Thursday 28 June 2018

Semoga Masih Ada Waktu




Salah satu kebiasaanku adalah menyilangi setiap tanggal yang terlewati di kalender rumah. Entahlah, aku memulai kebiasaan ini sejak beberapa tahun yang lalu. Well, sebenarnya karena mataku yang kurang autofocus melihat kalender dengan jarak jauh, sehingga menyilangi tanggal yang telah dilewati membuatku mengetahui tanggal hari ini dengan cepat.

Sebuah kalender dengan pemandangan seperti ini selalu menjadi perhatianku, entah kenapa. Melihat kalender menyisakan beberapa angka saja untuk disilang membuatku berpikir “aah, satu bulan telah terlewati”. Apa yang telah aku lakukan selama satu bulan? Bagaimana pencapaian targetku selama satu bulan ini? Apa dosa yang telah aku lakukan terhadap Tuhanku? Apa kesalahan yang telah aku perbuat pada orang-orang di sekitarku?

Biasanya akhir bulan menjadi salah satu waktu kontemplasi terbaik. Menyadari bahwa satu bulan telah terlewati dan bulan berikutnya akan datang menyapa, membuatku tersadar bahwa aku masih banyak kurangnya. Well, yang paling jelas itu aku masih kurang ‘kamu’ nya, hehehe.
Tentu saja bukan ‘kamu’ saja yang masih kurang dalam hidupku, ada banyak hal yang masih sangat kurang. Ini tentunya bukan perihal harta, kekuasaan, tapi lebih kepada sikap, karakter dan penghambaan kepada Tuhan.

Lihat saja, betapa diri ini masih bergumul dengan dosa setiap harinya. Diri ini masih begitu jauh dari kata suci dan bersih. Disadari atau tidak, besar atau kecil, tampak atau tidak tampak, dosa itu menggerayangi seluruh aktivitas kehidupan. Sayangnya, kita malah ikut terjebak di dalam permainan dosa itu, bahkan cenderung menikmatinya. Nauudzubillah. Begitulah, diri ini masih sangat jauh dari kata-kata suci dan bersih dari dosa dan kesalahan. Astaghfirullah.

Kita juga masih disibukkan dengan urusan dunia dan menomorduakan urusan akhirat. Bahkan jika terjadi perdebatan urusan dunia dan akhirat, kita tanpa pikir panjang langsung memilih urusan dunia. Katanya diri ini mengaku cinta kepada Tuhan, tetapi ketika Dia meminta bukti keseriusan mencintai-Nya, kita malah melakukan hal yang sebaliknya. Tidakkah itu artinya kita benar-benar tidak adil kepada Sang Maha Kuasa?. Dan begitulah kita, masih terus sibuk dan disibukkan dengan urusan dunia yang tiada kunjung habisnya.

Sekali lagi, begitulah kita. Yang terus menari indah di atas gunungan dosa. Berpikir selalu ada hari esok, selalu ada matahari yang akan menyinari pagi, selalu ada rembulan yang menghiasi malam, selalu ada oksigen untuk mengisi paru-paru. Kita bahkan tidak pernah berpikir tentang sebuah hari yang tidak ada lagi matahari, rembulan, bahkan oksigen. Tentang hari, dimana manusia akan dikumpulkan dan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya masing-masing. Tentang hari dimana seorang ibu akan lupa terhadap anaknya, kekasih tiada mengenal kekasihnya. Ya, pada hari itu semua orang akan sendiri, tiada mengenal sesiapa pun, dan sibuk dengan urusannya masing-masing.

Jangankan berpikir, bahkan terlintas saja sangat tidak mungkin di dalam benak kita. Ahh, sesekali kita perlu melatih diri agar menghadirkan pikiran itu dalam benak. Sesekali kita butuh melakukan terapi hati dan iman dengan memikirkan hal-hal seperti itu.

Coba deh sesekali bayangkan jika tak ada lagi tanggal yang bisa disilang di kalender. Ketika kalender itu tidak lagi menyisakan satu angka apapun untuk disilang. Tidakkah diri ini terkejut? Coba bayangkan betapa terperanjatnya diri ini karena ada sosok yang tiba-tiba meneriakkan ‘ini waktunya pulang’. Sosok itu tak memberikan tambahan waktu, menarik diri dengan paksa tanpa memberikan sedikit jeda untuk membawa segala sesuatu yang kita perlukan.

Saat itulah kita mungkin akan tersadar betapa diri ini terlalu konyol, terlalu gegabah karena sama sekali tidak benar-benar mempersiapkan segala sesuatu untuk hari ini. Ketika sosok itu menjemput secara paksa, kita benar-benar tak mempersiapkan apapun. Lalu dengan pasrah diri ini bermodalkan seadanya, mengikuti langkah sosok itu, entah akan dibawa kemana. Ingin sekali menariakkan, ‘tunggulah sebentar lagi’, tapi diri ini sudah tak kuasa. Mulut sudah terlalu kelu untuk berucap. Yang hanya bisa dilakukan adalah terus bergerak menuju ke hari yang jauh lebih besar dan sangat mencekam.

Sudah selesaikah membayangkan hal itu? ini bukan sekadar cerita seram ala-ala insidious atau the conjuring. Ini adalah sebuah cerita nyata di masa depan yang benar-benar akan kita lewati. Sudah siapkah diri ini melewatinya? Aah, membayangkannya saja membuat bulu kuduk berdiri, apatah lagi kita mengalaminya kelak?

Sehingga itulah, selama jantung masih berdetak sesuai ritmenya, itu artinya Allah menginginkan kita untuk terus mengumpulkan segala persiapan menghadapi hari itu. Allah tidak ingin sesiapapun hamba Nya menyesali kebodohan ketika hari kesaksian nanti. Maka teruslah bersiap, teruslah bersiaga. Karena bisa jadi waktu itu sebentar lagi. Karena bisa jadi ketika diri ini membuka kalender, hanya terlihat laman kosong, tiada lagi tanggal yang bisa disilang. Dan karena bisa jadi ada sosok yang tiba-tiba membisikkan ‘ayo pulang’. Wallahu ‘alam bisshawwab.



Medan, 28 Juni 2018, 08.46
Foto ini adalah sebuah kalender tahun 2017. Ketika suatu pagi aku ingin menyilang tanggal kemarin, dan entah kenapa pemikiran semacam ini menyadarkanku. Entah apa yang sudah aku persiapkan? Ahh, sepertinya bahkan belum ada satupun yang aku siapkan. Astaghfirullah.
_pendosa yang ingin bermanfaat_

Monday 25 June 2018

Resensi : Menjadi Murabbiyah Sukses



Judul               : Menjadi Murabbiyah Sukses
Penulis             : Cahyadi Takariawan dan Ida Nur Laila
Penerbit            : PT. Era Adicitra Intermedia
Halaman            : 210 halaman

Buku ini telah dikhatamkan sejak awal Juni, tetapi baru bisa mengulasnya di blog akhir Juni. Tentunya dengan alasan -eh lebih tepatnya pembenaran- karena kesibukan Ramadhan dan lebaran. Bukankah tidak seharusnya seperti itu? Harusnya ingat dan komitmen dong dengan azzam yang pernah terucap bahwa setiap hari harus menulis sebuah tulisan renyah untuk disetor di blog. Tapi ya, begitulah. Terkadang azzam itu bisa melemah, mengendur dan mengerut. Ahh, sudahlah! Aku akan mulai menulis lagi.

Buku ini adalah hasil kebaikan dan kemurahan hati kak Ayu, teman ngajar di Primagama. Awalnya iseng aja sih minjam buku sama beliau, karena aku tahu beberapa buku beliau telah di ‘hijrah’ kan pulang kampung. Sehingga pastilah buku beliau di Medan gak akan banyak. Qadarullah tiba-tiba di kantor Primagama, beliau menyerahkan buku ini kepadaku.

Glek. Aku menelan ludah ketika kak Ayu menyerahkan buku ini. Sedikit menggigil ketika menerima buku ini. Tentu ada banyak buku kak Ayu yang masih tersisa di Medan, tetapi kenapa si kakak harus meminjamkan buku ini ya? entah apa maksud kak Ayu meminjamkan buku ini kepadaku. Seolah beliau sedang menampar diriku dengan keras lalu mengatakan;
Nah, lu baca nih buku. Terus urus kelompok halaqoh elu yang berantakan itu”.
Astaghfirullah.

Ini adalah buku lama. Terbit pada tahun 2005, itu sekitar 13 tahun yang lalu euy. Hmm, waktu itu aku masih berseragam putih dongker, hahaha. Pengarangnya? Duuh please  deh jangan ditanya. Ketika aku melihat siapa pengarang buku ini, aku seolah tidak punya alasan lagi untuk menunda membacanya. Siapa lagi kalau bukan pak Cahyadi Takariawan, seorang qiyadhah, ustadz, dan sekaligus mentor tulisanku. Jujur, aku sukaaa banget dengan tulisan pak Cah. Selain to the point, beliau juga menulis dengan jelas, runut, dan detail. Tidak hanya itu, irisan pemikiran antara aku dan Pak Cah juga membuatku semakin menyukai tulisan beliau. Ya, tentu saja termasuk irisan wajihah, irisan guru besar, irisan ilmu pengajian, dan terlebih lagi irisan partai politik. Heheh.

Buku ini adalah panduan bagaimana seharusnya seorang murabbiyah membina para mutarobbinya. Duh, pada bingung ya? kok banyak banget istilah yang gak familiar nih? Makanya, ikut halaqoh dong, heheh. Murabbiyah merupakan sebutan untuk guru ngaji yang perempuan. Well, sama seperti ustadzah deh. Sedangkan mutarabbi merupakan sebutan untuk para anak didik dari sang murabbiyah. Nah, sudah paham kan?

Berarti ini buku edisi akhwat (perempuan) dong? Yap, benar sekali. Terus kenapa pak Cah yang nulis buku tentang akhwat? Nanti relate gak tuh? Tenaang, pak Cah menulis buku ini gak sendirian kok. Beliau merekrut seorang perempuan tarbiyah terbaik yang beliau miliki. Siapa lagi kalau bukan istri yang paling dicintai pak Cah, buk Ida. Jadi, pak Cah dan bu Ida berkolaborasi menuliskan buku ini untuk membahas bagaimana seorang murabbiyah membina kelompok halaqohnya. Ahh, what the perfect combination  deh.

Seperti biasa, pak Cah dan bu Ida amat apik menuliskan buku ini. Dimulai dari penjelasan apa itu tarbiyah, mengapa seorang akhwat harus tarbiyah, bagaimana memulai tarbiyah, sampai kepada hal-hal yang diperlukan untuk memulai proses tarbiyah. Saking detailnya, buku ini juga menjabarkan dengan jelas dan rinci, dilengkapi berbagai dalil. Jadi, buat kamu yang bingung apa itu tarbiyah, buku ini cocok banget menjawab kebingungan kamu. Buat kamu yang sudah paham tetapi terkendala mengenai langkah pertama, percaya deh buku ini akan menyingkirkan segala kendala itu. Begitu juga, jika kamu sudah terjun ke dunia tarbiyah dan tiba-tiba butuh suntikan semangat (ah, mungkin ini aku), maka buku ini juga cocok untuk kembali menyegarkan pengetahuan dan motivasi kamu tentang tarbiyah. Ahh, pokoknya puass banget deh membaca buku ini.

Pak Cah dan bu Ida juga melengkapi buku ini dengan beberapa kisah nyata dari pelaku tarbiyah. Tentang bagaimana mereka menemukan tarbiyah, tentang jatuh bangun dalam mengelola kelompok halaqohnya, atau suka duka menjadi murabbiyah. Semuanya terangkum dalam cerita pendek tentang mereka, yang benar-benar menginspirasi. Bahkan ketika membahas bagaimana mengelola halaqoh, pak Cah dan bu Ida menyajikannya dalam bahasa yang benar-benar praktis. Beliau memberikan saran yang langsung ‘siap pakai’ bagi murabbiyah untuk dipraktikkan langsung ketika mengelola kelompok halaqoh. Keren kan?

Tarbiyah itu seperti menggesek biola. Ia menganalisa fitrah manusia secara cermat, menggesek seluruh senar dan nada sehingga menghasilkan sebuah suara yang merdu ( page 4 ).

Aku sendiri adalah pelaku tarbiyah. Aku merasa beruntung karena mengenal tarbiyah sejak tahun 2009. Well, tentunya belum seujung kuku pak Cah dan bu Ida. Tetapi dua orang hebat ini benar-benar menginspirasiku agar tetap istiqomah di jalan tarbiyah ini. Nah, kamu gak mau ikutan tarbiyah juga?





Medan, 26 Juni 2018, 09 :11 WIB
Terima kasih atas ‘tamparan keras’ melalui buku ini ya kak Ayu, pak Cah dan bu Ida. Pokoknya benar-benar harus merapikan kembali kelompok halaqoh yang berantakan. Keep Hamasah !!

Saturday 9 June 2018

Saksi Perubahan Diriku

Bukit Naang, Bangkinang, Kabupaten Kampar


Foto ini diambil sekitar tujuh tahun yang lalu. Ya, itu adalah waktu yang lama untuk menunggu. Tapi waktu yang masih begitu singkat untuk menyebutnya dengan kenangan. Begitulah, bagiku mereka belum masuk ke dalam memori kenangan. Aku masih beranggapan mereka masih ada, dekat, ketawa bersama, susah payah sama-sama. Hihihi. Well, mungkin kebersamaan itu memang bukan kontak fisik layaknya tujuh tahun yang lalu. Bertemu dengan wajah mereka secara virtual saja sudah sangat menyenangkan hatiku. Mengobrol panjang dengan mereka melalui sentuhan jari di layar smartphone juga sangat memuaskan. Sesekali mendengar intonasi dan nada suara mereka juga telah mengobati sebongkah rindu.

Mereka adalah teman satu kelas dan satu angkatan ketika aku masih unyu-unyu berkuliah di Universitas Riau? *kamu unyu? Eh, skip aja*. Jumlah kami yang minimalis satu angkatan (just 48 orang) ya benar-benar membuat lumayan dekat dan akrab satu sama lain. Hmm, sebenarnya gak juga sih, tetapi ada kelompok-kelompok tertentu di dalam kelas, tapi kalau udah hangout  seperti ini ya no more gank lah, hihi.

Mereka bukan hanya sekadar teman satu kelas, teman makan siang ke kantin, teman sama-sama nunggu dosen pembimbing, atau teman yang nyontek-in tugas kuliah *eh, afa-afaan ini*, atau teman yang sigap menghubungi jika ada kuliah ganti atau dosen gak datang. Bagiku malah mereka bukan sekadar teman atau sahabat, mereka itu adalah saksi perubahan diriku. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan bagaiman proses aku dari ulat, larva, pupa, terus menjadi kupu-kupu, *tapi, sekarang masih belum jadi kupu-kupu juga sih*. Intinya, mereka adalah orang yang tahu ritme perubahan dalam diriku.

Tentunya bukan hal yang mengejutkan. Bersama mereka itu hampir empat tahun lamanya. Wajar dong jika mereka melihat empat tahun episode kehidupanku. Wajar juga jika mereka melihat aku-nya yang dulu pemalu, berantakan tiba-tiba telah menjadi seseorang seperti sekarang, *memangnya sekarang gimana ya, hehe*

Mereka menyaksikan aku yang dulunya masih pakai celana kemanapun pergi, hingga sekarang bermetamorfosa dengan mengenakan rok atau gamis. Mereka juga yang menyaksikan aku yang dulu jilbabnya masih “lempar kiri kanan” hingga sekarang tak berdaya lagi untuk ‘melempar’nya. Bahkan proses hijrah itu terdokumentasikan dengan jelas di setiap foto-foto kami. Ahh, bahkan jadi malu dengan foto studio yang fenomenal itu. Foto dengan nuansa hitam putih dan almamater kampus itu masih menampilkan aku yang belum berhijrah. Jadi, jangan terkejut jika kalian menemukan di foto itu seorang gadis yang jilbabnya dilempar kiri kanan serta memakai jeans, hiks.

Dari mereka aku juga belajar banyak hal. Belajar tentang bagaimana harusnya kalau ngomong di depan umum. Aku yang dulunya pemalu banget setiap ngomong, suka terbata-bata kalau ngomong di depan kelas, dan alhamdulillah sekarang menjadi lebih berani. Ini berkat mereka, yang secara sengaja atau tanpa sengaja mengariku akan hal ini.

Dari mereka aku juga banyak belajar tentang profesiku. Mereka mengajariku yang dulunya sangat tidak paham dengan istilah definit positif sampai akhirnya aku berhasil membuktikan Teorema Butterfly. Aku, yang masih begitu tidak paham dengan materi kuliah, sering mendapatkan les gratis dari mereka. Dengan kebesaran hati, mereka rela meluangkan waktu setiap selesai kuliah untuk mengajariku beberapa materi yang tidak aku pahami. Mereka juga tidak sungkan berbagi catatan kepadaku. Aah, aku yang dulunya teramat bodoh mengenai profesi ini benar-benar tercerahkan oleh kebaikan hati mereka. Masha Allah.

Mereka juga membelajarkan aku tentang agama. Ahh, aku yang dulunya hampir tidak peduli dengan urusan agama. Paling malas ketika urusan agama dibawa-bawa dalam urusan dunia, astaghfirullah. Lalu mereka dengan sabarnya mengajariku tentang bagaimana urgensinya agama dalam dunia. Tentang bagaimana seorang muslim harus benar-benar kaffah dengan keislamannya. Tentang bagaimana seorang muslimah itu berpakaian, berpola tingkah laku, bergaul. Hingga akhirnya mereka membuatku merasakan momen yang disebut dengan ‘hijrah’. Mereka akhirnya mengubah pola pikirku sehingga sekarang aku merasa bahwa agama adalah hal paling prioritas dalam hidup. Mereka yang membuat hidupku yang ‘berantakan’ menjadi lebih teratur.

Dan begitulah mereka. Sekumpulan malaikat langit yang Allah kirimkan untuk menjagaku, mengajariku dan membimbingku selama di dunia. Mereka adalah saksi perubahan diriku. Bukan hanya perubahan fisik, gaya berpakaian atau pola tingkah lakuku, tetapi juga perubahan pola pikir dan prinsip hidupku. Empat tahun bersama mereka adalah episode terindah dalam hidup. Terima kasih karena kalian telah membuat lukisan kehidupanku lebih berwarna, terima kasih telah memberikan warna berbeda dalam lukisanku, dan tentunya terima kasih telah menjadikan diriku seperti sekarang ini. Aah, aku merasa menjadi pribadi yang lebih baik setelah bertemu kalian. Masha Allah.





Payakumbuh, 9 Juni 2018, 20 : 29 WIB
In frame ; ini adalah dokumentasi terakhir kami jalan-jalan ke salah satu arena outbond di Kabupaten Kampar. Setelah ini, kami benar-benar tidak pernah lagi hangout barengan lagi, hiks. Eh, kok tiba-tiba merindukan kalian semua ya? Lets Robithoh and Lets Al Fatihah (especially for Alm.Zul)

Monday 4 June 2018

Catatan Wisuda


Judicium Ceremonial of Master Program

Siapa sih yang tidak memimpikan momen ini berlangsung dalam kehidupannya. Apalagi mahasiswa semester akhir yang masing ngos-ngosan dengan tugas akhirnya. Bisa segera merasakan momen wisuda adalah impian terbesar dalam hidup. Seolah kebahagiaan hidup paling paripurna itu didapatkan setelah mengecap momen wisuda. Jangankan mahasiswa semester akhir, mahasiswa baru pun juga berdecak kagum ketika acara perhelatan wisuda di gelar di kampusnya. Melihat senior yang berbaju toga itu kok ya rasanya keren banget, rasanya bahagiaaa banget.

Eh, apakah sebenarnya wisuda itu menyenangkan? Membahagiakan? Aah tentu saja. Aku yang notabene nya sudah dua kali merasakan prosesi wisuda gak akan pernah lupa gimana rasa deg-degan setiap wisuda. Seolah wisuda itu punya sensasi tersendiri.

Momen wisuda membuat lupa bagaimana jerih payah masuk ke kampus favorit. Dulu sebelum masuk kampus berjuang mati-matian, ada yang lewat jalur undangan, ada juga yang diharuskan mengikuti seleksi masuk kampus. Walau masuk ke kampus favorit itu susah dan nyesek banget, tapi keluarnya (read : wisuda) itu tetap harus disegerakan. Jadi teringat kata senior “dek, masuk kampus ini susah, udah masuk malah mau cepat-cepat keluar”. Ahh, pemikiran yang sedikit aneh menurutku, heheh.

Wisuda itu membuat lupa bagaimana rasanya bergadang mengerjakan tugas kuliah, laporan praktikum, laporan penelitian, algoritma program. Tugas kuliah itu benar-benar kayak tukang bubur naik haji atau cinta fitri atau tersanjung, gak ada habis-habisnya, hehehe. Prediksi seorang mahasiswa itu ia bisa menghabiskan week end dengan bermalas-malasan di kos, tetapi takdir berkata lain, ia harus berkutat dengan laptop, artikel ataupun buku.

Wisuda juga membuat lupa bagaimana rasanya ketika tugas akhir dipenuhi oleh tanda cinta dari dosen pembimbing. Semua bab ada coretannya, ketika ditanya salahnya dimana ya pak?, lalu beliau dengan lugu, polos dan tak berdosa menjawab cari sendiri lah. Allahu Akbar!! Ini tuh lebih parah dari di PHP-in euy, *uhuk*. Belum lagi harus ada drama kejar-kejaran dengan si bapak. Ketika kita masuk lewat pintu depan, ee si bapak kabur lewat pintu belakang. Aah, sakitnya itu dimana-mana. Atau yang paling melatih kesabaran, kita udah hampir 3 jam nungguin di depan ruangan beliau, menghubungi beliau tapi gak aktif, terus tiba-tiba beliau memberi kabar maaf ya, saya lupa kalau kita ada janji. Bunuh aja saya pak, bunuh aja, hahaha. Ini nih derita mahasiswa semester akhir banget.

Wisuda pun membuat lupa tentang rasa deg-degan ketika sidang tugas akhir berlangsung. Mulut tergagap menjawab pertanyaan dari empat dosen mengenai hasil penelitian kita, dimana keempat dosen itu bukanlah dosen kemarin sore, melainkan mereka yang sudah maral melintang di profesinya. Betapa keringat dingin membanjiri tubuh ketika ada seorang dosen yang tiba-tiba walk out. Betapa adrenalin diproduksi dengan maksimal ketika seorang dosen dengan lantang memberikan pertanyaan yang susah atau dengan santainya mencampak-campakkan tugas akhir kita. Ahhh, sensai naik roller coster kalah deh dengan sensasi sidang tugas akhir.

Wisuda memang membuat segala kesusahan dan kepayahan itu menjadi sebuah fatamorgana. Dan orang-orang yang menyaksikan prosesi wisuda tentu tidak tahu bagaimana susah dan payahnya diri ini tertatih-tatih menuju gerbang wisuda. Para penonton wisuda itu hanya melihat kesuksesan yang telah kita capai dan melupakan bagaimana capeknya mendapatkan moment wisuda, bagaimana sakitnya jiwa raga ini.

Dan begitulah, setiap wisuda itu akan selalu ada cerita. Wisuda itu selalu memberikan sebuah pengalaman luar biasa, memberikan gambaran kebahagiaan yang tiada terkira. Dan memberikan rasa yang ingin lagi, ingin lagi, seperti candu. Aah, kok  jadi kepengen wisuda lagi ya? Aku sempat menuturkan masalah keinginan untuk wisuda lagi (read : doctoral program) kepada salah seorang sahabat. Aku pikir akan mendapat sebuah suntikan semangat, kata-kata motivasi atau apa lah gitu, ternyata tidak.

“Jika tesis dikerjakan seorang diri, apa bedanya tesis dengan skripsi. Dan jika disertasi dikerjakan seorang diri, apa bedanya disertasi dengan skripsi. Paham masukku toh?” kurang lebih begitulah kalimat menyakitkan ini keluar dari mulutnya. Menyakitkan. Jleb banget. Nohok. Nampar keras. Semuanya deh. Tapi apa bener seperti itu? Terus aku-nya harus gimana? Hmmm *let me think*. Dan akhirnya baca panduan beasiswa LPDP. Hehehe


Medan, 05 Juni 2018, 11 : 16 WIB
Foto ini adalah wisuda besar-besaran teman satu gank, satu kelas, satu perjuangan tapi gak satu nasib. Hehe. Foto ini diambil sekitar Oktober 2015. Please jangan tanya aku kenapa gak pakai toga di foto itu, hehe.

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...