saja hal ini menyesuaikan dengan sarana prasarana sekolah, kualitas siswa atau kepadatan materi yang diajarkan. Jangan bayangkan bahwa mengambil jeda ini adalah membiarkan siswa tidak belajar. Oh, tentu tydaccck Fergusso.

Perlu trik yang handal bagi para guru untuk mengambil jeda namun tidak mengganggu aktivitas pembelajaran. Namanya juga mengambil jeda, ya itu artinya sebentar saja dong. Bukan berarti 2 jam pelajaran habis untuk relaksasi atau 3 sks habis untuk ngobrol ngalor ngidul di depan mahasiswa.

Ada beberapa alternative yang bisa dilakukan guru dalam melakukan aktivitas mengambil jeda. Misalnya menonton, bermain games, ice breaking, atau aktivitas fisik lainnya. Sesuaikan saja dengan kondisi siswa, lebih cocok menggunakan yang mana.

Bermain games sebenarnya adalah aktivitas mengambil jeda yang paling seru. Ia hanya membutuhkan waktu sebentar dan sangat ampuh mengembalikan konsentrasi siswa dan mood belajar siswa tentunya. Para guru bisa mencari berbagai permainan yang bisa dilakukan dalam waktu singat, gampang aplikasinya dan menyenangkan prosesnya.

Salah satu bentuk games yang oke adalah permainan ini. Aku menamakannya Face Your Face. Aku akan menyuruh siswa menyediakan kertas kosong satu lembar dan sebuah pulpen. Setelah itu, siswa disuruh untuk menempelkan kertas tersebut di wajah mereka masing-masing. Satu tangan memegang kertas, sementara satu lagi memegang pulpen.

Setelah itu, guru akan memberikan instruksi untuk menggambar wajah masing-masing. Lakukanlah dengan acak. Misalnya pertama “gambar mata kiri”, dilanjutkan dengan “Gambar bibir atas” dan begitu seterusnya. Lakukan instruksi ini sampai semua bagian yang ada di wajah tergambar di atas kertas itu. Jangan biarkan siswa melihat atau membalik kertas tersebut. Selama permainan kertas itu wajib menempel di wajah siswa.

Setelah menyelesaikan semua instruksi, guru boleh menyuruh siswa untuk membalik kertas itu dan melihat hasil gambar mereka. Lalu guru bisa mengatakan “Itulah bentuk asli wajah kalian”. Dipastikan siswa akan spontan tertawa meriah menggelegar melihat wajah yang mereka gambar sendiri. Bahkan di antara mereka tak malu menunjukkan hasil lukian wajah kepada temannya dan akhirnya mereka tertawa bersama.
Guru juga bisa menyampaikan pesan moral dari permainan ini. Misalnya ternyata wajah kita tak secantik yang dibayangkan. Makanya jangan sombong kalau memang cantik, karena sejatinya tidak ada yang benar-benar cantik secara fisik. Yang ada itu cantik secara hati. Duuuh, mendengar quote ini para abegeh abegeh akan meleleh langsung. Seolah mendapat suntukan semangat.

Tak perlu waktu lama melakukan permainan ini. Paling lama 15 menit deh. Dan kelas akan riuh, meriah. Tentu saja konsentrasi dan mood siswa telah kembali. Gampang kan? Jadi para guru bisa melakukannya di ujung pembelajaran menjelang tugas atau di tengah pembelajaran ketika suasana kelas sudah tidak bersahabat lagi. Hehehe.


Selamat mencoba!



Medan, 25 Maret 2020, 22 : 16


KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...