Thursday 14 January 2021

Daripada Zina

 


 

Jika aku bertanya “Apa tujuan kalian menikah?”. Kalian akan menjawab apa? Ya, terlepas lah apakah kalian belum atau sudah menikah. Kira-kira mengapa sih kalian menikah?

Beberapa orang menikah dengan alasan yang (sedikit) absurd menurutku. Setidaknya begini redaksi jawaban mereka ketika kutanya mengapa mereka memilih untuk menikah;

Daripada aku berzina, mending nikah aja. Jauh lebih halal kan? Gak dosa

Well, sebenarnya tidak ada yang salah dengan alasan itu. Karena salah satu hikmah dari pernikahan adalah menghindarkan anak manusia dari perbuatan zina. Tetapi gimana ya? Agak sulit rasanya membenarkan anjuran menikah hanya dengan alasan daripada zina. Entahlah, aku merasa alasan ini terkesan seperti pemb-biar-an dan lepas tangan.

Jika banyak orang yang menjadikan hal ini sebagai alasan mereka untuk menikah, sungguh sangat memilukan. Aku merasa kok lucu gitu ya, motivasi mereka menikah adalah supaya gak zina. Menurutku, terlalu remeh banget alasan tersebut untuk membangun sebuah pernikahan. Dan bagaimana mungkin memulai sesuai dengan pondasi yang sangat rapuh seperti itu? Aku tegaskan sekali lagi bahwa menikah bukan sekadar mencari teman tidur yang halal.

Alasan “daripada” zina sungguh terkesan emosional di telingaku. Lalu coba bayangkan dua orang yang memulai sesuatu dengan emosional? Lalu bagaimana masalah setelah menikah nanti bisa diatasi oleh dua orang yang belum matang secara emosi? Apakah pernikahan  semacam ini juga akan melahirkan emosional yang baru?

Lalu, apakah tidak boleh menikah karena  memang ingin menghindari zina?

Boleh saja sih menikah untuk menghindari zina, tapi hmm, apakah memang kondisinya sudah segitu tidak tertahankan lagi? Sehingga zina menjadi tameng pernikahanmu?

Itu masih satu alasan remeh kebanyakan orang ketika ditanya mengapa ia menikah. Belum lagi alasan-alasan laiinya misalnya sangat mencintai pasangan, takut dibilang gak laku, memang sudah masanya untuk menikah atau bawaan takdir. Sungguh, alasan yang sangat emosional sekali bukan?

Bukan berarti tidak boleh menjadikan alasan emosional sebagai pondasi pernikahan. Hanya saja, alangkah lebih baik dan alangkah bijaksananya jika kita memulai proses pernikahan itu dengan alasan yang menguatkan, alasan yang baik, bukan lagi sesederhana “daripada zina”.

Buat yang belum menikah, yuk luruskan lagi niatnya, kenapa harus menikah? Bangunlah pernikahan kalian di atas pondasi yang kokoh. Ingat, bahwa pernikahan itu ibadah terlama sepanjang hidup, jadi please jangan main-main. Persiapkan dengan matang pernikahan kalian, bukan pestanya, undangan atau honeymoonnya. Melainkan konsep menikah di mata kalian dan pasangan.

Dan buat yang sudah menikah, yuk kembali perbaiki pondasi pernikahan. Belum terlambat jika memang ada niat untuk menguatkan pondasi pernikahan. Bukankah kita menginginkan pernikahan yang sakinah mawaddah warohmah? Ketiga kriteria ini hanya akan tercapai jka memang pondasi pernikahan dan rumah tangga kita kuat dan sesuai syariat.



Medan, 14 Januari 2021, 22 : 27

Monday 11 January 2021

Saat Diberi Lebih

 



Apakah pernah merasakan  bahwa diri ini memiliki banyak kelebihan? Bukan sombong, ujub atau narsis. Melainkan sebuah perasaan bahwa “saya diberi lebih oleh Allah”. Entah itu dari segi harta, fisik, kepintaran, keturunan atau berbagai hal duniawi lainnya. Sadar bahwa ternyata diri ini memang diberi kelebihan oleh Allah adalah sebuah keharusan, namun menjadi sombong dengan kelebihan yang dimiliki sungguh perbuatan tercela. Menganggap orang lain lemah karena tak memiliki apa yang dipunya adalah sesuatu yang tak terpuji.

 

Misalnya ketika diri diberi ilmu yang lebih. Bukan berarti mereka yang ilmunya masih kurang adalah orang yang tidak berilmu. Mungkin saja kita tidak memahami bagaimana susah payahnya mereka mempelajari ilmu tersebut. Ya, bisa saja mereka berjuang dengan rutinitas lain yang membuat mereka kesusahan mempelajari ilmu, sedangkan kita begitu diberi kemudahan oleh Allah dalam mengerjakannya. Sungguh tidak adil kan jikalau kita membandingkan diri ini dengan mereka?

 

Saat kita diberi finansial yang berlebih oleh Allah. Bukan berarti mereka yang sedang berusaha keras mencari uang adalah budak dunia. Mungkin saja kita tidak memahami bagaimana kondisi keungan keluarga mereka. Entah mereka sedang terlilit hutang, biaya hidup yang terus meningkat tajam dari pemasukan atau kondisi lainnya. Sementara kita Allah berikan kemudahan dengan lancarnya finansial, tidak ada hutang dan biaya hidup yang selalu terjamin.

 

Saat kita diberi kemudahan dalam mendidik anak. Bukan berarti mereka yang belum maksimal mendidik anaknya adalah orang tua yang tidak bertanggung jawab. Kemudian dengan pongahnya kita melabeli mereka dengan orang tua yang minim ilmu parenting. Mungkin saja kita tidak memahami bagaimana susah payahnya dia memberikan ikhtiar semaksimal mungkin dalam segala keterbatasannya.

 

Saat kita diberi begitu banyak hal-hal lebih oleh Allah. Apapun itu bentuknya, entah mudahnya mendapatkan momongan tanpa perlu menanti lama atau mudahnya melahirkan tanpa ada banyak luka atau mudahnya meng-ASI-hi anak. Atau berbagai kemudahan lainnya, yang mungkin orang lain tidak dapatkan. Jangan jadikan itu sebagai bentuk penghakiman terhadap orang lain. Jangan menganggap orang lain harusnya juga mendapatkan kelebihan yang kita dapatkan. Hingga akhirnya kita berlagak sombong di depan mereka. Astaghfirullah.

 

Cukup jadikan saja segala bentuk kelebihan itu sebagai bahan untuk banyak-banyak bersyukur kepada Allah. Bukankah itu artinya Allah Maha Baik sekali kepada kita? Atau jangan-jangan segala macam bentuk kelebihan itu adalah bentuk ujian Allah terhadap kita. Dan bagaiman jika sikap sombong yang kita tunjukkan membuat Allah murka dan kemudian mencabut segala bentuk kelebihan tersebut? Innalillah. Makanya, cukup jadikan ia sebagai bentuk syukur kepada Sang Maha Pemberi

 

 

Medan, 4 Desember 2020 ; 22 : 14 WIB

KAU TAK SENDIRI

Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang tengah merasa sendiri. Pernahkah merasa sendiri? Merasa seolah tak ada orang lai...